PUSAT industri hiburan Hollywood, Los Angeles, bagaikan lahan perburuan yang menggejolakkan minat para pemilik modal asal Jepang. Pekan lalu Matsushita, raksasa industri yang menguasai bisnis elektronik dan alat-alat rumah tangga, telah memutuskan membeli MCA Inc. Ini perusahaan induk Universal Studio, yang memproduksi film-film laris seperti Jaws dan E.T. Universal Studio -- bersama-sama 20th Century Fox, MGM/United Artists, dan Columbia Pictures -- pada dasarnya sudah dianggap sebagai lambang supremasi AS dalam bisnis hiburan. Di studio besar itu, kebudayaan Amerika dilahirkan, tumbuh gemerlapan, lalu menyebar ke seluruh dunia. Maka, ketika Matsuhita mengambil alih MCA, orang Amerika geger. Mereka teringat kembali pada Sony, yang cuma dengan modal US$ 3,4 milyar berhasil mencaplok Columbia Pictures, November tahun silam. Polemik di pelbagai media bermunculan setelah berita pembelian MCA tersebut mendapatkan konfirmasi. Matsushita bisa memperoleh MCA setelah membayar US$ 6,59 milyar -- terbesar dalam sejarah pengambilalihan perusahaan hiburan di AS oleh investor asing. Ketika Pathe Communications membeli MGM/UA ( November tahun ini), harganya tak lebih dari US$ 1,3 milyar. Bahkan tebusan yang dibayarkan Rupert Murdoch untuk menguasai 20th Century Fox di tahun 1985 cuma US$ 575 juta. Tentu saja yang membuat geger bukan cuma jumlah uang yang dikeluarkan Matsushita. Tapi lebih karena warga AS sekarang sudah tidak bisa lagi membanggakan Hollywood sebagai pusat industri hiburan yang menguntungkan. Dan mereka juga seperti terpaksa menghadapi kenyataan, bahwa kantung dana para pengusaha Jepang masih tetap tebal. Juga kenyataan yang terasa pahit -- seperti yang dibisikkan para pelobi Jepang ke masyarakat AS (melalui para wakilnya) -- bahwa MCA memang benar-benar memerlukan uang kontan. Adapun Akio Tanii, Presiden Matsushita, sama sekali tidak memiliki kelebihan seperti yang dipunyai Chairman Sony, Akio Morita. Komandan tertinggi Sony itu lancar berbahasa Inggris dan memiliki jalur bagus ke Washington, sebagai modal untuk meyakinkan warga AS bahwa Columbia tetap boleh mengembangkan citra aslinya. Sekalipun begitu, kasus pembelian Columbia itu pun dulu sempat menimbulkan protes. Maka, para penasihat Akio Tanii jauh-jauh hari sudah mengingatkan agar Taniisan hati-hati. Apalagi sudah ada indikasi, Matsushita tidak akan lepas tangan begitu saja dalam pengelolaan MCA. Alasan utama pembelian MCA ialah bahwa studio ini diam-diam memiliki perangkat lunak dalam bidang produksi alat hiburan yang lebih canggih dari CD (compact disc). Perangkat itu diberi nama CDROMS, yakni berupa satu paket disket berisi data, musik, dan gambar -- disebut juga multimedia. Selain itu, ada pula televisi dengan gambar berpartikel lembut (high definition television). Nah, penguasaan atas perangkat lunak tersebut akan mempermudah Matsushita melebarkan pasar produksi elektronik dan perkakas hiburannya di AS dan seluruh bagian dunia lainnya. Kabarnya, tanpa menguasai MCA, Jepang tidak akan berhasil menembus pasaran elektronik di negeri Paman Sam tersebut. Selama ini para industriawan Jepang memang dikenal hebat dalam memproduksi perkakas keras dari televisi, sistem stereo, sampai komputer. Tapi dalam bidang perangkat lunak, mereka dianggap belum canggih. Tak kurang dari kementerian perdagangan internasional dan industri mengakui kekurangan tenaga programer yang mencapai 600 ribu orang. Pada tahun 2000, kekurangan tenaga kejuruan di Jepang akan menjadi satu juta. Maka, langkah Matsushita bisa merupakan batu loncatan penting. "Perangkat lunak dan perangkat keras adalah bagaikan roda-roda dalam satu kendaraan," kata Akio Tanii. Matsushita didirikan oleh Konosuke Matsushita pada 1918, dengan modal US$ 50, untuk memproduksi peralatan listrik (berupa steker jenis baru). Pada perkembangan selanjutnya, Matsushita membuat penanak nasi (rice cooker), televisi, sepeda, sampai pemanas air dengan minyak tanah ke rumah-rumah. Semua produk itu disebarkan melalui toko-toko kecil di pelbagai pelosok Jepang. Pasar internasional, yang mulai dirintis 1953 ke AS lalu Asia, ternyata bukan merupakan konsentrasi utamanya. Mendiang Matsushita (meninggal tahun silam dalam usia 94 tahun) kabarnya pernah berkata, "Jepang bisa makmur tanpa harus tergantung melulu pada perdagangan internasional." Prinsip itu kini tak bisa dipertahankan lagi. Di bawah Taniisan, yang masuk ke pucuk pimpinan Matsushita pada 1986, perusahaan itu berkonsentrasi untuk menjadi kekuatan multinasional. Barang-barang komoditi berteknologi menengah, seperti lemari es dan mesin pendingin (AC), sekarang diekspor dari luar Jepang ke pasar AS -- bahkan ke Jepang sendiri. Untuk tahun ini total penjualannya (meliputi perkakas video, komponen elektronik, dan perkakas komunikasi dan industri) mencapai US$ 37,75 milyar. Nah, sesudah membeli MCA, tak mustahil penjualan tersebut akan meningkat terus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini