MENJELANG Lebaran, suasana di seantero rumah gadai malah tampak semakin sepi. "Orang lebih berani pegang barang daripada uang," tutur A. Sodikin, Kepala Rumah Gadai Cabang Jatinegara, Jakarta Timur, kepada TEMPO pekan lalu. Hanya inang-inang dan para calo yang bermarkas di situ yang tetap saja hadir mengincar mangsa. Padahal, sejak 1 April lalu, Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian menaikkan batas pinJaman dari Rp 100.000 menjadi Rp 200.000. "Itu memang kami usulkan, supaya tingkat ekonomi merata," ujar J. Moeljosedono, Kepala Perjan Pegadaian, seperti berfatwa. Diungkapkannya, sejak ada pengarahan dari Menteri Keuangan, supaya "pegadaian jangan memberi modal kepada rentenir", perusahaan yang dipimpinnya selalu berusaha meningkatkan pelayanan kepada peminjam. Tetapi, Moeljosedono sendiri mengakui, membasmi rentenir dan calo bukan perkara gampang. "Sukar menyebut siapa nasabah sebenarnya," katanya. Yang datang ke pegadaian sering kali suruhan nasabah yang sesungguhnya. Soalnya, ada rasa malu datang menghadap ke rumah gadai. Seperti di ungkapkan Ny. Deky, pengusaha mebel yang agak sering berhubungan dengan pegadaian, "Ada juga masyarakat yang memandang tempat ini sama dengan sarang rentenir." Kenaikan batas pinjaman itu dengan sendirinya meliputl empat golongan (A,B,C,D), dengan dua macam jangka waktu pinjaman: enam bulan untuk golongan A dan B, tigabulan untuk golongan C dan D. Bunga yang dikenakan sekitar 3% untuk golongan A dan B, dan 4% untuk golongan C dan D. Untuk setiap peminjam diberikan masa bebas bunga selama satu bulan pertama. Dengan dinaikkannya batas pinjaman di golongan A, misalnya, nasabah di golongan ini mungkin menurun. Tetapi itu memang salah satu risiko, dan berlaku untuk seluruh Indonesia. Padahal, "kekuatan" tiap-tiap wilayah pegadaian memang tidak sama. Selama ini, Sulawesi tercatat sebagai wilayah pegadaian paling "subur". Berdasarkan laporan Januari 1984, Rp 30,16 milyar dari scluruh omset pegadaian yang berjumlah Rp 200 milyar lebih masuk dari daerah cengkih itu. Barang yang digadaikan di sana kebanyakan emas, dengan pinjaman rata-rata Rp 40.000 per potong. Untuk Jakarta, pinjaman rata-rata per potong hanya Rp 14.000. Di Pati, Tegal, dan Blitar, umpamanya, pinjaman per potong malah bisa anjlok sampai Rp 4.000. Sebaliknya, di Banda Aceh dan Pematangsiantar, angka itu berkisar antara Rp 50.000 dan Rp 52.000. Dari jumlah nasabah, statistik Pelita II dan Pelita III memperlihatkan angka menurun pada jumlah nasabah. "Tetapi nilai barang yang digadaikan ternyata naik," ujar Soehardjadi, juru bicara Perjan Pegadaian. Pada Pelita II, dengan jumlah karyawan pegadaian 5.444 orang di 446 kantor cabang, omset pinjaman tercatat Rp 66 milyar lebih, dari dua juta nasabah lebih. Pada akhir Pelita III, dengan kantor cabang yang berkembang menjadi 474 dan karyawan yang meningkat menjadi 6.258 orang, jumlah nasabah susut menjadi sekitar 1.500.000, tetapi omset pin jaman naik hingga Rp 200 milyar lebih. Hasil tingkat bunga yang sudah ditetapkan, menurut Moeljosedono, pas-pasan membiayai kebutuhan operasional - yang terbesar untuk para pegawai. Memang barang yang tidak diambil akan dilelang setelah delapan bulan tetapi jumlahnya selalu kurang dari 1% keseluruhan omset. Menurut catatan terakhir, hasil pelangan hanya mencapai sekitar Rp 2 milyar pada periode 1982/1983. Sementara itu, Perjan Pegadaian mencari tambahan modal lewat Bank Indonesia. Pada 1987 nanti, perusahaan ini harus melunasi pinjaman sejak 1979, yang berjumlah Rp 18 milyar. Prosedur yang sederhana memang sering membuat orang berpaling ke pegadaian daripada ke bank, untuk meminjam uang. Seperti Ny. Deky tadi, yang sering membutuhkan uang tunai mendadak. "Kalau di bank, rumit dan makan waktu," katanya. Apalagi untuk kebutuhan sekitar Rp 100.000. Tetapi, ia mengakui, "Kalau jadi kebiasaan, semua-semua bisa digadaiin."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini