Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Membatasi Gerak Eksportir Nakal

Bank Indonesia mewajibkan eksportir menyimpan dananya di bank nasional dengan tujuan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah dan makroekonomi. Kebijakan ini sempat disangka pembatasan arus dana masuk atau keluar. Sanksi terlalu ringan.

26 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOMOK kebijakan pengendalian devisa mencuat dalam pertemuan lima puluhan eksportir dengan dewan gubernur bank sentral di lantai 3 Menara Syafruddin Prawi­ranegara, Bank Indonesia, Jakarta. Rabu pagi pekan lalu, Bank Indonesia mensosialisasi kebijakan devisa ekspor dan utang luar negeri (repatriasi valas). Peraturan yang akan dirilis pada 1 Oktober nanti ini mewajibkan eksportir menyimpan dana hasil ekspor di bank nasional. Pinjaman utang luar negeri juga wajib ditaruh di perbankan lokal.

Begitu Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution selesai mempresentasikan rencana kebijakan lalu lintas devisa itu, para eksportir secara bergantian mengajukan pertanyaan. Mereka umumnya bertanya tentang potensi munculnya capital control alias pembatasan arus dana masuk atau keluar dari sebuah negara. "Ada perasaan waswas kebijakan yang diterapkan adalah capital control," ujar sumber Tempo di Jakarta pekan lalu.

Juru bicara Bank Indonesia, Difi A. Johansyah, kepada wartawan mengatakan topik pembatasan arus dana masuk dan keluar memang muncul dalam pertemuan tersebut. Namun Darmin memastikan Bank Indonesia tak akan menerapkan kebijakan moneter tersebut. Darmin juga, kata dia, memastikan tidak ada kewajiban bagi eksportir menyimpan dolar di Bank Indonesia. "Kewajiban mengkonversi dolar ke rupiah juga tak ada sama sekali," katanya di Jakarta, Rabu pekan lalu.

Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiwo menambahkan nantinya kebijakan lalu lintas devisa Indonesia tidak akan sama dengan Malaysia, Thailand, atau Brasil. Di negara-negara itu, devisa dan mata uang asing tak bisa kembali ke luar negeri dengan mudah, bahkan harus dikonversi ke mata uang lokal. Peraturan baru Bank Indonesia nanti tetap dalam koridor rezim devisa bebas yang dianut Indonesia—diatur Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999.

Eksportir memang harus menyimpan dana hasil ekspor di bank nasional selambat-lambatnya tiga bulan setelah waktu pemberitahuan ekspor barang. Namun dana hasil ekspor itu tidak wajib disimpan dalam waktu tertentu, bahkan tak harus ditukarkan ke rupiah. "Jadi monitoring saja, bukan capital control," ujar Perry.

Peraturan baru BI itu akan berlaku efektif pada 1 Oktober. Tapi BI memberi tenggang waktu sampai Desember 2011 sebagai masa penyesuaian tanpa sanksi. Sanksi akan berlaku mulai 2 Januari tahun depan. Eksportir yang melanggar terkena sanksi denda 0,5 persen dari devisa hasil ekspornya.

Menurut Perry, dalam prakteknya, kebijakan menyimpan devisa di bank nasional sudah dilakukan di sektor minyak dan gas bumi. Dia merujuk kebijakan penggantian biaya eksplorasi minyak dan gas (cost recovery). Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) mengharuskan kontraktor kerja sama alias perusahaan minyak atau gas yang melakukan transaksi di Indonesia menyimpan dananya di bank lokal.

Dalam sebuah pertemuan pada 2008, kata Perry, perusahaan-perusahaan migas asing menentang kebijakan BP Migas tersebut. Mereka beralasan telah menyimpan uangnya di bank luar negeri. Setelah panjang-lebar berdebat, para kontraktor asing mengungkapkan alasan utama penolakan adalah tak kompetitifnya bank-bank devisa Indonesia. Fasilitas layanannya dinilai tak memenuhi standar transaksi internasional.

Juru bicara BP Migas, Gde Pradnyana, membenarkan cerita ini. "Resistensi kontraktor asing keras sekali waktu itu. Tapi kami maju terus," ujarnya seraya menyebutkan rata-rata dana cost recovery mencapai US$ 12 miliar setahun. Tak hanya transaksi di dalam negeri, kata dia, sekarang BP Migas mewajibkan setiap pembelian barang di luar negeri juga uangnya wajib masuk dulu ke bank lokal.

l l l

SEJATINYA, persiapan Bank Indonesia merilis aturan repatriasi valas sudah disiapkan sejak dua tahun lalu. Saat itu, kata Perry, Bank Indonesia menggelar dua kajian besar, yakni studi memperkuat stabilitas nilai tukar melalui kebijakan devisa dan studi memperkuat kebijakan moneter dalam menghadapi ekses likuiditas valuta asing.

Berdasarkan kajian itu, kata dia, ternyata pasar domestik kekurangan pasokan dolar. Penyebabnya dana hasil ekspor dan pinjaman asing tak semuanya masuk ke Indonesia alias parkir di luar negeri. Kekurangan pasokan dolar sebagian besar dipenuhi oleh modal asing jangka pendek (hot money). Walhasil, ketika dana asing mengucur deras ke Indonesia, rupiah langsung menguat. Sebaliknya, bila dana asing keluar lagi, rupiah melemah tajam.

Ada tiga penyebab dana hasil ekspor parkir di luar negeri. Pertama, kata Perry, perusahaan berbasis ekspor sengaja menyimpan uangnya dalam rekening di luar negeri. Kedua, eksportir mendapat pembiayaan dari lembaga keuangan di luar negeri atau importirnya. Mereka meminta eksportir menyimpan dana di bank luar negeri sebagai cara pembayaran utang. Ketiga, perusahaan eksportir punya induk perusahaan multinasional. Perusahaan induk di luar negeri itu punya kebijakan menempatkan dananya di bank luar negeri.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia Benny Soetrisno menampik para perusahaan manufaktur kerap menyimpan devisa di luar negeri. Saat menerima hasil ekspor, kata dia, industri manufaktur biasanya langsung membeli bahan baku untuk memutar kembali produksi. Menyimpan dana di luar negeri juga tak menarik karena imbalan bunganya rendah. Di Indonesia, bunga deposito sekitar 6 persen setahun, sedangkan di luar negeri paling banter 1 persen setahun. "Kalau industri berbasis sumber daya alam, mungkin menyimpan devisa di sana."

Ketua Asosiasi Perusahaan Batu Bara Indonesia Bob Kamandanu menjelaskan sebagian besar perusahaan batu bara berkembang atas pinjaman lunak dari bank-bank asing. Nah, bank-bank itu meminta perusahaan membuka rekening di luar negeri dan menyimpan hasil ekspornya di sana. "Jadi bukan sekadar menyimpan di luar negeri, tapi perjanjiannya memang seperti itu," ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Repatriasi valas, kata Bob, kebijakan bagus dan perlu didukung. "Tapi apakah harus diluncurkan sekarang. Apakah langkah antisipasinya sudah siap?" Adapun Direktur PT Indah Kiat Pulp & Paper Yan Partawijaya berharap hasil ekspor yang wajib disimpan eksportir di dalam negeri adalah devisa neto. Maksudnya, devisa hasil ekspor sudah dipotong pembayaran utang. "Jangan total (gross) devisa hasil ekspor yang diperhitungkan," ujarnya.

Memang, tak semua eksportir senang dengan kebijakan repatriasi valas ini. Menurut sumber Tempo, eksportir nakal paling gerah bila kebijakan repatriasi diterapkan. Mereka menyimpan dana di luar negeri lewat beberapa modus, misalnya transaksi under invoice dengan memanipulasi data atau nilai ekspor sehingga nilai devisa yang dilaporkan lebih kecil. Modus lainnya dengan praktek transfer pricing. Barang ekspor dijual ke importir dengan harga rendah. Lalu importir yang ternyata masih satu grup (afiliasi) itu menjual lagi ke perusahaan lain di luar negeri dengan harga lebih tinggi. "Yang dilaporkan nilai devisa rendah," bisik si sumber.

Dengan kebijakan baru nanti, ujar si sumber, praktek haram tersebut bisa ditekan karena eksportir wajib melaporkan nilai barang, nilai devisa hasil ekspor, dan semua bukti transaksi, termasuk bukti potongan utang dari bank di luar negeri, kepada Bea dan Cukai. Direktorat Jenderal Pajak juga akan ikut memeloti transaksi perdagangan luar negeri ini. "Jadi bukan semata-mata capital control, tapi mereka takut ketahuan belangnya," katanya.

Toh, meski ada perasaan waswas di kalangan eksportir, BI jalan terus. Menurut Perry, sekarang Bank Indonesia, Bea-Cukai, Ditjen Pajak, serta Badan Pusat Statistik sedang merampungkan portal online untuk memonitor transaksi ekspor-impor. Perry meyakinkan kebijakan lalu lintas devisa terbaru sangat berguna bagi stabilitas makroekonomi dan bahkan perpajakan.

Stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar juga akan lebih terjaga karena potensi devisa hasil ekspor yang masuk ke negeri ini sangat besar, mencapai US$ 29,5 miliar setahun. "Pasar valuta asing dalam negeri akan lebih aktif," katanya. "Bank nasional juga mendapat peluang bisnis baru untuk membiayai ekspor atau kredit valuta asing."

Bank-bank nasional memang paling gembira dengan kebijakan itu. Mereka bersiap menyambut peluang bisnis ini. Bank Mutiara, misalnya, sedang berbenah memindahkan urusan pembiayaan internasional dari bagian trade fi­nance ke bagian kredit. "Kami akan membuat paket kredit ekspor-impor terintegrasi," kata Direktur Bank Mutiara Ahmad Fajar.

Bank Mandiri tak kalah sigap. Berbekal pengalaman lama membiayai transaksi ekspor dan punya bank koresponden luas di luar negeri, bank terbesar di Indonesia itu sangat siap menyambut aturan repatriasi valas. "Kami tak khawatir. Kami bisa memberi layanan terbaik," ujar Direktur Mandiri Pahala Mansury.

Padjar Iswara, Anne Handayani, Febriana Firdaus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus