Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN gelas minuman ringan di tangan kiri dan telepon seluler di saku baju, Randhir Sandhu tak mirip-mirip benar dengan petani padi. Apalagi, pada Rabu siang empat pekan lalu itu, Sandhu menjadi tuan rumah temu wicara petani Distrik Samalkha-Panipat dengan sejumlah peserta Kongres Padi Internasional II.
Kongres yang berlangsung pada 9-13 Oktober di New Delhi itu dibuka Perdana Menteri India Manmohan Singh. Peserta kongres meliputi unsur pemerintah, perguruan tinggi, dan pengusaha negara penghasil beras di Asia, Afrika, dan Amerika.
Sandhu, ketua kelompok tani Desa Gwalera—sekitar 100 kilometer dari New Delhi—menjelaskan pemakaian benih padi hibrida Arize-6444. ”Saya bisa menghasilkan lebih banyak beras dan mengirit biaya pupuk,” kata pria yang memiliki 20,4 hektare sawah di Gwalera yang terletak di Negara Bagian Haryana ini. Sebelumnya, dia menggunakan benih varietas unggul HKR-126, yang menghasilkan 7 ton per hektare.
Setelah memakai benih hibrida, panennya meningkat menjadi 8,7 ton. Penggunaan air dan pupuk juga lebih sedikit. Biasanya mereka memakai empat kantong atau 50 kilogram pupuk urea untuk setiap 0,46 hektare. ”Kini saya hanya memakai dua kantong dan mendapatkan padi yang kualitasnya tinggi,” ujar Inder Singh, petani dari Desa Mehrana di Samalkha-Panipat.
Tempo, yang mengikuti temu wicara yang diadakan di persawahan Desa Gwalera, menyaksikan hamparan padi Arize-6444. Batangnya berdiri tegak, dan dari kejauhan terlihat rata. Bulirnya juga lebih banyak dibandingkan padi varietas lain, yang tingginya tak beraturan.
Randhir Sandhu, Inder Singh, dan rekan-rekannya memang baru dua kali menggunakan benih padi hibrida. Mereka beruntung karena pemerintah India menggalakkan pemakaian benih jenis ini untuk meningkatkan produktivitas. ”Kami menargetkan, tahun 2010 ada 3 juta hektare lahan menggunakan benih padi hibrida,” kata Menteri Pertanian dan Pangan India, Sharad Pawar, pada pembukaan kongres.
Topik padi hibrida memang diangkat menjadi salah satu tema lokakarya kongres. Di depan hampir 200 peserta, peneliti dari Cina, India, Vietnam, dan Filipina memaparkan keberhasilan penerapan padi jenis ini. Tema lain, seperti beras organik, basmati, atau manajemen perbenihan, hanya diikuti puluhan peserta di ruang sidang berbeda.
Cina, yang menerapkan beras hibrida sejak 1976, menjadi contoh sukses. Pada tahun itu, hanya ada 0,1 juta hektare sawah menggunakan padi hibrida. Dua puluh tahun kemudian melesat jadi 15 juta hektare dari 31 juta hektare area pertanian di Negeri Panda itu. Dilihat dari nilai produksi, terjadi lonjakan 10 sampai 20 persen dibandingkan pemakaian varietas konvensional.
Keberhasilan Cina diikuti negara lain, sehingga kini padi hibrida digunakan sekitar sepertiga petani di dunia. Hibrida adalah proses menyilangkan dua induk yang secara genetis berbeda agar mendapatkan keturunan unggul. Tahun lalu Cina mengeluarkan varietas superhibrida, yang lebih tahan penyakit.
Di India, pemakaian padi jenis ini secara massal baru dimulai pada 1994. Sepuluh tahun kemudian, sekitar 1 juta dari 44 juta hektare lahan pertanian ditanami benih hibrida. India menjadi negara nomor dua, setelah Cina, yang sukses menerapkan padi ini. Sharad Pawar menjelaskan pengembangan padi hibrida menjanjikan peningkatan produksi sampai 30 persen.
M. Ilyas Ahmed dari Directorate of Rice Research di Hyderabad memaparkan tambahan pendapatan petani yang menggunakan benih hibrida. ”Panennya meningkat 1 sampai 2 ton dengan keuntungan Rs 3.000 hingga Rs 5.000 (sekitar Rp 600 ribu sampai Rp 1 juta) per hektare,” katanya. Lembaga ini mengkoordinasi 12 pusat riset padi hibrida yang tersebar di India.
Saat ini produksi padi India per tahun 130 juta ton. Tahun lalu negara ini mengekspor padi 4,7 juta ton. Padahal, pada 1960-an, produksi padi cuma 30,4 juta ton, dan India mengalami kelangkaan pangan.
Keberhasilan India ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah, dukungan perguruan tinggi, dan dunia usaha. Pemerintah berkepentingan karena padi memberikan 43 persen kebutuhan kalori bagi lebih dari 70 persen penduduk yang saat ini mencapai 1,1 miliar. Sektor pertanian sendiri menyumbang 21 persen produk domestik bruto dan 11 persen total ekspor.
Selain eksportir beras, India juga penghasil gandum nomor dua terbesar di dunia. Negara ini juga mengekspor jagung dan kapas. Tiga komoditas terakhir ini juga menggunakan teknologi hibrida.
Penelitian tentang padi mulai gencar sejak 1965 melalui All India Coordinated Rice Improvement Project. Soalnya, empat tahun sebelumnya India dilanda krisis pangan sehingga mendapat bantuan jutaan ton gandum dari Amerika Serikat. M.S. Swaminathan, penasihat Menteri Pertanian India, lalu mengundang Norman Borlaug, yang pada akhir 1950-an sukses melakukan revolusi hijau di Meksiko.
Borlaug—pemenang Nobel Perdamaian 1970—dan Swaminathan menggulirkan revolusi hijau di India. Ribuan ton bibit unggul dari Meksiko didatangkan. Pemerintah juga mengubah kebijakan pertanian dengan menyesuaikan harga gandum dan padi petani, menyebarkan pupuk secara intensif, serta memperluas jaringan kredit di pedesaan. Pada musim kemarau, petani didorong menanam gandum dan jagung. Pada musim hujan, mereka beralih ke padi. Pergiliran tanam ini mengurangi risiko hama dan penyakit.
All India Coordinated Rice Improvement Project juga mendukung penuh dengan meneliti varietas baru. ”Sampai saat ini ada 739 varietas padi yang sudah diluncurkan,” kata Mangala Rai, Sekretaris Departemen Pendidikan dan Penelitian Pertanian India. Riset padi dengan keunggulan khusus juga dilakukan. Misalnya padi yang mampu bertahan di daerah pantai dan daerah yang sering kebanjiran.
Arti penting riset padi juga disampaikan Perdana Menteri Manmohan Singh. Menurut dia, pertumbuhan penduduk dunia lebih cepat dibanding penyediaan pangan, sehingga menimbulkan kerawanan pangan. ”Kita harus melakukan perbaikan melalui revolusi hijau kedua, antara lain dengan riset memperbaiki varietas padi,” ujarnya saat membuka Kongres Padi di New Delhi.
Ketika mulai mengembangkan padi hibrida, pemerintah India membentuk jaringan 12 lembaga penelitian yang tersebar di negara-negara bagian. Directorate of Rice Research di Hyderabad bertindak sebagai koordinator. Jaringan ini juga mendapat dukungan dari UNDP, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dan International Rice Research Institute (IRRI), yang berkedudukan di Filipina.
India memang gencar mengembangkan bioteknologi. Berdasarkan data Biotech Consortium India Limited 2001, sedikitnya ada 176 perusahaan swasta domestik yang mulai diperhitungkan dalam skala bisnis besar yang berbasis bioteknologi. Empat puluh persen di antaranya bergerak di bidang pertanian, khususnya sebagai penghasil biopestisida, benih, dan kultur jaringan. Lalu 25 persen bergerak dalam bidang kesehatan dan obat-obatan, sisanya dalam bioteknologi lingkungan.
Dalam hal riset dan penyediaan benih padi hibrida, ada 40 perusahaan yang terlibat. Yang terbesar adalah Bayer CropScience, Mahyco, dan Pioneer Overseas Corporation. Bayer melakukan penelitian selama tiga tahun di 320 daerah di India yang menggunakan Arize-6444. ”Terjadi peningkatan padi rata-rata 34 persen per hektare dibandingkan varietas bukan hibrida,” kata Mahesh Girdhar, pimpinan Bayer CropScience India.
Untung Widyanto (Haryana, India)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo