PENANGGUHAN Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN), hingga selambat-lambatnya Januari 1986, tampaknya juga melegakan banyak usaha leasing. Sektor industri jasa, yang menyediakan pembiayaan bagi pengadaan barang-barang modal ini, awal Juni, sudah mengeluh panjang mengenai rencana pengenaan pajak itu. Maklum, PPN sebesar 10% itu, secara langsung akan mengakibatkan barang modal yang disewa nasabahnya jadi lebih mahal. Tryana Sjam'un, presiden direktur Indo Ayala Leasing Corp., yang juga ketua Asosiasi Leasing Indonesia (ALI), belakangan ini memang sangat gencar bicara mengenal pengenaan pajak terhadap usaha leasing. Dia tampak keberatan, jika uang sewa cicilan nasabah atas pengadaan barang modal yang dibiayainya dikenai Pajak Penghasilan (PPh) 15% dari jumlah bruto yang dibayarkan nasabah. Potongan pajak sebesar itu harus dipenuhi, terutama jika usaha leasing menerima pembayaran sewa dari badan pemerintah serta badan usaha milik negara dan daerah. Tak jelas apakah keberatan Tryana di DPR itu diajukan sesudah dilihatnya nasabah angota ALI kebanyakan adalah badan usaha di lingkungan pemerintah pusat dan daerah. Dengan UU PPh 1984 itu, usaha pembiayaan ini harus berbenturan pula dengan metode penyusutan baru, yang hanya mengenal empat tarif: 50%, 25%, 10%, dan 5% (golongan bangunan). Dengan demikian, bisa salah suatu barang yang disewakan dari perusahaan leasing sudah habis disusutkan hanya dalam tempo dua atau empat tahun, menurut ketentuan itu. Padahal, sebelum peraturan PPh itu keluar, mereka sudah terikat kontrak dengan nasabah untuk jangka waktu tertentu, yang tidak mengikuti metode penyusutan baru tadi. Karena itulah, ALI kemudian melayangkan sepucuk surat ke Menteri Keuangan, meminta agar anggotanya diperkenankan menyusutkan barang modal yang disewakannya sesuai dengan jangka waktu kontraklama. Kepada TEMPO, Marzuki Usman, M.A., direktur Lembaga Keuangan Departemen Keuangan, menjawab, "Usul itu akan dipertimbangkan selama tidak melanggar ketentuan pajak yang baru." Leasing, sebagai salah satu alternatif sumber pembiayaan, dikenal di sini hampir 10 tahun lalu. Kendati demikian, pertumbuhan dan modal yang ditanamkan di sektor itu mulai terasa menggelembung baru dalam dua-tiga tahun terakhir ini. Menurut Marzuki, modal disetor dari 38 perusahaan itu kini meliputi Rp 64 milyar. Nilai kontrak akumulatif sejak 1974 sampai tahun lalu diperkirakannya mencapai Rp 370 milyar sebagian besar diserap untuk pembiayaan industri manufacturing (32%) dan transportasi (24%). Sedangkan pihak ALI menaksir, nilai kontrak yang ditutup anggotanya lebih dari Rp 474 milyar, dan bakal mencapai Rp 800 milyar tahun ini. Besarnya potensi pasar di sektor usaha itu, belakangan ini, memang menarik banyak minat, terutama kalangan lembaga keuangan asing, untuk melakukan patungan dengan usahawan lokal. Kata Marzuki, direktorat yang dipimpinnya kini sedang memproses permintaan izin dari 12 perusahaan. Sementara itu, tiga perusahaan lainnya masih menjajaki. Guna menyeleksi kcseriusan para penanam modal di bidang ini, pemerintah sudah tiga kali berusaha menaikkan jumlah modal disetor, baik bagi usaha swasta nasional maupun patungan: dari masing-masing Rp 50 juta dan Rp 150 juta menjadi Rp 1 milyar dan Rp 3 milyar. Sekalipun kewajiban menyetor modal sudah dinaikkan, minat penanam modal tetap tidak surut. Hal itu diduga karena memang tidak bisa lagi didapatkan izin mendirikan usaha lembaga keuangan bukan bank yang memang sudah-tertutup. Melalui leasing itulah mereka kini bisa menjangkau nasabah, terutama di luar Jakarta, yang biasanya tidak bisa diraih dengan operasi perbankan biasa karena dilarang Bank Indonesia. Keuntungan tampaknya memang cepat bakal didapat mengingat nasabah kelihatan cenderung memanfaatkan pembiayaan dari leasing - sekalipun suku bunga yang dikenakan rata-rata 3%-4% di atas bunga pinjaman di pasar uang. Kenapa? Masuknya barang modal ke perusahaan penyewa itu bakal memungkinkan nasabah ini bisa menggolongkan cicilan atas sewa barang tadi sebagai komponen biaya. "Akibatnya penghasilan kena pajak mereka tentu saja jadi bisa lebih kecil," ujar Tryana dari Indo Ayala. Dengan memanfaatkan fasilitas itu, nasabah juga tak perlu menyisihkan dana untuk membeli barang modal. Tapi lagi-lagi Tryana mengeluh, jika keuntungan atas hasil pengadaan barang modal itu dikenai Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti (PBDR) 15%. Pengenaan jenis pajak ini, yang baru akan dilakukan pada tahun fiskal mendatang, menurut dia, hanya akan menyebabkan perusahaan leasing "bukannya dapat untung, tapi malah buntung". Ketika ditanya mengenai soal pengenaan PBDR ini, Dirjen Pajak Salamun hanya menjawab singkat, "Tunggu saja tanggal mainnya. Nanti juga keluar peraturan." Bakal dipungut atau tidak jenis pajak itutampaknya berkaitan erat dengan kedudukan usaha ini. Leasing, menurut Marzuki Usman, hakikatnya merupakan lembaga pembiayaan, yang memperoleh dana dari pemegang saham, kreditur, dan menjual obligasi kalau memenuhi syarat. Mereka bukanlah deposit taking company, katanya, sehingga, "Tidak boleh mengambil dana dan masyarakat." Tapi kalangan perusahaan itu, kata Tryana, lebih suka kalau leasing bisa digolongkan sebagai "lembaga keuangan". Sebab, hal itu akan memungkinkan mereka tidak dikenai PBDR, dan menggali dana dari masyarakat. Apa boleh buat, usaha pembiayaan ini mau tak mau hari-hari ini terpaksa menelan dana dari pasar uang lokal dan luar negeri - dengan bunga tingi, dan umumnya berjangka pendek. Sampai tahun lalu, jumlah dana lokal yang mereka sedot ditaksir Rp 119,5 milyar, dan dari luar negeri US$ 232,8 juta. Masuknya modal yang digunakan untuk memberi barang modal itu, tentu saja, cukup menguntungkan posisi neraca pembayaran, apalagi mengingat sifatnya noninflatoir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini