Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Membereskan bank yang kurang sehat, silakan ...

Para bankir terpukul oleh gebrakan bi. mereka harus melunasi utangnya pada bi dan terancam bangkrut. suku bunga 4 instrumen naik. peredaran rupiah menciut dan mahal. pendapat para ahli ekonomi.

25 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH akhirnya tak sabar lagi. Para bankir yang dianggap penyakitan, tak becus mengelola uang negara, mulai digasak. Dalam pekan ini, dua pukulan beruntun dilontarkan Bank Indonesia untuk menguji kesehatan mereka: harus melunasi sisa utang pada BI, dan hanya bisa memakai jatah utangnya lewat lelang yang diatur oleh PT Ficorinvest, lembaga keuangan nonbank milik pemerintah. Sementara itu, dana deposito mereka, sejak dua pekan silam, disedoti oleh bank-bank pemerintah yang secara mendadak memasang bunga sampai 23% per tahun bagi deposito berjangka sebulan. "Bank yang kurang sehat akan tersingkir," ujar Hendrik Suhardiman, Direktur Komersial PT Bank Tamara. Untuk bisa lolos dari ujian itu, mereka yang penuh borok tampaknya nyaris mustahil. Bayangkan, Surat Berharga Pasar Uang, yang pada hakikatnya tak beda dengan surat izin berutang pada BI, hanya berlaku selama tiga hari. Itu pun pencairannya baru bisa dilaksanakan kalau menang lelang, yang dibuka setiap hari. "Dana yang dilepas juga terbatas, sesuai dengan kebutuhan BI," ujar Soengkowo, Direktur Utama Ficorinvest, kepada wartawan TEMPO, Sidartha. Padahal surat berharga itu semula berlaku selama enam bulan, dengan suku bunga pasti dan bisa dipakai sepenuhnya setiap saat. Lelang pertama, yang dimulai Rabu petang ini, dibuka dengan pengumuman rencana pembelian SBPU atau penjualan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) -- semacam tanda bukti tabungan -- selama tiga hari oleh BI. Lalu, diteruskan oleh Ficorinvest ke semua bank pada pukul 7 malam, lewat berbagai media komunikasi elektronik yang ada -- telepon, teleks, telerate/Reuters, atau mesin penjawab otomatis. Kesempatan penawaran bagi mereka yang berminat diberikan pada pukul 8 sampai 11, keesokan paginya, yang keputusannya bisa diterima sejam kemudian. Seorang bankir swasta mengkhawatirkan sistem itu akan membuat banknya mengalami kerepotan. Di satu pihak, berharap lelangnya akan menang, ia akan mengalami kesulitan dana apabila ternyata kalah. Di pihak lain, setelah menutup dana dari kanan-kiri, ia akan kelebihan dana bila ternyata menang lelang. Dan, asal tahu saja, kalau bankir lain tahu bahwa sebuah bank mengalami kesulitan -- baik kelebihan atau kekurangan dana -- kata bankir tadi, "pasti kami akan digencet habis-habisan". Apalagi, menurut Soengkowo, "Pada prinsipnya, BI memberi prioritas pada mereka yang menawarkan SBPU-nya dengan bunga tertinggi". Kendati demikian, tak berarti tawaran lain yang lebih rendah tak berpeluang. Mereka masih bisa mengharapkan sisa dana yang tak terserap penawaran tertinggi, karena BI sudah memastikan kalau jumlah uang ditawarkan yang harus habis diserap pasar lelang. Itu kalau ada dana yang tak terserap, kan? Sementara SBI, yang sangat jarang diminati para bankir karena bunganya sangat rendah, diharapkan akan mendapat tempat di hati para bankir, karena mereka berhak menolak tawaran bunga yang dianggap terlalu rendah. Hasilnya, bisa diduga, tak hanya bank-bank kecil yang bakal kehabisan napas, tetapi juga mereka yang nekat melepas kredit tanpa memikirkan dana cadangan. Betapa tidak, mereka akan terdesak menghadapi lawan-lawan lelang yang lebih kuat, sedangkan untuk menyaingi bunga deposito jangka pendek bank pemerintah, akan sangat berisiko. "Pengusaha akan kepayahan mengembalikan kreditnya," ujar Sofyan Wanandi pengamat ekonomi dari CSIS. Karena itu dia melihat, hanya ada dua pilihan yang harus dihadapi bank-bank kecil, "merger atau mati". Di sini, pihak perbankan dituntut untuk mengelola bisnisnya secara profesional, mengingat tingkat bunga yang diperoleh dari BI bisa berubah setiap saat, tergantung keseimbangan permintaan dan kebutuhan pasar. Sehingga, mereka harus benar-benar matang dan realistis dalam memperhitungkan turun-naiknya tingkat bunga, kemungkinan lelang yang bisa dimenangkan, dan menyiapkan dana cadangan. "Agar bisa cepat mengatasi kredit macet atau penarikan dana mendadak oleh nasabah," ujar Roy Tirtadji, Direktur Eksekutif Bank Perniagaan Indonesia, yang menanggapi kebijaksanaan moneter pemerintah kali ini sebagai proses seleksi alamiah. Bank yang menyalurkan 75% dari dana masuk untuk dilepas sebagai kredit itu sisanya disimpan sebagai cadangan -- agaknya juga tak gentar menghadapi gempuran perang bunga yang dahsyat. Bunga deposito resminya masih dipertahankan sekltar 17-19% per tahun, sedangkan bunga kredit masih terpatok pada 25% per tahun. "Kami belum mau bersaing bunga dengan bank pemerintah," ujar Roy. Hanya saja, untuk menjaring deposito mendadak dalam jumlah besar dari nasabahnya, bank itu juga berkompromi dengan memberi bunga 23%. "Perang ini saya kira akan berlangsung sebentar, karena yang kena hanya deposito berjangka 1-3 bulan." Anehnya, berdasarkan hasil riset TEMPO, tercatat tiga bank kenamaan yang nekat dalam melepas kreditnya. Bank Central Asia, Overseas Express Bank, dan Bank Umum Nasional. Bayangkan, dana-dana yang mereka peroleh dari pihak ketiga plus modal & dana cadangan, masih dibawah jumlah kredit yang dilepas. BCA yang masih menduduki tempat paling terhormat di peringkat bank-bank swasta, pada Maret silam tercatat telah melepas Rp. 596,9 milyar, sementara. Berbagai penyakit yang diidap oleh pihak perbankan itu tampak makin mencolok menjelang berakhirnya deadline pelunasan utang mereka. Bunga pinjaman antarbank per malam melonjak sampai 14% dalam seminggu, menjadi 28%, yang menunjukkan betapa kelabakannya mereka mencari uang kontan. "Karena banyak bank yang tak beres mengelola likuiditasnya," ujar Kwik Kian Gie, Ketua Dewan Direktur Institut Manajemen Prasetiya Mulya. Ketidakberesan itu tidak hanya menimpa bank-bank swasta kecil, tapi juga yang tergolong kelas menengah atau kakap. Di kalangan perbankan swasta, praktekpraktek memberi kredit pada diri sendiri (bank dalam bank), melayani kredit kepada perusahaan milik bank itu sendiri, atau milik konglomeratnya, sudah bukan barang aneh lagi. Status sebagai bank pun secara tak resmi bisa be,ubah jadi kasir belaka. Dan dananya dieksploitasi oleh mereka yang belum tentu mampu memanfaatkannya. "Sehingga kalau grupnya guncang, bank itu pun ikut collapse," ujar Kwik. Sementara itu, bank-bank pemerintah banyak terjebak oleh kredit-kredit yang dilepas pada BUMN, yang banyak lari entah ke mana. Itu juga masih ditambah berbagai kredit bersubsidi. Bahkan Bank Dunia, beberapa waktu lalu, sudah memberi isyarat agar pemerintah mengurangi subsidi kredit bagi pertanian, yang dianggap sangat memberatkan. Terutama pupuk, yang pada bulan silam kredit keseluruhannya masih mencapai Rp 156 milyar. Hubungan tumpang tindih yang mengacaukan sistem perbankan itu mulai makin keruh sejak diberlakukannya deregulasi perbankan, pada 1983, plus mekanisme pengawasan BI yang tak ketat. Mereka, dengan berbagai cara, terus menodong BI untuk turun tangan bila mengalami kesulitan likuiditas. Kini BI sudah lebih bebas untuk ikut main sebagai pelaku pasar, dan tak lagi bersedia hidup di bawah todongan. "Sekarang, yang mau jatuh, ya, jatuhlah," ujar Kwik. Kesulitan dana yang mencekik pihak perbankan sebenarnya sudah mencuat sejak bulan lalu, dengan melonjaknya pemberian fasilitas pinjaman diskonto secara drastis menjadi Rp 19 milyar, dari rata-rata Rp 2 milyar per bulan. Padahal, fasilias itu umumnya hanya disukai oleh bank-bank yang nyaris mengembuskan napas terakhirnya. Lebih dahsyat lagi, di bulan ini, hingga hari Senen pekan ini, sudah dikabulkan 35 kali permintaan fasilitas pinjaman diskonto dengan nilai Rp 134,8 milyar. Kendati demikian, masih sulit ditebak, siapa di antara mereka yang bakal tumbang. Yang pasti, menurut Omar Abdalla, Direktur Utama Bank Bumi Daya, pemerintah sudah lama menyimpan keinginan untuk merampingkan jumlah bank. Bahkan, sejak tahun 1977, keinginan itu sudah diisyaratkan dengan mencabut pembatasan jumlah bank devisa. Di sini setiap bank bisa menjadi bank devisa bila sudah melakukan merger dengan tujuh bank lainnya, atau cukup enam kali bila sudah memiliki cabang. "Tapi belum juga berhasil," ujarnya. Karena, yang terjadi, bank-bank yang sudah tak berdaya ternyata lebih suka dibeli oleh pemilik modal kuat daripada merger. Namun, seorang eksekutif dari sebuah bank asing melihat maksud terselubung di balik situasi pelik yang tengah dihadapi perbankan. Sistem lelang adalah pasar buatan, tempat hukum pasar yang sebenarnya berlaku, sehingga kalau ada bank yang karam, BI bisa cuci tangan. Selama ini, BI dianggap terlalu banyak memberi proteksi kepada pihak perbankan, yang mengakibatkan kegagalan mengendalikan pasar, ditandai dengan penyelewengan dana untuk berspekulasi. Bagi para pengusaha, situasi ini bisa berarti pembatalan atau pengurangan komitmen kredit mereka oleh pihak bank. Sehingga, mereka seolah dihadapkan pada tiga pilihan: menjadwalkan kembali proyek-proyek, mempercepat penjualan produksi, atau menjual sama-sekali perusahaannya, agar bisa menikmati tingginya bunga deposito. "Kalau yang terakhir paling banyak dipilih, ke mana lagi bank mau menyalurkan dananya?" ujar Yusuf Wantah, Direktur Utama Bank Arta Pusara. Bisa jadi, bunga deposito akan diturunkan secara drastis, atau spekulasi dolar akan melonjak lagi. Sementara itu, belum jelas, kapan aksi pengetatan rupiah ini berakhir, kendati cadangan devisa di BI sudah melonjak menjadi US$ 6 milyar pada pertengahan bulan ini, dari US$ 5,2 milyar pada akhir Mei 1987. Bagi Yusuf, kalau pelonjakan cadangan itu itu hanya disebabkan perpindahan dana dari bank pemerintah, penderitaan para pengusaha akan bertambah. Sebab, suku bunga deposito kemungkinan masih akan digenjot lagi, untuk menarik dolar yang masih parkir di luar negeri. Efek inilah yang oleh Kwik Kian Gie diibaratkan seperti membersihkan tikus gudang dengan membakar gudangnya. "Terus terang, saya tidak tahu, di mana letak kerugian yang lebih besar," ujarnya. Pengusaha yang memiliki jalur untuk menarik dana dari luar negeri mungkin tak perlu ikut merasakan penderitaan itu. "Karena pemerintah tak akan mengubah mekanisme SWAP," ujar Sofyan Wanandi. Dalam arti bahwa dolar yang mereka tarik dari luar negeri bisa dirupiahkan lewat BI sesuai dengan harga yang berlaku. Ketika dolar itu sudah jatuh tempo untuk dikembalikan kepada pemberi kredit, sang pengusaha bisa menebusnya dengan harga yang sama dengan ketika menjual. "Dengan cara itu, dana yang diperoleh bisa jauh lebih murah dari kredit dalam negeri." Sebaliknya, bagi pengusaha yang berorientasi ekspor, situasi ini sudah mencapai titik rawan. Mereka akan kehilangan daya saing di luar negeri, karena sulitnya memperoleh dana kredit dari bank, ditambah dengan tingginya suku bunga. Kalau mau banting setir ke pasar dalam negeri, kata Sofyan, mereka akan terbentur oleh jenuhnya pasar serta rendahnya harga. Tapi Trenggono Purwosuprodjo, Direhtur Utama Overseas Express Bank, ternyata berpikir lain. "Untuk ke pentingan nasional, kebijaksanaan ini memang harus ditempuh, agar tercapai sistem pasar bebas," ujarnya. Dan masalah yang sedang dihadapi pihak perbankan, baginya hanya menyangkut soal pembagian dana yang makin terbatas, agar bisa disalurkan ke sektor yang lebih produktif. Ramalan tentang keruntuhan bank-bank kecil juga ditolaknya. "Kalaupun ada yang merasa keberatan, itu hanya karena mereka tak bisa lagi memanfaatkan SBPU secara bebas, yang selama ini bisa dipakai untuk menutup kebutuhan jangka pendek." Bagaimanapun juga, para bankir harus lebih berhati-hati dalam menyalurkan dananya. Presiden Soeharto sendiri, lewat Gubernur BI, sudah memperingatkan agar kalangan perbankan lebih selektif dalam melepas kredit. "Itu memang bukan hal yang mudah bagi bank, karena para nasabah sering menggunakan segala cara untuk mendapatkan kredit," ujar Arifin Siregar, Kamis pekan silam, seusai bertandang dari Bina Graha. Praginanto, Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus