Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Mereka Dijemput, Kemudian Lenyap

Di Ja-Tim banyak terjadi pembunuhan mirip"petrus". sejumlah korban diambil dari rumah lalu dibunuh. Tapi kali ini korban dikenal bersih-bukan penjahat. Misalnya, kasus Djum'at, Djuanto, Sagiman, dll. (krim)

29 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA orang misterius menjemput Sukran, di rumahnya, Desa Duren, Lumajang, di malam hari. Keesokan harinya, 5 Maret, petani berusia 42 tahun itu ditemukan mati tergantung. Beberapa minggu sebelumnya, Mujianto, 29, penduduk Pandegiling, Surabaya, dijemput 6 lelaki berpakaian preman. Salah seorang menodongkan pistol sekaligus memborgol Muji. Hingga kini orang ini tak ketahuan rimbanya. Di akhir Februari lalu seorang penjual tempe menemukan seseorang terkapar di pinggir jalan Desa Parasan, Pasuruan. Ternyata, yang terkapar adalah Najibun, penjaga Balai Penelitian Tanaman Pangan Probolinggo -- Pasuruan-Probolinggo sekitar 30 km jaraknya. Tampaknya, cara-cara "penjemputan" kemudian pembunuhan korban akhir-akhir ini, terutama di Jawa Timur, mirip cerita-cerita sekitar 3 tahun lalu. Yakni, mirip modus operandi yang dulu populer disebut "petrus" atau penembak misterius. Beberapa orang mendatangi rumah korban dengan wajah setengah tertutup, atau terang-terangan, kemudian yang dijemput beberapa hari kemudian ditemukan telah tak bernyawa. Entah dihabisi dengan peluru atau jeratan tali plastik. Lalu biasanya mayat ditinggalkan di tempat umum yang mudah dilihat orang. Akhir-akhir ini korban seperti itu makin sering terdengar di Jawa Timur. Mungkin untuk mencegah beredarnya sassus, Polda Jawa Timur memberikan penjelasan, semuanya adalah korban kriminalitas biasa. Maksudnya, bukan korban "petrus." Menurut pelacakan wartawan TEMPO, hal demikian ini dimulai November tahun lalu. Yang sempat dicatat adalah kasus Djum'at warga desa Klepu, Kecamatan Sumbermanjing, 30 km kota Malang, ketika itu yang sedang tidur siang di rumah pamannya, Sidik. Lonceng baru menunjukkan tepat tengah hari, ketika 8 orang berseragam polisi masuk ke dalam rumah Sidik tanpa permisi, mencari Djum'at, sambil menggeledah rumah yang tidak besar itu. Dengan gemetaran Sidik membangunkan Djum'at, yang tertidur lantaran kecapekan membantu bibinya menggoreng tahu. Kepala pemuda berusia 30 tahun ini diacungi pistol, tangannya diborgol. Lantas ia dinaikkan ke colt pelat kuning yang kemudian meluncur entah ke mana. Esoknya Sidik mencari keponakannya itu ke Polsek Turen dan Tumpang, tapi hasilnya nihil. "Saya sadar kemanakan saya itu sudah dipetrus," kata Sidik sedih. Kemudian sesosok mayat lelaki penuh luka di sungai curam desa dilihat oleh seorang pedagang keliling. Mayat yang hanya bercelana kolor hitam dan berkaus oblong itu diakui Sidik sebagai jenazah keponakannya, meskipun wajahnya sudah tak bisa dikenali lagi. Di awal Desember tahun lalu terulang peristiwa hampir sama. Djuanto, 27, tak di rumah saat 4 lelaki mencarinya. Istrinya, Suharti, menyambutnya dengan ramah dan menyuruh mereka menunggu sambil makan rujak, dagangan Suharti. Tak lama, Djuanto, pedagang barang-barang bekas di Pasar Tumpang, Malang, muncul. Begitu mehhat sosok Djuanto, salah seorang segera menodongkan pistol dan memborgol tangannya. Kemudian keempat pria kekar berpotong rambut seperti tentara membawanya kabur dengan colt abu-abu yang mereka bawa. Sampai kini Djuanto tak tentu rimbanya. Adapun Sagiman, Nabibun, dan Sahir pun dicoba untuk dibunuh. Tapi nasib rupanya masih melindungi mereka. Sagiman, penduduk Desa Suberbodo, Kecamatan Bantur, 45 km dari Malang, diciduk dari rumahnya sekitar pukul 7 malam, oleh 8 lelaki tak dikenal, Desember lalu. Ia langsung dibawa ke tepi jurang Subermanjing, daerah yang dulu dikenal sebagai tempat pembuangan korban "petrus". Tangannya diikat lantas didorong ke perut jurang. Mati? Ternyata, tidak. "Meskipun nyawa bagaikan sudah melayang, di jurang seperti ada yang menerima," ujar bapak dua anak ini. Dengan tabah, perlahan-lahan ia mendaki jurang dan pulang ke rumahnya untuk kemudian pergi lagi. "Saya minta perlindungan CPM di Malang, sebulan lebih saya di sana," tuturnya. Lain lagi kisah Nabibun alias Nasrupi, 50, penduduk desa Muneng, Kecamatan Sumbersari, Purbolinggo. Penjaga Balai Penelitian Tanaman Pangan ini, suatu pagi buta, 26 Februari lalu, ditemukan terkapar di pinggir jalan desa Parasan, Grati, Pasuruan. Meskipun tidak tewas, keadaannya cukup parah: tengkuknya ditembus peluru demikian juga kedua kakinya. Menurut ceritanya, ia disergap oleh 5 lelaki, di antaranya pamong desanya sendiri, Tosari. Nasibnya serupa dengan Sahir, 30, yang tinggal di Tongas, Probolinggo. Ia juga diculik, dicoba dibunuh, dan dibuang ke Grati, Pasuruan. Pekan lalu, Nabibun dan Sahir masih dirawat di Rumah Sakit Umum Pasuruan, dijaga ketat satuan polisi sektor Pasuruan kota. Tak sebagaimana para korban "petrus" tempo hari -- korban yang ditemukan biasanya lantas dikenali sebagai orang yang sering melakukan kejahatan -- korban-korban yang sekarang jatuh tampaknya orang-orang yang bersih. Selain Djum'at, motifnya pembunuhan atau percobaan pembunuhan, agaknya. Ia memang dikabarkan sedang hendak menjadi saksi dalam perkara sengketa tanah ibunya. Lalu orang pun menduga-duga, jangan-jangan kasus-kasus yang kini terjadi merupakan upaya balas dendam. Atau, usaha melenyapkan saingan. Dengan menumpang cara-cara mirip "petrus", guna menghilangkan jejak. Apa pun motivasinya, bagaimanapun cara-cara pembunuhannya, bagi Siswandhi, Ketua Peradin cabang Malang, ini merupakan kecenderungan main hakim sendiri. Ini merupakan gejala tidak sehat katanya, dan menggelisahkan masyarakat. Sebenarnya pembunuhan gaya "petrus" terjadi juga di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Isme alias Memet, Desember lalu, ditemukan di hutan Jati di Desa Tomo, Kabupaten Sumedang. Orang ini tak jelas tempat tinggalnya, tubuhnya bertato, dan sementara orang menduga ia residivis. Pada tubuh Ismet, di dada kanan, kedua betis, dan perut kiri ditemukan tak kurang dari lima luka peluru. Mayat Ismet ditemukan sopir terbujur di bawah semak-semak, dan kedua tangan terikat plastik kuning. Lalu Sawon ditemukan di Desa Donan Cilacap, Jawa Tengah. Menurut Polres Cilacap, pada 14 Maret lalu Sawon dijemput 6 orang bertutup muka. Dan esok harinya kepala Sawon ditemukan dalam plastik hitam di selokan dekat SD Negeri Donan. Repotnya, hampir semua korban dikenal bersih, dan tak punya musuh. Tapi kepada siapa lagi diharapkan, bila bukan kepada polisi, untuk mengungkapkan kasus-kasus ini. Dikhawatirkan bila polisi tak cepat tanggap main hakim sendiri akan semakin kerap terjadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus