Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amankah Rupiah Di Level 13 Ribu Per Dolar?
Ada dua kejadian pekan lalu yang membuat pelaku pasar mulai mempertanyakan keamanan kurs rupiah di tingkat 13 ribu per dolar Amerika Serikat. Terlihat rupiah akan terus menghadapi tekanan sampai tengah tahun dan, bergantung pada saat Federal Reserve (bank sentral Amerika) akan menaikkan suku bunga dolar, tekanan ini dapat berlanjut sampai akhir tahun.
Pertama adalah turunnya cadangan devisa sebesar US$ 3,9 miliar ke tingkat US$ 111,6 miliar dalam sebulan. Ini menunjukkan biaya mempertahankan nilai rupiah tidak kecil jumlahnya, dan timbul pertanyaan sejauh mana ini dapat terus dipertahankan. Yang kedua adalah periode April-Juni, tatkala permintaan perusahaan akan dolar Amerika meningkat akibat pembayaran dividen dan naiknya minat untuk melindungi nilai kurs (hedging).
Menguatnya rupiah pekan lalu juga ternyata lebih karena lemahnya dolar Amerika terhadap kebanyakan mata uang dunia daripada penguatan fundamental ekonomi atau perbaikan neraca perdagangan kita. Pekan lalu, data pendapatan gaji non-pertanian di Amerika (non-farm payroll) ternyata di bawah perkiraan pasar. Akibatnya, tingkat pemulihan ekonomi Amerika diperkirakan masih rapuh.
Tapi tidak semua angka ekonomi mendung berawan. Para pedagang valuta di bank akan cenderung memberi jawaban yang bersyarat jika ditanya apakah rupiah sudah stabil di tingkat 13 ribu per dolar. Bahkan mereka yang sepakat pun akan menambahkan bahwa tingkat kestabilan saat ini hanya sementara sifatnya. Tapi "sementara" itu persisnya berapa lama?
Respons terhadap masa kestabilan rupiah biasanya dikaitkan dengan saat Federal Reserve akan menaikkan suku bunga. Mereka yang menafsirkan angka terbaru ekonomi Amerika sebagai pemulihan yang masih rapuh memperkirakan kenaikan suku bunga Amerika akan ditunda ke kuartal ketiga atau keempat tahun ini. Sedangkan mereka yang menafsirkannya sebagai pemulihan yang cukup kuat memprediksi kenaikan suku bunga terjadi lebih awal pada pertengahan tahun ini, untuk meredam gejala inflasi yang potensi naik.
Preferensi umum saat ini lebih mengarah kepada penundaan. Maka ada tambahan waktu untuk menunjukkan perbaikan kinerja ekonomi bagi negara yang mata uangnya sedang terganggu. Uni Eropa sudah menunjukkan tanda-tanda awal pemulihan ekonominya, yang jika diberi tambahan waktu akan bisa lebih meyakinkan. Adapun bagi negara berkembang seperti Indonesia, akan ada tambahan waktu untuk dapat mengurangi defisit transaksi berjalan dan menurunkan inflasi agar lebih dekat ke target Bank Indonesia di tingkat empat-lima persen.
Laporan keuangan perusahaan di bursa juga sudah mulai muncul, dengan sektor perkebunan, properti, dan beberapa badan usaha milik negara dari bank sampai ke perusahaan terkait dengan infrastruktur menunjukkan pertumbuhan laba tahun 2014 yang cukup pesat. Produsen kelapa sawit (CPO) pun mampu meningkatkan keuntungan.
Tapi ada beberapa rintangan yang menghalangi sektor ini. Salah satunya rencana pemberlakuan iuran yang disebut sebagai CPO fund sebesar US$ 50 per ton untuk CPO dan US$ 30 per ton untuk produk turunannya, sebagai cadangan subsidi harga biodiesel.
Perusahaan pembeli komoditas global, seperti Cargill, Kellogg, dan Nestle, juga mulai lebih selektif dalam membeli komoditas pangannya, termasuk CPO, terkait dengan isu lingkungan. Investor yang mau membeli saham produsen CPO sekarang harus menilai kembali harga dan margin, dengan mengikutsertakan tambahan biaya dampak lingkungan itu.
Manggi Habir (ekonom, Komisaris Di Bank Danamon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo