AGAKNYA, bank-bank papan bawah semakin rapuh akhir-akhir ini. Sehingga, untuk kedua kalinya, Bank Indonesia terpaksa melakukan intervensi: mengambil alih Bank Angkasa Putra (BAP) -- sesudah tahun lalu membereskan Bank Perkembangan Asia. Sejak 6 Maret lalu, BI secara resmi menanggung seluruh kewajiban BAP yang punya aset hampir Rp 17 milyar itu. BI terpaksa masuk gara-gara laporan BAP diragukan kebenarannya. Meskipun kewajiban jangka pendek bisa dilaksanakan, adayang melenceng dari asas perbankan -- dengan memberikan kredit tanpa mengikuti prosedur. Misalnya, jaminan tidak memadai, dan pertimbangan kelaikan kredit tidak jelas. Apalagi, pembagian wewenang di puncak manajemen ada kekaburan. "Itu sudah cukup dijadikan landasan bank sentral untuk turun tangan," kata seorang pejabat di BI. Memang, kericuhan di antara pemegang saham BAP tak bisa diatasi sendiri. Salah satu anak perusahaannya, PT Sakiya Group, kabarnya tidak mengakui utangnya kepada BAP -- dan sialnya bank itu juga tidak menyimpan agunannya. Oleh B.E. Sulindro, direksi BAP, anak perusahaan itu dilego dengan harga murah. Itu terjadi setelah adik iparnya yang punya saham dan menjabat Presdir BAP meninggal dunia. Sulindro dan pemegang saham lain, konon, lantas berebut porsi saham. Menurut Soewoto Soekendar, bekas KSAU yang 19 tahun lalu pernah menjabat Presiden Komisaris BAP, bank itu sesungguhnya sudah lama kurang maju, karena manajemen tak mampu melakukan perbaikan. Pemegang saham tak puas, sehingga ia tidak heran BI mengambil alih. "Dengan mengambil alih, berarti Bank Indonesia masih percaya bank ini akan sehat kembali," katanya. Bahkan pemegang saham seperti Megawati Purnomo, istri B.E. Sulindro, pun merasa tidak pernah menerima laporan keuangan. LEBIH dari setahun lalu, sesungguhnya langkah serong BAP sudah tercium. Surat teguran dari BI berulang kali dikirim, beserta cara mengobatinya. Namun, menurut pejabat BI, BAP bukannya menjadi baik, malah semakin buruk keadaannya. Perbanas, yang tak punya "dana sakit", tidak berdaya untuk membantu memulihkan kesehatan BAP. Bantuan manajemen dari Perbanas, menurut I Nyoman Moena, sang ketua, masih mungkin dilakukan -- misalnya dengan menempatkan tenaga ahli perbankan. "Tapi, tanpa bantuan uang, tidak ada artinya juga," ujar Moena. Merjer pun bisa menjadi alternatif. Tapi, menurut pejabat BI, sayang hadiah merjer seperti fasilitas pajak -- berupa pengurangan pajak perseroan setelah beberapa tahun merjer -- sudah dihapus. Kendati merjer membuat modal menguat, kesempatan BAP semakin sulit, karena sudah telanjur tak sehat. Memang, sesuai dengan undang-undang, BI berwewenang mengamankan kesulitan bank swasta. Agar dana masyarakat selamat, tentunya -- walaupun itu kesalahan nasabah sendiri memilih bank tak sehat yang menawarkan bunga deposito selangit. Tapi, jika setiap bank swasta harus dltolong sepert itu, bukankah malah berakibat tidak sehat bagi perkembangan perbankan swasta sendiri? Selain, tentu, akan banyak menghabiskan tenaga dan dana pemerintah. Maklum, sebelum sebuah bank yang pingsan itu dialihkan kepada pengusaha lain, bank sentral lebih dulu harus mentransfusi dana dan menyehatkan manajemennya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini