BERBAGAI ragam kebijaksanaan moneter berlangsung beberapa bulan terakhir ini. Meliputi berbagai instrumen moneter: SBPU, SBI, fasilitas diskonto ulang, dan premi fasilitas SWAP. Untuk kalangan masyarakat luas, seperangkat instrumen moneter tersebut mungkin terasa membingungkan. Pada 8 Mei 1987, Bank Indonesia menaikkan tingkat suku bunga keempat instrumen moneter itu. Kemudian, pada 12 Juni 1987, peningkatan suku bunga pada instrumen moneter yang sama dilakukan kembali oleh Bank Sentral. Masyarakat luas kemudian memahami hal-hal yang langsung terasa bagi mereka selaku nasabah perbankan. Bagi kalangan masyarakat yang menabung uangnya di bank, kenaikan tingkat suku bunga 3%-4% pada keempat instrumen moneter itu berarti menaikkan pula tingkat suku bunga tabungan dan deposito berjangka mereka. Di pihak lain, kenaikan keempat instrumen moneter dalam hal tingkat suku bunganya juga menaikkan tingkat suku bunga pinjaman. Bila tingkat suku bunga deposito berjangka untuk 1 bulan, 3 bulan, dan 6 bulan berada di sekitar 20% dengan menghitung cost of money atau biaya intermediasi sebesar sekitar 4%, tingkat suku bunga pinjaman menjadi 24%. Masyarakat yang ingin menginvestasikan dan meminjam uang dari bank harus memperhitungkan pengembalian investasinya (Return on Investment) lebih tinggi dari 24%, katakan 28%. Pada saat ini, tingkat setinggi itu bagi produksi Indonesia sulit dicapai, mengingat lemahnya daya beli masyarakat (gaji yang tetap) dan pemerintah (anggaran yang tidak bertumbuh), dan perbankan yang ekspansinya terbatas sekali pertumbuhannya. Tidak cukup dengan kenaikan tingkat suku bunga sebesar 3-4% dalam 34 hari, Menteri Keuangan ad interim Sumarlin mengeluarkan instruksinya yang dikenal sebagai "Gebrakan Sumarlin". Empat BUMN (Taspen, PLN, Pertamina, Pusri) menarik sekitar Rp 800 milyar dari uang mereka yang terletak dalam deposito berjangka dan giro bank-bank negara. Tak pelak lagi, tampaknya kenaikan 4% tingkat suku bunga SBI belum menggerakkan BUMN yang ada, agar mengalihkan dana mereka dan membeli SBI, berupa sertifikat yang menyandang suku bunga (interest bearing notes). Dalam buku teks kenaikan tingkat suku bunga mempunyai sifat demand inelastic, artinya peningkatan persentase suku bunga tidak atau kurang berpengaruh pada permintaan akan SBI (instruksi Menteri Keuangan ad interim akhirnya mengubah seluruh pola likuiditas rupiah). Likuiditas rupiah adalah MI (uang kartal + uang giro) ditambah uang kuasi (deposito berjangka dan simpanan seperti Tabanas). Pengurangan likuiditas rupiah ini sangat mengurangi kemampuan bank untuk menciptakan kredit pinjaman. Kredit pinjaman yang diberikan oleh bank (financial intermediary) tidak pernah berasal dari bank sendiri tetapi dari masyarakat dalam bentuk giro, sertifikat, deposito berjangka, Tabanas, dan Taska. Akibat gebrakan Sumarlin ini adalah kontraksi (penciutan) uang. Hal tersebut memang merupakan sebab utama dilakukannya pengalihan dana BUMN ke SBI. Dan Rabu pekan lalu ternyata kontraksi juga muncul dari jurusan lain, kali ini melalui SBPU. Maka, Surat Berharga Pasar Uang, yang merupakan alat moneter BI untuk ekspansi, mulai saat itu implementasi operasionalnya berubah: melalui sistem lelang. Dalam sistem tersebut, BI akan membeli SBPU surat pernyataan utang dari bank yang dapat dicairkan melalui Ficorinvest, sebuah lembaga keuangan nonbank milik BI juga. Dan menjual SBI, untuk kontraksi. Transaksi itu dilakukan dengan menerima dulu tawaran atau permintaan tingkat suku bunga yang diajukan bank-bank yang ingin membeli SBI atau menjual SBPU-nya. Bank Sentral memperkirakan, dengan sistem lelang, seperangkat instrumen moneter itu mencerminkan tingkat harga (sama dengan tingkat suku bunga) yang sesuai dengan kelangkaan instrumen moneter tersebut di sektor perbankan. Denyut kelangkaan uang yang paling mencerminkan deregulasi hingga kini sebenarnya adalah "interbank money market". Ini bisa terjadi karena uang yang dipinjam dalam jangka waktu yang sangat pendek (dari overnight call hingga paling lama seminggu) disediakan dan dipakai oleh kalangan bank sendiri. Umumnya, kebutuhan dana yang diambil dari interbank money-market digunakan agar bank memenuhi ketentuan Bank Indonesia, seperti persyaratan likuiditas minimum (Minimum Reserve Requirements) dan pengembalian utang karena SBPU sudah jatuh tempo (Rabu ini semua rekening SBPU harus bersih menjadi nol agar sistem lelang SBPU dan SBI dimulai dengan bersihnya bank-bank dari kewajiban membayar kepada BI). Jatuh temponya SBPU ini yang menyebabkan ia bersifat kontraktif kali ini. Sebenarnya, SBPU dan SBI sendiri adalah sertifikat dan surat yang dapat pula diperjualbelikan. Tampaknya, di sinilah masalah mendasar yang dihadapi sistem perbankan, yaitu sulitnya membuka pasar uang yang kompetitif. Interbank money-market sendiri hingga kini juga mengandung batasan, yaitu bank-bank hanya boleh mengambil 15% saja (sebelumnya 7,5%) dari likuiditas yang dibutuhkannya dari pihak ketiga. Bila secondary money-market tercapai sejak SBPU muncul (September 1984), seyogyanya kenaikan tingkat suku bunga sebesar 4% dalam 34 hari akan menaikkan pembelian SBI. Yang terjadi adalah "Gebrakan Sumarlin" yang amat jauh kiranya dari pendekatan "Moral Suasion" yang seharusnya dilakukan otoritas moneter. Maka, kontraksi moneter yang berlangsung terjadi dengan cepat, efektif, dan akhirnya semua tujuan untuk memaksa bank-bank dan kalangan yang memegang dolarnya agar merupiahkan dolar mereka tercapai dengan efektif. Diperkirakan, selama dua bulan ini lebih dari 1,3 milyar dolar AS "digiring" masuk kembali ke Indonsia, dan cadangan BI meningkat mencapai lebih dari USS 6 milyar per minggu ini. Bantuan IGGI sebesar US$ 3,16 milyar dan besarnya cadangan BI yang kini mencapai US$ 6 milyar adalah indikator-indikator makro yang kuat tapi bukan tidak mengandung masalah. Kini bank-bank negara memberi tingkat suku bunga deposito berjangka sebesar 23% untuk pinjaman sebulan. Menyusul Bank Central Asia memberi 24% bunga untuk deposito berjangka sebulan pinjaman. Untuk 2 dan 3 bulan tingkat suku bunganya sedikit lebih rendah. Tetapi jelas, dengan suku bunga 2% sebulan sebagai biaya, bank-bank akan kelimpungan mencari upaya menyalurkan dana-dana mahal mereka. Sekarang, sulit diramalkan perkembangan lebih lanjut dari tingkat suku bunga yang amat tinggi ini. Kalau inflasi dihitung 9%, tingkat suku bunga riil adalah sekitar 15% jumlah yang jauh melebihi tingkat suku bunga riil di Jepang (amat rendah), Libor (6,8% di 1986). Libor adalah London Interbank Offer Rate bagi deposito berjangka tiga bulan untuk US$. Malah melampaui suku bunga di AS (paling tinggi suku bunga riilnya (6%). Jadi, kalau masyarakat luas di sumber-sumber pasar uang dunia mempercayai keteguhan pemerintah untuk mempertahankan rezim devisa bebasnya, selayaknya kita mengharapkan lebih banyak uang dolar yang masuk. Maka, bila ini terjadi, tingkat suku bunga kembali akan turun dan likuiditas rupiah menjadi lebih membuka prospek bagi investasi. Namun, mungkin di situ pulalah yang menjadi masalah. Masalah yang dimaksud tak lain berbedanya reaksi pasar dengan indikator makro. Di bulan Desember 1986 hanya tiga bulan setelah devaluasi, terjadi pemborongan dolar sebesar 1,8 milyar US$. Di bulan-bulan Mei 87 dan Juni 87 harga minyak yang terus stabil (USS 18 per barel) dan melampaui asumsi pemerintah untuk APBN (US$ 15) tetap saja tak menghalang-halangi nafsu pemborongan dolar yang akhirnya dapat disetop dengan kontraksi moneter yang jauh dari semangat deregulasi. (Lihat Instruksi Sumarlin). Maka, mungkin, mengharapkan masuknya dolar AS lebih banyak serta turunnya tingkat suku bunga tidak lagi dapat diukur dengan pendekatan ekonomis teknis, tetapi mungkin perlu pendekatan Political Economy. Tak ayal lagi pengalaman Desember 1986 serta Mei 1987 dan Juni 1987 memaksa kita menoleh ke arah situasi sektor Produksi Nasional. Konon, deregulasi di sekitar ini (25 Oktober 86, 15 Januari 1987) masih dapat ditingkatkan mela!ui pengurangan barier nontarif di berbagai barang modal dan bahan baku. Memang, di sini kegalauan sektor moneter yang telah terkendali belum dapat di"sentuh" kalangan otoritas moneter. Tak mengherankan, karena sektor tersebut menjangkau masalah dan kepentingan yang lebih luas dari otoritas moneter. Abu Pandu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini