Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Terperangkap bayang-bayang sendiri

Pertumbuhan indonesia lambat karena kecilnya tenaga riset dan anggaran riset. kita butuh penemuan di bidang teknologi untuk menembus pasar dunia. kita terperangkap bayang-bayang yang tidak kita mengerti.

29 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Between the idea And the reality Between the motion And the act Falls the shadow. T.S. Eliot, The Hollow Men TAHUN 1986 ternyata punya banyak nama. Ada yang mengatakannya Tahun Macan. Ada juga yang mengusulkan agar bangsa kita menyepakati tahun ini sebagai Tahun Efisiensi. Nama itu memang pilihan yang lebih baik dan terdengar lebih positif daripada menyebut Tahun Prihatin atau Tahun Kencangkan Ikat Pinggang. Rupanya, kita sudah mulai rindu dan nostalgik akan tahun-tahun yang punya nama. Ternyata, bukan hanya kita. Swedia, misalnya, menyebut 1986 sebagai Tahun Para Penemu. Seratus tahun yang lalu, seorang inventor berkebangsaan Swedia, Salomon August Andree, mendirikan Asosiasi Para Penemu. Andree adalah seorang penjelajah Kutub Utara yang sedang berusaha membukukan penemuannya ketika balon udaranya jatuh di Kutub Utara. Sebelum ia meninggal, telah banyak temuannya yang juga memberinya kedudukan sebagai Kepala Dinas Paten Swedia. Swedia -- negara kecil yang sering dikelirukan dengan Swiss -- ternyata memang melahirkan banyak penemu (inventor). Asosiasi Para Penemu yang didirikan seratus tahun lalu itu didukung oleh beberapa penemu besar pada masa itu: Gustaf de Laval, penemu proses pemisahan kepala susu, yang meletakkan dasar bagi industri dairy product. Sven Wingquist, penemu sistem roda gotri (ball bearing), yang menjadi awal permesinan modern. Dan, Gustaf Dalen, penemu sistem lampu kedip. Tahun ini, asosiasi itu akan menghadiahkan seratus ribu dolar bagi tiga orang inventor. Kehidupan dan masa depan Swedia agaknya memang sangat bergantung pada penemuan para inventor. Negara kecil dengan penduduk kurang dari sembilan juta bukanlah pasar yang besar untuk mendukung industri. Karena itu, pasar mereka justru harus dikembangkan di luar negeri. Dan, sejak seratus tahun lalu, mereka sudah sadar pasar di luar negeri itu tidak akan bisa diterobos bila tak ada temuan produk-produk yang sama sekali baru dan dibutuhkan dalam jumlah besar. Ball bearing SKF menikmati monopoli pasar dunia untuk jangka waktu seabad sampai muncul pesaing baru. Alfa-Laval juga menikmati monopoli seabad untuk mesin cream separator-nya. Hingga sekarang pun, pasar Swedia tetap jauh lebih besar di luar Swedia. Dan itu semuanya ditunjang hanya oleh temuan-temuan baru. Penemuan adalah awal dari setiap bisnis. Lemper itu tak akan pernah menjadi komoditi kue basah kalau dulu tak ada nenek moyang kita yang imajinatif untuk menaruh suwiran daging dalam sekepal ketan. Dan penemuan itu berjalan terus. Maka, ada lemper bakar, lemper kukus, lemper ayam, dan lain-lain. Dan bahwa itu kemudian mirip sushi atau onigiri hanyalah membuktikan bahwa penemuan itu bisa terjadi di mana saja. Yang berbeda, kemudian, adalah tentang bagaimana akhirnya benda itu dibawa ke pasar. Sushi tidak hanya ada di Jepang. Di Amsterdam, di Vancouver, di San Francisco, di hampir semua pusat bisnis dunia kita dapat menemukan sushi. Tetapi, tidak lemper. Kemajuan teknologi yang semakin "memerangkap" peradaban sekarang ini memang akan membuat temuan seperti lemper itu menjadi diminutif, sekalipun bukannya tidak berarti. Yang sekarang diperlukan adalah temuan yang ada kaitannya dengan teknologi. Penemuan-penemuan sekarang terjadi di lembaga-lembaga dan laboratorium-laboratorium riset. Menteri MITI Jepang dulu pernah mengungkapkan (hampir tanpa basa-basi) bahwa pertumbuhan yang lambat di Indonesia ini, antara lain, karena kecilnya tenaga periset dan kecilnya anggaran riset. Tidak salah, memang. Di Indonesia hanya ada seorang insinyur untuk setiap 4.000 penduduk. India dengan jumlah penduduk hampir lima kali lipat penduduk Indonesia, mempunyai seorang insinyur untuk setiap 750 penduduk. Dan, dari jumlah insinyur yang sedikit di Indonesia itu, lebih sedikit lagi yang benar-benar menjalankan profesinya. Sebagian lagi telah menjadi manajer dan pengusaha. Kita punya banyak keinginan dan harapan. Tetapi, mengapa belum juga terwujud? Karena kita terperangkap dalam bayang-bayang yang tidak kita mengerti. Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus