TAKEKI Ishada, pimpinan Saitama Bank Ltd. di Singapura, tampak
sibuk menyelesaikan laporannya dari P. Batam pekan lalu. Dia
belum bisa banyak bicara tentang 'pulau industri' yang panas,
kering dan masih lengang itu. Tapi dari kunjungan sehari di
Batam, 18 Mei lalu bersama 31 bankir di Singapura dan sejumlah
pengusaha lamnya di sana, dla merasa kaget juga melihat suasana
yang masih sepi itu. "Bayangan saya lebih maju dari ini,"
katanya.
Kepada koresponden TEMPO di Singapura Khoe Hak Liep, bankir
Jepang itu mengatakan, beberapa langganannya tertarik untuk
menanam modal di pulau yang terpisah sejam perjalanan dengan
ferri dari pelabuhan Finger Pier di Singapura itu. "Kedudukan
Batam sebagai daerah bebas bea cukai sungguh menyenangkan,"
katanya. Tapi melihat belum tersedianya fasilitas yang bisa
menarik para calon investor dan bank untuk menanam uangnya di
sana. Ishada tidak optimis itu akan terlaksana dalam waktu
setahun dua.
Pendapat yang kurang lebih sama juga dikemukakan Hein Rosz dari
Commerzbank. "Ukuran saya adalah bankir Amerika, apakah mereka
bersedia memberi pinjaman (loan) kepada investor," kata Rosz.
Tapi kenapa ballkir dari Jerman itu musti berkiblat kepada AS?
Jawabnya adalah kunjungan Menteri Ristek Dr. B.J. Habibie ke
San Francisco belum lama berselang untuk meyakinkan para bankir
di sana.
Tetangga McDermott
Buat Habibie, Batam sungguh merupakan taruhan, setelah PM
Singapura Lee Kuan Yew sendiri secara resmi berkunjung seharian
ke sana 11 Maret lalu, dan memberikan restunya. Bisa dimengerti
kalau dia sendiri yang berkeliling negeri untuk "menjual" pulau
itu. Tentu saja itu harus disertai dengan usaha promosi yang
besar-besaran, "kalau perlu kampanye buat Batam," kata seorang
yang dekat Menteri Habibie.
Tapi yang baru ada, seperti kata seorang bankir AS yang ikut ke
Batam, terbatas pada "promosi insidentil, seperti kunjungan
Menteri Habibie ke San Francisco itu." Dan banyak peninjau
beranggapan, buku pintar yang dibatalkan oleh pihak otorita
itu "kurang spesifik."
Sekalipun fasilitasnya serba kurang dan pelabuhan yang di Batu
Ampar cuma 6 meter dalamnya, toh pulau RI yang bertetangga
dengan Singapura itu tak pernah berhenti memberi ha-rapan. Buruh
yang murah dan dukungan Singapura yang ingin menggeser
kepengapan mereka ke Batam, bisa dianggap sebagai 'garansi' oleh
para bankir itu. "Batam memang mulai bergetar, tapi sambutan
dari pihak Indonesia sendiri terasa kurang cepat," kata seorang
tenaga asing di PT McDermott Indonesia di Batu Ampar.
Adalah McDermott yang terasa paling bergemuruh, di antara
sejumlah perusahaan yang sudah beroperasi di Batam. Mengerjakan
galangan kapal dan p1nggung pengeboran minyak dan tankinya,
perusahaan jenis itu memang lagi mengalami arus pasang di dunia,
dengan naiknya gengsi minyak setelah krisis di lran ini. Dan
perusahaan patungan yang 15% sahamnya berada di tangan
pengusaha Indonesia Bob Hasan itu, juga sedang membuat kapal
untuk mengangkut alat-alat besar (barges).
Tapi tetangganya, PT Avlau Indonesia (PMA), yang mengerjakan
perakitan dan pembuatan alat-alat khusus untuk usaha pencarian
minyak lepas pantai, baru saja tutup beberapa hari sebelum
rombongan bankir itu datang ke Batam. "Mereka tak dapat kontrak
baru," kata seorang pegawai McDermott. Begitu pula PT Patra
Vickers yang tadinya membuat mesin-mesin dan PT Dresser Macgobar
Indonesia, keduanya PMA, tak kelihatan seaktif McDermott.
Jadi apa sebenarnya yang membuat McDermott betah di sana? Selain
rasilitas yang memang biasa dinikmati setiap PMA, perusahaan
yang mempekerjakan tenaga trampil dari berbagai bangsa Asean itu
rupanya tak begitu butuh prasarana di darat, kecuali pelahuhan
yang baik. Lapangan pabriknya yang dekat laut, membuat McDermott
lebih membutuhkan sarana pelabuhan yang baik daripada misalnya
jalan. Meskipun begitu, Leslie Porter, menejer lapangannya yang
baru 29 tahun itu, merasa ada hal yang mengganjel: pelayanan
EMKL oleh PT persero Batam.
Tadinya bekerjasama dengan PT Elham, punya pengusaha
Indonesia Loth Hamid, PT Persero Batam itu sejak Maret lalu
telah mengerjakan sendiri setiap urusan pergudangan. Tapi
kedudukan monopoli itu ternyata membuat pihak McDermott merasa
harus mengeluarkan uang lebih banyak. Hari sebelumnya. "Taripnya
mahal sekarang "kata Porter yang - asal Texas itu.
Tapi yang menjadi soal perlukah sebenarnya Proyek Otorita Batam
sampai mengurusi EMKL lewat PT-nya? Kalau Batam memang sudah
dinobatkan sebagai pulau bebas-bea (bonded island), dengan
sendirinya itu berarti seluruh pulau tersebut merupakan gudang.
Dan setiap pengusab. dibolehkan untuk membuka gudangnya
sendiri, meski ada pengawasan duane sebelum barang ke luar dari
gudang. Atau dalam kata-kata Ketua Proyek Otorita B.J. Habibie
sendiri: "Harus ada kebebasan bergerak buat barang dan orang."
Ada baiknya kalau "kebebasan bergerak" itu disertai pula dengan
keringanan biaya di imigrasi Indonesia. Begitu masuk Batam, izin
eksit ke Singapura harus diminta lagi, meskipun dalam satu hari
yang sama itu. Ini berarti Rp 25.000 seorang. Itu terasa mahal
juga buat orang yang sering mundar-mandir ke sana. Tapi seorang
pengusaha pribumi yang punya kantor di Singapura beranggapan
begini "Bukan soal duitnya, tapi tarip itu, sekalipun menurut
peraturan, tidak menunjukkan usaha untuk memudahkan orang pergi
ke Batam."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini