Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tenang Menyambut Harga Turun

Perusahaan minyak berlomba menurunkan harga produk mereka. Pemerintah tak buru-buru.

6 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM dua pekan terakhir, ada yang berubah dengan kebiasaan Priyanto memberi ”minum” Mitsubishi Lancer kesayangannya. Sementara biasanya mobil Jepang keluaran lima tahun lalu itu hanya diberi premium, belakangan Priyanto, 35 tahun, mulai memanjakan kendaraannya. ”Saya belikan Pertamax,” katanya, Selasa petang pekan lalu, di sebuah pompa bensin di kawasan Mampang, Jakarta Selatan.

Bukan karena uang tunjangan hari raya masih melimpah di kantongnya bila Priyanto sedikit lebih royal. Tapi, harga yang terus turunlah yang menjadi alasan utamanya beralih dari premium, yang berkadar oktan (RON-research octane number) 88, ke produk lebih bermutu dengan RON 92 itu.

Empat hari menjelang Lebaran, PT Pertamina kembali menurunkan harga jual produk bahan bakar khususnya di seluruh jaringan SPBU mereka. Pertamax, yang sejak awal Oktober sudah turun ke Rp 5.250 per liter, diturunkan lagi ke Rp 4.850 per liter. Bandingkan dengan premium, yang sejak kenaikan pada awal Oktober tahun lalu tak pernah beranjak dari harga Rp 4.500 per liter.

”Kalau bedanya cuma segitu, mendingan pakai yang lebih baik,” kata Priyanto, karyawan bank milik pemerintah. Apalagi, manfaat bensin beroktan lebih tinggi itu langsung terasa pada performa mesin mobilnya. Dengan pembakaran lebih sempurna, mobil pun jadi lebih ramah lingkungan karena lebih sedikit sisa emisi yang terbuang ke udara.

Berbeda dengan premium dan solar, yang disubsidi dan harganya ditetapkan pemerintah, penentuan harga bahan bakar khusus yang meliputi Pertamax, Pertamax Plus (RON 95), dan Pertamina Dex (diesel) menjadi hak Pertamina sepenuhnya. Karena tak lagi disubsidi, harga sangat dipengaruhi oleh fluktuasi di pasar minyak dunia. ”Sehingga bisa berubah kapan saja,” kata juru bicara Pertamina, Toharso.

Penurunan sebelum Idulfitri itu adalah yang terakhir, menyusul terus menukiknya harga minyak mentah dunia sejak awal Agustus lalu. Tercatat dari posisi tertinggi US$ 78,4 per barel, pekan-pekan ini harganya sudah berada di US$ 56 per barel.

Tak cuma Pertamina, pemain lain di sektor hilir bahan bakar minyak (BBM), seperti Shell Indonesia, pun terus menurunkan harga jual produk mereka. Ketika membuka SPBU perdana mereka di Lippo Karawaci, Tangerang, awal November tahun lalu, perusahaan itu menjual Shell Super (RON 92) Rp 5.700 per liter. Produk itu kini dijual Rp 4.950 per liter.

Produk lainnya, seperti Shell Super Extra dan Shell Diesel, pun terus mengalami penurunan. ”Kami sesuaikan terus mengikuti harga pasar,” kata Wally Saleh, Wakil Presiden Shell Indonesia Bidang Eksternal dan Urusan Bisnis. Tren penurunan yang tampaknya akan berlanjut juga mendorong Pertamina menyesuaikan harga jual BBM untuk industri, yang juga tak lagi mendapat subsidi pemerintah.

Tapi, tak seperti perusahaan-perusahaan yang sigap menyikapi irama pasar, pemerintah tampaknya tenang-tenang saja. Menteri Koordinator Perekonomian, Boediono, bahkan mengatakan penurunan harga minyak dalam beberapa pekan terakhir belum bisa dijadikan dasar penghitungan ulang asumsi dan besaran subsidi bahan bakar dalam APBN 2007.

Dalam sidangnya pada 16 Oktober lalu, pemerintah bersama DPR menyepakati patokan harga minyak dalam anggaran tahun depan di posisi US$ 63 per barel. Dengan harga itu, subsidi minyak ditetapkan Rp 61,9 triliun, atau 1,8 persen dari produk domestik bruto kita. Sedangkan subsidi listrik—yang tiap tahun menyedot rata-rata 11-12 juta kiloliter solar—dianggarkan Rp 25,8 triliun.

Yang juga tak akan diubah adalah patokan harga minyak dalam APBN Perubahan tahun ini, yang ditetapkan di level US$ 64 per barel. Boediono beralasan, ”Pemerintah tidak bisa melihat besaran penurunan hanya dalam jangka sesaat, tapi harus dalam rata-rata setahun.” Penjelasan lain diberikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Paskah Suzetta. Menurut Paskah, harga minyak yang turun memang akan memperkecil besaran subsidi. ”Tapi pendapatan pemerintah dari ekspor minyak juga berkurang.”

Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus