MESKIPUN banyak yang akur, tentunya ada pengamat ekonomi yang kurang sependapat dengan beleid moneter pemerintah belakangan. "Kendati dolar sudah menjadi rupiah, belum jelas juga pemanfaatannya," seperti kata Anwar Nasution, moneteris. Namun, menurut ahli ekonomi Hadi Soesastro, dalam keadaan bagaimanapun melelang SBI dan SBPU bisa dipandang baik. "BI bisa mengetahui kekuatan pasar yang sebenarnya," katanya. Ekonom yang lain, Kwik Kian Gie, menilai positif juga. Tapi, "Sistem lelang ini belum bisa menjamin turunnya suku bunga," tuturnya. Memang, seperti dikatakan Laurence A. Manullang, dalam jangka pendek kebijaksanaan pemerintah tersebut memang berhasil menyedot dolar ke rupiah. "Setelah itu masih perlu kebijaksanaan lanjutan," ujarnya. Berikut ini komentar mereka lebih lanjut: HADI SOESASTRO, 42, Direktur Studi dan Ketua Departemen Ekonomi CSIS. Langkah Bank Indonesia melelang SBI (Sertifikat BI) dan SBPU (Surat Berharga Pasar Uang) kali ini tak lepas dari niat pemerintah menyehatkan perbankan. Perkembangan menunjukkan beberapa bank goyah posisinya. Tetapi bukan karena situasi, melainkan pada dasarnya memang sudah lemah. Sekarang, dengan adanya lelang, mereka makin kelihatan. Meskipun termasuk lambat menerapkan cara itu, dalam keadaan bagaimanapun bisa dipandang baik. Apalagi diawali dengan momentum tepat, yakni beberapa badan usaha milik negara (BUMN) diperintah menarik dananya yang tersimpan di bank pemerintah. Daripada melakukan devaluasi -- seperti isu yang tersebar luas -- yang secara makro dampaknya jelek sekali, antara lain pembayaran utang luar negeri menjadi berat. Sedangkan rezim devisa pun malah bisa memperparah keadaan, apalagi di negeri yang birokrasinya belum dapat diandalkan. Sebab, bisa-bisa nanti lahir pasar gelap di balik para birokrat. Sistem lelang SBI dan SBPU, seperti sistem yang ada di Amerika juga, saya rasa lebih baik dalam kondisi yang fluktuatif kini. Intervensi BI pun kini justru semakin selaras dengan jiwa deregulasi perbankan 1983. Bunga SBI dan SBPU, instrumen kontraksi dan ekspansi BI, diserahkan kepa da kekuatan pasar dalam lelang yang dikelola Ficorinvest. Dan pagu SBPU, yang dulu bisa diambil bank ketika butuh, berarti kini harus diperjuangkan dulu dalam lelang. Sehingga, menurut saya, dari pelelangan ini BI dapat mengetahui kekuatan pasar yang sebenarnya. Bank Sentral hanya menetapkan volume peredaran uangnya saja. Adapun bank-bank besar, bank pemerintah misalnya, belum tentu lantas bisa menonjol dengan munculnya lelang itu. Penampilan bank swasta nasional, kendati kecil, juga bisa sama baiknya. Bank of Tokyo, Bank Danamon, Bank Perkembangan Asia, ini contoh bank swasta yang saat ini tergolong kuat dalam hal mengelola dana. Jadi, sebenarnya, tidak membuat bank-bank kecil tersudut, lantas perlu merger umpamanya. Sebab, bank-bank kecil nasabahnya kebanyakan golongan usaha menengah sampai dengan kecil, yang hidupnya tidak terlalu bergantung pada bank. Kenaikan suku bunga tidak berpengaruh besar terhadap nasabah yang lebih banyak menggunakan modal sendiri seperti itu. Apalagi operasi mereka rata-rata kecil. Lain halnya dengan perusahaan besar, yang biasa berhubungan dengan bank besar pula. Mereka biasa membiayai ekspansinya dengan kredit, biayanya tinggi, maka kenaikan suku bunga terasa berat baginya. KWIK KIAN GIE, 52, Ketua Dewan Direktur Institut Manajemen Prasetiya Mulya. Dengan kebijaksanaan lelang SBI dan SBPU, seolah-olah BI berkata kepada pihak perbankan, "Kamu bisa bayar berapa bayarlah sebesar itu." Ini lebih liberal dan lebih masuk akal ketimbang suku bunganya ditetapkan rata-rata. Sehingga, kalau ada bank yang berani menawar harga tinggi, BI segera tahu bahwa ada kesalahan manajemen di bank bersangkutan. Bank yang kepepet, sehingga berani ambil risiko memakai dana mahal, biar tahu rasa. Sedangkan bank yang sehat, tentu saja, hanya tertarik pada suku bunga yang normal-normal saja. Jadi, BI lebih selektif menyalurkan pinjamannya. Jika suatu bank memang terdesak butuh likuiditas besar, masih bisa minta fasilitas diskonto. Namun, terlalu banyak bank swasta yang "main kayu". Akibatnya, kesalahan manajemennya tidak hanya pada tingkat wajar, tetapi sudah sampai pada tingkat struktural. Dan, dari dulu, dengan berbagai cara BI terus ditodong oleh sistem perbankan. Kalau salah satu bank sekarat maka BI terus terjun agar citra perbankan tetap terjaga. Namun, fasilitas diskonto itu tidak akan diberikan kepada bank-bank yang mengalami kesulitan struktural. Dengan kebijaksanaan ini, saya lihat BI mulai marah. Kebebasan perbankan semenjak deregulasi 1 Juni 1983, ditambah dengan mekanisme BI yang tak bisa ketat, ternyata banyak disalahgunakan bank. Misalnya, banyak bank memberikan kredit kepada dirinya sendiri, atau bank di dalam bank. Bank memberi kredit kepada perusahaan milik bank itu sendiri atau konglomeratnya. Kalau tiba-tiba sekarat, lantas saja pergi ke BI minta bantuan. BI, yang rupanya bertugas menyelamatkan citra perbankan, tentu saja membantu. Sekarang? Kalau mau jatuh, ya, jatuhlah. Sementara itu, dalam keadaan dana semahal sekarang ini, dan likuiditas masih tegang, sistem lelang belum bisa mempengaruhi turunnya suku bunga. Dunia usaha akan terasa berat sekali dengan suku bunga kredit bertahan antara 26% dan 31% setidaknya dalam tiga bulan ini. Sebab, harga dana -- deposito misalnya -- yang diserap bank pun mahal. Itu gara-gara spekulan dolar, sebagian pengusaha, yang telanjur luntur kepercayaannya terhadap rupiah yang pernah dijanjikan tidak akan didevaluasi. Yang lebih mendasar adalah: apakah Indonesia akan mampu memupuk surplus atau tidak. Surplus bisa terjadi bila pendapatan devisa melampaui kebutuhan. Sementara itu, pendapatan devisa yang selama ini terbesar, yaitu dari minyak, sudah turun. Berarti harus diambil tindakan agar daya saing di pasar ekspor nonmigas meningkat. Deregulasi sudah berjalan, debirokratisasi pun dilaksanakan. Sebenarnya, masih ada lagi rangsangan lain yang secara psikologis akan menggairahkan dunia usaha -- meskipun tidak secara otomatis memperbaiki ekonomi. Yakni terkikisnya sebuah ganjalan lagi: monopoli. ANWAR NASUTION, 45, peneliti pada LPEM FE UI, yang pernah menjadi konsultan ekonomi BI. Kebijaksanaan BI mengenai SBI dan SBPU itu terlalu drastis. Dan, semakin tidak jelas mau ke mana langkah yang diambil pemerintah. Ada privatisasi dan ada deregulasi perbankan. Sedangkan kebijaksanaan SBI dan SBPU itu bisa-bisa malah membuat perbankan lebih tidak percaya lagi terhadap keputusan yang akan diambil pemerintah. Karena itulah, mungkin, masih perlu ditanyakan kembali: apa sebenarnya tujuan menarik modal yang lari ke luar negeri itu, dan siapa pemiliknya. Bisa saja modal yang lari itu justru milik bank pemerintah. Selain itu, kiranya masih perlu dipertegas: apa yang disebut sebagai capital flight, bagaimana menghitungnya, dan siapa pemilik sebenarnya. Boleh jadi modal atau uang itu merupakan kredit baru dari luar negeri. Hal seperti ini yang belum jelas. Kendati dolar AS menjadi rupiah lagi, selama iklim usaha perdagangan dan perindustrian tetap lesu, maka pemanfaatannya pun belum terjawab. Dalam sidang IGGI sudah disebutkan bahwa pemberian bantuan dikaitkan dengan janji pemerintah untuk melakukan deregulasi di bidang perdagangan. Ini yang ditunggu oleh semua orang. Jika produk perdagangan lesu, lantas untuk apa uang ditarik kembali dari luar negeri? Kebanyakan bank swastalah yang berat menanggungnya, kini. Mereka harus bersaing dengan bank besar, terutama bank pemerintah, yang memasang bunga deposito tinggi. Akibat ditariknya dana BUMN maka tentunya bank pemerintah ikut terjun menggali dana di pasar-pasar -- kendati kecil jumlahnya, lumayan -- yang selama ini menjadi pelanggan bank swasta itu. Saya khawatir, dengan tindakan belakangan itu, jangan-jangan mereka malah menyebut pemerintah merupakan sumber instability. Menurut saya, hal itu merupakan kesalahan fundamental dari BI, yang lambat menyesuaikan kurs rupiah serta memberlakukan fasilitas Swap. Sehingga, masyarakat menilai seolah-olah ada keuntungan yang diperoleh dari lambatnya penyesuaian itu. Masih kurang bila hanya satu langkah saja -- lelang SBI dan SBPU -- yang diambil pemerintah. Iklim usaha masih perlu diperbaiki atau dideregulasi. Lalu, naikkan premi Suap. Kurs juga harus cepat disesuaikan. Dan, bisa juga BI mengimbau para bankir maupun komisaris BUMN melalui telepon, seperti yang sering dilakukan terhadap pers, agar mereka membeli SBI kalau memang kelebihan likuiditas. Cara ini tidak akan menimbulkan keguncangan karena tidak banyak orang tahu. Dan masyarakat tidak resah. LAURENCE A. MANULLANG, Presiden Institut Bisnis, Ekonomi dan Keuangan. Langkah moneter yang dilakukan pemerintah, saya rasa, baik untuk membendung larinya rupiah ke dolar. Dan, tidak terlihat lagi bank yang menawarkan pinjaman dalam dolar, malah bunga rupiah melonjak. Namun, pemantauan harus dilakukan terus-menerus, karena kebijaksanaan kini belum tentu cocok untuk empat bulan mendatang. Kalau tidak, bisa-bisa melesukan investasi, karena keadaan ekonomi sudah berbeda. Siapa yang mampu meminjam uang dengan suku bunga mencapai 36%? Keadaan yang sekarang ini, suku bunga tinggi, tentu membuat orang cenderung lebih suka menyimpan uangnya dalam deposito dibandingkan untuk investasi. Risikonya lebih sedikit. Kalau mereka menginvestasikan, belum tentu sebulan bisa memperoleh untung 0,5%. Akibatnya, pengusaha bisa kehilangan semangat kerja. Kalau hanya untuk melawan spekulan,penarikan oleh BUMN dan pembaruan sistem kerja perangkat moneter BI (SBI dan SBPU), langkah itu cukup sesuai. Tapi, langkah-langkah berikutnya harus sudah dipikirkan mulai sekarang. Jangan menunggu nanti bila kepepet lantas baru dilakukan perubahan. Sebab, kebijaksanaan yang baik, menurut saya, adalah yang dampaknya tidak dirasakan masyarakat tetapi tiba-tiba sudah ada perubahan. Bukan dengan cara kejutan-kejutan, yang nanti malah seperti pemadam kebakaran menanggulanginya. Dan, yang lebih penting, kebijaksanaan-kebijaksanaan itu jangan sampai mematikan pertumbuhan ekonomi nasional. Suhardjo Hs., Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini