SIANG malam Jakarta, yang pekan lalu berusia 457 tahun, masih terus saja dihantam deru mesin pancang menancapkan tiang beton ke perut bumi. Dalam tempo empat tahun terakhir ini, ratusan tiang pancang di kedua sisi Jalan Jenderal Sudirman, Gatot Subroto, sampai Rasuna Said, dengan cepat telah berubah jadi puluhan bangunan perkantoran. Pada periode ltu, suplai ruang perkantoran di pusat kegiatan bisnis ini melonjak dari 328.000 jadi 586.000 meter persegi. Menggelembungnya suplai ruang perkantoran itu, yang keputusan pembangunannya dilakukan ketika bisnis minyak dan kayu gelondongan di sini masih ramai, belakangan memang mengagetkan banyak kalangan. Maklum, permintaan ruang perkantoran yang pada tahun lalu baru mencapai 56.000 meter persegi menurut Jones Lang Wootton, rekan PT Procon Indah di Jakarta, tidak akan tumbuh kencang lagi. Dalam penerbitan International Property Review 1984, konsultan penjual ruang perkantoran terkemuka itu memperkirakan, pada dekade ini Jakarta bakal punya masalah baru: kelebihan suplai ruarigan cukup besar. Kecuali "kalau ada keajaiban ekonomi" permintaan baru bakal naik. Tahun lalu saja, menurut Jones Lan Wootton, kelebihan suplai itu diperkirakannya meliputi58.000 meter persegi. Dan pada tahun ini saat 10 gedung baru memasuki pasar dengan tambahan ruangan 134.000, kelebihan tadi mungkin akan mencapai 148.000 meter persegi. Karena penawaran meluap, tentu saja, tarif sewa pun tertekan. Pada pertengahan tahun lalu ruang di sebuah kantor unggulan atas ditawarkan US$ 30, tapi kini hanya sekitar USS 20 per meter persegi per bulan, plus service charge US$ 6-7. Tapi PT Amana Jaya, pengelola gedung Panin Bank, pada 1981 sudah lebih dulu menyerah pada Arco untuk menyewakan ruang seluas 8.500 meter persegi di gedung itu dengan tarif hanya US$ 20 per meter persegi per bulan all in. Hingga kini, kontraktor minyak asing itu masih menempati tujuh lantai, atau hampir 70% dari luas seluruh lantai di gedung yang terletak di mulut Kebayoran Baru tadi. "Daripada gedung kita kosong dimakan angin, 'kan lebih baik disewakan," ujar Rostian Syamsudin, direktur pengelola Amana Jaya. Jatuhnya tarif sewa ruangan seperti itu, yang juga disebabkan oleh berlebihnya suplai gedung perkantoran, juga terjadi di Hong Kong dan Singapura. Resesi yang melilit negara industri mulai 1981 juga mengakibatkan menurunnya minat para penanam modal datang di kedua pusat keuangan Asia itu. Tarif ruangan di Distrik Central, Hong Kong, misalnya, yang pada pertengahan 1981 masih HK$ 31, kini jatuh jadi HK$ 20 per kaki persegi - sama dengan tingkat harga empat tahun lalu. Di distrik inilah, tepatnya di World Wide House, kelompok First Pacific Finance milik Liem Sioe Liong berkantor dan menjalankan operasinya. Di Singapura tarifnya kini hanya S$ 60, jatuh dari tahun sebelumnya, yang mencapai rata-rata S$ 100 per meter persegi per bulan. Kelebihan suplai ruangan, di kedua kawasan yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar 7% setahunnya itu, diperkirakan akan terjadi hingga 1988. Di Jakarta, menurut Peter Purcell, resident partner Jones Lang Wootton, kelebihan suplai serius akan terjadi pada periode 1984-1986. Sesudah periode itu, "Pelan-pelan keadaan akan membaik lagi, dan pada 1989, keseimbangan akan tercapai kembali," ujarnya akhir tahun lalu. Memang ramalan yang terlalu umum. Perkiraan Purcell itu selaras dengan ramalan Rostian Syamsudin dari Amana: sampai dua tahun mendatang, bisnis perkantoran akan memasuki masa paling kritis. Selama jangka 1984-1986 itu, "Benar-benar bakal merupakan tahun-tahun di mana penyewa bisa mendikte pengelola gedung," ujar Rostian. Dia melihat bahwa yang mengisi gedung-gedung baru sekarang bukanlah penyewa yang pindah dari perumahan. "Tapi penyewa yang pindah dari gedung yang satu ke gedung lainnya, lantaran mereka cari yang murah lagi lebih nyaman," tambahnya. Anggapan itu tampaknya benar. Contohnya perusahaan iklan Bates Kencana Indah yang belum-lama ini pindah dari Wisma Antara, yang tarifnya US$ 23, ke Bina Mulia Building di Rasuna Said, yang sewanya hanya US$ 15 per meter persegi setiap bulan. Jadi, dulu Bates setiap bulan harus menyisihkan Rp 12 juta, tapi kini cukup Rp 5 juta. Sedangkan PT Panah Tiara pindah dari Oriental Building ke Wisma Kosgoro, dengan alasan pelayanan di gedung lama kurang baik. Di tempat baru itu Tiara harus membayar sewa US$ 15 plus service charge US$ 4,5 per meter persegi per bulan. Jatuhnya tarif sejelek itu, tentu, tidak akan terjadi jika suplai ruangan sebanding dengan tingkat permintaan. Pada tahun 1970-an memang, menurut penelitian Jones Lang Wootton, permintaan ruang perkantoran meningkat tajam, hingga pada periode 1979-1983 pernah mencapai 56.000 meter persegi setahun. Saat itu kegiatan eksplorasi minyak, penebangan kayu gelondongan, dan pembelanjaan rupiah pemerintah sedang memasuki masa pasang. Karena permintaan keras, maka banyak pengusaha pada periode itu bergegas memutuskan untuk membangun perkantoran. Tapi, ketika pembangunan selesai, demikian menurut Purcell, permintaan dari pelbagai perusahaan tak sebaik dulu lagi. "Inilah contoh klasik, perhitungan jangka panjang membangun perkantoran diporakporandakan fluktuasi permintaan jangka pendek," katanya. "Suplai membutuhkan waktu lama, minimum empat tahun, mulai dari rencana sampai jadi, sementara permintaan bisa muncul dalam satu malam." Apa boleh buat, dalam situasi sedang melimpah itu, PT Bumi Daya Plaza harus menjajakan 33 lantai seluas 50.000 meter persegi. Gedung itu, yang dibangun dengan penyertaan modal US$ 35 juta dari Ton Tumasek Hong Kong dan kekayaan Bank Bumi Daya berupa tanah 1,4 ha, hingga kini baru 22 lantainya yang disewa dengan tarif US$ 8 plus service charge US$ 7 per meter persegi per bulan. BBD sendiri, karena terikat perjanjian mau tak mau harus pula menyewa separuh luas lantai yang ada untuk mengurangi kerugian rekan usahanya. Praktis, memang, Bumi Daya Plaza, yang menawarkan mudahnya memasang telepon dan teleks serta gampangnya memarkir kendaraan, baru 11 lantainya yang disewa pihak luar - sementara 11 lantai masih kosong. "Tahun lalu memang sangat sepi, tapi tahun inl mulai banyak yang menanyakan," ujar Masnir, direktur teknik Bumi Daya Plaza. Pendatang baru pada umumnya memang agak mengalami kesulitan dalam memperkenalkan kelebihan dan kenyamanan ruang perkantoran miliknya, justru ketika kini pasar sedang jenuh. Pengelola gedung lama saja, seperti Wisma Griya, yang mengatur pemasaran Wisma Hayam Wuruk di Kota, agak grogi ketika tahun lalu sekitar 20% penyewa perkantoran bertingkat 14 itu secara berangsur pindah. Guna menarik peminat baru, pengelola gedung itu sudah menawarkan sewa menarik, jika calon penyewa berani membayar setahun di muka, untuk perkantoran yang bertarif resmi US$ 20 per meter persegi sebulan ini. Tapi situasi genting, yang mengarah pada tindakan banting harga itu, tampaknya tidak bakal dihadapi PT Terminal Builders, "sepupu" Amana Jaya, yang kini tengah menyelesaikan pembangunan Panin Center Building di sebelah Panin Bank Building. Maklum, kata Rostian Syamsudin, direktur pelaksana Terminal, gedung baru itu 80% ruangannya sudah habis dipesan delapan perusahaan. Hebat. Apa resepnya? "Mengelola perkantoran itu harus sama dengan mengelola hotel untuk membuat penyewa-penyewa asing betah," kata bekas manajer Hotel Kemang, Jakarta, ini. "Contohnya: setiap satu jam toilet harus diperiksa. Mereka biasanya tidak suka melihat kecoa, apalagi tikus." Tentu, tentu bukan karena di Wisma Metropolitan II tak ada kacoak, jika pcrtengahan tahun depan Hongkong Bank akan pindah ke situ dari Wisma Hayam Wuruk. Letak gedung baru yang sempat dilalap api ini berhampiran dengan Wisma Metropolitan II, tempat markas besar Grup Indocement dan Bogasari - kelompok perusahaan yang kini tumbuh sebaga multinasional dari Dunia Ketiga. Grup Indocement sendiri kini tengah giat membangun perkantoran tak jauh dari Jembatan Dukuh Atas di Jalan Sudirman Konon, gedung jangkung ini akan dipakai grup itu sendiri beserta anak-anak perusahaannya. Rencana seperti itu juga bakal dilakukan PT Grana Sarana Duta, anak perusahaan Bank Duta Ekonomi (BDE), yang kini tengah membangun gedung berlantai 22 di Jalan Kebon Sirih. Sebagian besar lantai gedung ini, yang dibangun dengan kredit sindikasi US$ 20 juta, akan ditempati BDE sendiri, dan empat lantai sisanya diambil Grup Berdikari, salah satu pemegang saham BDE. Pemakaian sebagian besar ruangan oleh pemilik sendiri semacam Bumi Daya Plaza dan BDE itulah yang, menurut Purcell, banyak mengurangi segi spekulasi pembangunan perkantoran di sini "Hingga kalau rugi tidak seberapa besar dibandingkan pemilik gedung di Singapura dan Hong Kong," katanya. Anggapan Purcell itu tampaknya benar, jika melihat tumbuhnya gedung baru di kedua sisi Jalan Rasuna Said, kawasan baru yang dicadangkan sebagai jajaran kantor kedubes asing (embassy roqe). Hingga kini, menurut taksiran dia, jumlah investasi di perkantoran mencapai US$ 450-500 juta. Pengatur pinjaman sindikasi dari luar negeri terbesar, katanya, Bank of America, Citibank, Bank of Tokyo, dan Bangkok Bank. Dari dana mereka inilah, antara lain, pemilik perkantoran di Jakarta kemudian membangun gedung, yang pengembangannya memakan biaya US$ 1.200-1.500 per meter persegi. Besarnya investasi perkantoran itu, tentu, akan cepat kembali jika para pengusaha, seperti PT Squibb, yang masih berkantor di Jalan Cimandiri, kawasan permukiman elite di Menteng, mau tampil sebagai penyewa baru. Perusahaan farmasi ini, yang kontraknya Desember nanti habis, betah di situ karena sewanya murah, US$ 5 per meter persegi per bulan, dan tempatnya dekat dengan peihagai rumah saklt, klien utamanya. Alasan serupa itu juga dikemukakan PT Esta Mulia, perusahaan real estate, yang masih ngantor di Jalan Belitung. Berkantor di kawasan permukiman itu, kata Ferry Sonneville, direktur utama Esta Mulia, "Selain mudah parkir juga bisa menghemat sampai 50% dibandingkan menyewa di gedung perkantoran." Tapi bagi pemerintah DKI Jakarta, yang pahng berkepentmgan mengatur peruntukan wilayahnya, sikap Squibb dan Esta Mulia itu, tentu, bisa tak selaras dengan kebijaksanaan yang digariskan. Diakui Wakil Gubernur Bunyamin Ramto, pemerintah daerah selama ini, memang, terlalu gampang memberi dispensasi pengusaha untuk berkantor di pemukiman. "Mestinya harus dicarikan alternatif, ibarat menyuruh orang lewat jalan toll, kalau tidak mampu, ya, harus diberi alternatif jalan lain," katanya, pekan lalu. Karena itulah, katanya, perlu diatur bersama pembangunan kantor dari yang sederhana sampai luks. Hingga kelak tak ada lagi, "Pengusaha mengeluh karena tidak mampu," tambahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini