GEJALA baru melanda Jepang: mengalihkan usaha manufaktur ke negara berkembang. Kecenderungan itu mulai muncul sesudah usaha menghasilkan barang di dalam negeri untuk tujuan ekspor terasa mahal. Sebuah perusahaan mainan anak-anak, Bandai, diberitakan menanamkan lima milyar untuk mendirikan pabrik di Macao, dan satu milyar yen lagi di Muangthai. Manajemen Mitsubishi Electric dan Matsushita Electric juga menyatakan niat serupa. "Tak ada lagi pertanyaan, kami akan mengalihkan kegiatan produksi ke Asia Tenggara, untuk menghasilkan barang ekspor ke Amerika," kata seorang pejabat Matsushita, seperti dikutip Asian Wall Street Journal. Sedang pembuat kamera Canon, ternyata, lebih suka mendatangkan lebih banyak lagi komponen darl anak perusahaannya di Taiwan - agar biaya produksi dalam harga yen bisa ditekan. Tapi alasan utamanya bukan hanya itu. Mereka terpaksa berpaling untuk mengurangi kerugian akibat kenaikan kurs mata uang yen melawan dolar. Bayangkan, kalau semua komponen pembentuk harga pokok, seperti bahan baku dan upah buruh, dibayar dalam yen, sementara barang dijual dalam satuan dolar, apa yang terjadi? Pembeli harus mengeluarkan dolar lebih banyak untuk sebuah barang yang dihasilkan dengan biaya yang tak berubah dalam satuan yen. Jadi, kalau, September lalu, sebuah kamera berharga 100.000 yen cukup dibeli dengan US$ 469 di Amerika, maka sekarang US$ 610. Tapi kenaikan harga akibat penguatan yen sebesar 30% itu tidak sepenuhnya diikuti pabrikan. Beberapa langkah penyesuaian kemudian dilakukan dengan, misalnya, memasukkan sebagian bahan baku sebuah barang dari luar Jepang yang harganya dalam yen lebih rendah. Dengan cara begitu, mobil bikinan Jepang di Amerika tidak naik 30%, karena beberapa bagian komponennya dipasok dari Amerika. Honda Accord LX, misalnya, sesudah naik tiga kali harganya kini US$ 12.469 atau 17% di atas harga tahun lalu. Dibandingkan dengan mobil sekelasnya, seperti Tempo LX buatan Ford, harga Honda itu memang lebih mahal 42%. Makin mahalnya mobil-mobil Jepang itu, tentu, membuka peluang para pembuat mobil di Detroit untuk merebut pasarnya kembali. "Enam bulan lagi orang Jepang harus menaikkan US$ 1.000 lagi harga mobilnya," kata Lee Iacoca, Direktur Utama Chrysler Corp. Menguatnya yen, bagi orang Amerika, berarti dolar makin lemah. Satu dolar sebelum para menteri keuangan lima negara (Amerika, Jepang, Jerman Barat, Prancis, dan Inggris) bersidang di New York, September 1985, masih setara dengan 245. Tapi, pekan lalu, pernah hanya 155,99 yen. Bagi para penghasil industri manufaktur di Amerika, situasi itu membuka peluang untuk menaikkan penjualan ekspor. Orang di Jepang suka membeli barang impor Amerika karena harganya mulai murah. Situasi seperti itu terasa di Jerman Barat dan Inggris yang mata uangnya juga menguat. Situasi moneter itu, agaknya, membantu mengurangi defisit perdagangan Amerika, yang tahun lalu mencapai US$ 148,5 milyar. Para eksportir Indonesia sesungguhnya juga mempunyai peluang yang sama karena rupiah melemah lebih dari 30% terhadap yen. Sebaliknya barang Jepang di sini jadi mahal. Banyak industri kecil di Jepang terpukul karenanya. Para pembuat perlengkapan dapur di Tsubame, misalnya, sudah merasakan langsung akibatnya: pesanan dari Amerika turun 30%. Pemerintah didesak agar mau memberikan kredit murah 300 milyar yen. Tak ada jawaban. Hanya Bank of Tokyo yang secara berangsur menjawab dengan menurunkan suku bunga likuiditas dari 5% jadi 3 5% untuk menekan suku bunga komersiai. Usaha intervensi pasar dengan yen sementara itu ditolak pemerintah. Para ahli menduga harga dolar akhir tahun ini hanya akan 125 yen-130 yen. Apa akibatnya bagi Anda?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini