AHMADIYAH masih ada, Iho. Aliran Islam yang sebuah ini, yang
berpusat di Pakistan (dan diperkirakan berpengikut sekitar 10
juta), di tahun 1974 dinyatakan oleh organisasi internasional
Rabithah Alam Islami sebagai "non-Muslim". Tapi rekomendasi
formal memang bukan "pembasmian". Ahmadiyah tetap ada -- bahkan
pucuk pimpinannya dari Pakistan baru saja berada di Indonesia.
Selama setengah bulan, sampai awal Juli, tokoh itu, Mirza
Mubarak Ahmad, meninjau jamaahnya. Ia adalah Wakil A'la
(Penanggung jawab Tertinggi) organisasi dunia Ahmadiyah -- di
samping juga Wakil Tabsyir alias Penanggung jawab Departemen
Misi. Ia, orang kedua sesudah Khalifah Ahmadiyah (yang ke 3
kini) Mirza Nasir Ahmad (dan kedua-duanya adalah putra Khalifah
11 Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad almarhum), berkendaraan mobil
dari Jakarta ke dusun-dusun di Jawa Barat.
Di sejumlah tempat mereka berhenti: Bogor, Cianjur, Bandung,
Garut, Tasikmalaya, Desa Wanasigra, Desa Singaparna, Desa
Manislor di Kabupaten Cirebon. Di masing-masing tempat berpidato
kepada sejumlah jamaah.
Jawa Barat memang terhitung daerah terkuat Ahmadiyah -- selain
Denpasar, Surabaya dan Padang, yang juga dikunjungi.
Ali Bhutto
"Acara itu kunjungan rutin saja," tutur Syafi R. Batuah,
Sekretaris Ta'lif wat Tasnif (Penyusunan dan Penerbitan)
Pengurus PB, "yang sejak masa-masa akhir ini dilakukan secara
berkala." Mirza Mubarak sendiri sudah datang ke sini
tahun-tahun 1963 dan 1968. Sedang khalifah mereka, yang
merencanakan mengunjungi Indonesia dalam rangka keliling dunia
pada 1974, berhalangan karena masalah visa -- di tahun ketika
Rabithah Alam Islami mengeluarkan fatwa pengharaman itu. Begitu
juga di tahun 1980.
Tetapi, "kami sama sekali tak mengalami kesulitan apa-apa di
sini," kata Mirza Mubarak kepada TEMPO. "Sikap terbuka datang
dari mana-mana, dan semua orang terasa sebagai saudara. " Memang
tak ada hubungan dengan badan-badan resmi keagamaan -- Majelis
Ulama misalnya. Tapi Departemen Agama rupanya memberi fasilitas
yang wajar. Sedang di Tasikmalaya misalnya, Ketua MU kabupaten
sendiri secara pribadi menghadiri pertemuan mereka.
Majelis Ulama Indonesia memang ada mengeluarkan rekomendasi yang
isinya sejajar dengan pernyataan Rabithah - pada Munas II MUI di
Jakarta tahun lalu. Majelis tentu saja mengikuti "sikap
mayoritas" seperti yang diwakili Rabithah di Mekah itu. Mereka
tak bisa membenarkan kepercayaan Ahmadiyah, bahwa Mirza Ghulam
Ahmad (yang nota bene kakek Mirza Mubarak Ahmad ini) adalah
'nabi' -- walaupun dinyatakan "nabi tanpa syari'at".
Bahkan sebagian kaum Ahmadiyah sendiri, yang dikenal sebagai
Ahmadiyah Lahore (sebagai tandingan Ahmadiyah Qadian ini) hanya
menyebut anutan mereka itu sebagai 'mujaddid' alias pembaru.
Memang, ke-pembaru-an Ghulam Ahmad itu "ditentukan Allah
sendiri"- di samping ia juga mereka percayai sebagai "Almasih
Yang Dijanjikan". Betapa pun Ahmadiyah Lahore tidak termasuk
yang dilarang Rabithah.
Meski begitu, jangan lagi di Indonesia -- tempat berdiamnya
lebih 10 ribu orang Ahmadiyah Qadian dan beberapa ribu orang
Ahmadiyah Lahore. Sedang di Pakistan sendiri Ahmadiyah
(kedua-duanya) ternyata baik-baik saja. Musibah di tahun 1974
itu dulu menimpa mereka di bawah pemerintahan Ali Bhutto. Banyak
yang memperkirakan, bahwa Bhutto agaknya terpaksa memenuhi
desakan golongan ulama yang "keras" -- yang sebal melihat
Ahmadiyah -sebagai konsesi sikap pemerintahannya sendiri yang
tidak disukai kaum ulama. Teror pun lalu terjadi, waktu itu, di
pusat Ahmadiyah di Kota Rabwah -- digerakkan oleh para pemuda
ekstrimis.
Tapi kini, seperti dikatakan Mirza Mubarak sendiri, "Pemerintah
Ziaul Haq telah berbuat banyak bagi Pakistan". Ia tidak menyebut
"bagi Ahmadiyah". Tapi mengesankan bahwa tidak ada kesulitan
apa-apa -- malah ada penambahan jumlah pengikut. Pergi haji,
misalnya, yang oleh Rabithah tentu saja dilarang dilakukan
seorang Ahmadi, tetap bisa mereka laksanakan tanpa perlu
menyebut diri mereka seorang Ahmadiyah. Lancar saja, seperti
yang juga terjadi di Indonesia. Menarik, bukan? Sebab
pemerintahan Ziaul Haq justru secara fornal didukung golongan
ulama.
Inspirator
Dan di kamarnya di tingkat ke-10 Hotel Hilton, Jakarta, tokoh
berusia 57 tahun itu bicara juga tentang organisasi Islam
internasional semacam Rabithah. Tapi bila ia mengkritiknya
(karena, menurut dia, tidak memegangi asas kebebasan
penafsiran), bukan berarti ia menginginkan organisasi pengganti.
Bagi pemimpin rohani ini, "organisasi Islam dunia tidak akan
bisa menyelamatkan umat manusia dari bom atom". Sebab penduduk
dunia "bukan umat Islam saja. "
Tapi begitu juga PBB. Perserikatan itu boleh dikatakan tak ada
gunanya, selama "tidak mempunyai kekuasaan militer". Ia menyebut
impotensi PBB di Timur Tengah, misalnya -- tapi juga sikap
bangsa-bangsa Arab yang "lebih banyak hanya bicara" dan tindakan
adat yang "malah membuat problem baru", yakni perpecahan di
kalangan Arab.
Mirza Mubarak, yang juga menyatakan bahwa yang sedang terjadi di
Iran itu "tidak berdasar Islam sama sekali" (hukum balas dendam,
eksekusi kepada orang-orang tanpa hak membela diri), menyebut
dirinya bukan politikus. Dan memang ia mengesankan ajaran
alirannya yang diketahui tidak melibatkan diri pada politik.
Islam, bagi mereka, lebih dipahami sebagai 'inspirator'.
Sepintas lalu mereka memang bisa tampak hanya sebagai penonton.
Dan itulah sebabnya Ahmadiyah banyak dinilai eksklusif, alias
terkucil, lantas "dipecat".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini