INI sebuah "pembuktian terbalik". Bertambahnya majalah wanita, dari segi jumlah dan oplahnya, membuktikan bahwa jumlah wanita lebih banyak dari pria di Indonesia. Dalam seminggu beredar tak kurang dari lima terbitan majalah wanita. Coba, setelah "perang Kartini" usai, tampil majalah Pertiwi di samping Kartini. Keduanya sama-sama terbit sebulan dua kali. Begitulah, dengan kekayaan sekitar Rp 900 juta, "Kami melanjutkan yang sudah ada sebelumnya," tutur Yozar Anwar, Pemimpin Perusahaan Pertiwi. Oplahnya pun mulai merangkak naik. Pada penerbitan kedua, Pertiwi mengaku terjual 130.000 eksemplar, di atas terbitan perdananya yang laku 125.000. Yozar yakin bisa menggigit pangsa lebih besar lagi di antara majalah Sarinah atau Femina yang sudah hampir 15 tahun berdiri di depan. Promosi Pertiwi berlangsung gencar. Tidak hanya Rp 100 juta sudah ditaburkan, tetapi hamburan kata-kata dalam iklannya tampak ingin merebut pembaca Kartini, yang sudah kukuh di tangan Lukman Umar. Yang terakhir itu rupanya enggan kalah dalam beriklan. Terjadilah perang iklan. Lukman Umar, Pemimpin Umum Kartini, menjanjikan mutu isi majalahnya lebih baik. Dalam "era baru", begitu Lukman Umar menyebutnya, disediakan modal Rp 500 juta, didukung 110 karyawan, dan 24 wartawan. "Modal itu akan kembali sekitar dua tahun mendatang," katanya. Tampaknya cukup nyaman menjalankan bisnis majalah wanita. Kendati ekonomi lesu, majalah seperti itu tetap laku, dan merangsang untuk digeluti. Seperti majalah Famili, yang sudah lima tahun berdiri, majalah wanita dwimingguan ini oleh pengasuhnya dianggap sudah mencapai titik impas pada tiga bulan pertama. Konon, kini sudah dicetak mendekati 100.000, dengan harga Rp 1.000. Menurut Titie Said Sadikun, Pemimpin Umum yang merangkap Pemimpin Redaksi Famili, iklanlah yang amat menopang kehidupan majalahnya. Dari isi majalah, ia menyediakan sekitar 30% untuk ruang promosi. "Dengan iklan inilah, kami mampu foya-foya," tuturnya. Pantas, walaupun 60% pengeluaran untuk ongkos cetak dan kertas, mampu menutup biaya kantor dan membayar karyawan. Yang bisa bikin tenang bisnis majalah wanita adalah pelanggan. Famili punya pelanggan 50%. Majalah Femina, yang punya rekan majalah Gadis dan Ayahbunda, juga mengandalkan 65% pembacanya yang berlangganan tetap. Pembaca rupanya sudah tahu, majalah wanita macam apa yang diperlukannya. "Terutama pembaca lama," kata Widarti, Pemimpin Redaksi Femina. Dengan oplah relatif tetap selama tiga tahun terakhir ini, sekitar 110.000 eksemplar, Femina tampil seminggu sekali. Menurut Widarti, pada awal terbitnya, September 1982, bermula sebagai majalah bulanan, yang kemudian menjadi sebulan beredar dua kali. Iklan pun terpampang 30% dari 112 halaman. Dari situ grup Femina, setelah menggandeng majalah wanita lain, Dewi, mengembangkan usaha pembibitan benih udang di Pulau Seribu. Lain lagi Lukman Umar, yang mengaku sudah menjaring 160.000 pembaca dengan Kartini-nya, belum berniat melirik bidang usaha lain. Ia masih suka bergelut dalam penerbitan majalah. Bulan ini rencananya ia akan menampilkan majalah Amanah. Sedangkan majalah Asri dan Ananda, yang dulu dikenal satu grup dengan Kartini, katanya, sudah di luar grup Kartini. Titie Said masih ingin menekuni majalahnya yang sekarang. Yang keras diperjuangkan adalah Pertiwi Majalah wanita termuda itu, menurut Yozar Anwar, tak menutup kemungkinan untuk melebarkan sayap. Asal saja berhasil memperebutkan perhatian wanita Indonesia yang ternyata memang berbhineka selera. Shd
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini