PILIHAN tempat berusaha bagi produsen eksportir kini bertambah lagi: bekas kawasan pergudangan Cakung di Jakarta. Daerah seluas 173 ha di tepi jalan raya Cakung-Cilincing, yang di masa lalu digunakan untuk menimbun barang, itu ditunjuk menjadi kawasan berikat (bonded zone). Di situ, para produsen bisa memproses berbagai bahan baku yang tak dikenai bea masuk menjadi dagangan ekspor dengan harga bersaing. Posisi Cakung, dengan demikian, sejajar dengan PT Bonded Warehouses Indonesia (BWI) di Tanjungpriok kini. Tapi agar semuanya lancar, seperti disebut Peraturan Pemerintah No. 23 tanggal 6 Mei lalu, BWI dan Cakung terlebih dulu harus dilikuidasi sebelum akhirnya disatuatapkan di bawah Departemen Perdagangan. Kawasan pergudangan di Medan dan Palembang yang selama ini dikelola PT Sasana Banda (Cakung), mungkin, akan dimasukkan sebagai kekayaan perusahaan baru, yang diusulkan bernama PT Kawasan Bonded Nusantara (KBN). Seorang tenaga ahli Bank Dunia kini tengah bekerja menyusun rencana penyesuaian wilayah lama Cakung. Saluran telepon mungkin tidak sulit. Tapi memperoleh listrik dengan murah masih jadi tanda tanya. Tarif listrik yang kini berlaku di BWI, misalnya, ternyata 25% lebih mahal dibandingkan dengan harga umum. Itu bisa terjadi karena BWI harus membangun sendiri gardu untuk menurunkan tegangan, sedang Perum Pelabuhan II - yang memasok listrik - memungut uang jasa 10%. Menurut seorang pengusaha di BWI, jika dibandingkan kawasan bonded di Singapura atau Hong Kong, tarif listrik di situ lebih mahal 50%. Selain itu, air bersih sulit didapat. Untuk mencuci pakaian jadi yang dihasilkannya, pengusaha itu terpaksa beli air dari luar: per kaleng Rp 500. Tanu Margono, Direktur Systex Setia Garment, bahkan merasa perlu mencucikan pakaian jadinya di luar. "Air bor yang sekarang disediakan kurang baik untuk proses cuci," katanya. Kesulitan seperti itu, mudah-mudahan, tidak akan terjadi di Cakung. Di tempat baru ini pengusaha masih leluasa memilih lokasi. Tidak seperti terjadi di BWI, yang hanya punya kawasan 10,5 ha, dan sudah dibagi habis jadi 21 kapling untuk 17 pengusaha pakaian jadi dan satu pengusaha elektronik. Dengan keadaan seperti itu BWI tak bisa menampung pendatang baru lagi. Karena itu, tak heran, 22 calon investor tahun lalu terpaksa ditolak. Tapi dengan dibukanya Cakung, Direktur Utama BWI Dick Isnyoto, berharap, "Mereka mau menanamkan modalnya ke sana." Banyak peraturan, selain soal infrastruktur, harus disiapkan untuk mendukung keberadaan kawasan berikat itu. Secara garis besar sudah ditetapkan bahwa di situ produsen eksportir boleh mengolah berbentuk bahan baku sampai jadi barang siap ekspor. Tapi boleh juga barang sudah jadi mampir lewat di situ dan kemudian direekspor tanpa dibubuhi label buatan Indonesia. Karena tujuan bonded adalah menghasilkan barang ekpor, maka barang yang boleh dipasarkan di Indonesia maksimum hanya 15% dan dikenai bea masuk serta pajak impor. DI sana kelak calon investor cukup berhubungan dengan pengelola bonded untuk mengurus izin bangunan, izin gangguan, dan izin usaha - sekali jajan. "Kalau perlu, sehari selesai bila segala sesuatunya beres," janji Dick Isnyoto. Tanu Margono, Direktur Systex Garment, berharap agar penanganan dan penyelesaian dokumen pemeriksaan barang oleh surveyor Sucofindo bisa lebih cepat. Sebab, yang selama ini terjadi di BWI, pemeriksaan Sucofindo makan tujuh hari sebelum barang dikapalkan. Eddy Herwanto Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini