Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Memukul developer modal dengkul

Btn mencabut spp (surat persetujuan proyek) para developer yang tidak memenuhi ketentuan. banyak developer yang menggunakan fasilitas spp untuk mencari keuntungan dari rumah yang semestinya dibangun. (eb)

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANK Tabungan Negara (BTN) ternyata cukup serius membenahi pengusaha pembangun rumah sederhana (developer). Akhir April direksi bank itu mengumumkan pencabutan rencana pembangunan 13.100 unit rumah, yang sebelumnya telah mendapat Surat Persetujuan Proyek (SPP). Tindakan itu terpaksa dilakukan mengingat pihak pembangun belum juga tampak melakukan kegiatan fisik membangun rumah sampai saat masa berlaku SPP (maksimum 8 bulan) mereka habis. "Terpaksa rumah-rumah itu dikeluarkan untuk menjaga agar portofolio SPP tetap real," ujar Prayogo Mirhad, direktur BTN. Dengan keputusan itu otomatis SPP (semacam surat yang bisa digunakan untuk meminta kredit konstruksi) para developer yang terkena, tidak lagi berlaku. Syafruddin Soemadji, ketua Real Estate Indonesia (REI) Jawa Tengah dan Yogya, menganggap tindakan BTN itu "terlalu kaku". Sebab siapa tahu, mereka (17 di antaranya adalah anggota REI Ja-Teng dan Yogya) mengalami kesulitan memperoleh kredit kontruksi dan izin prinsip tanah. Kalau REI diajak berembuk dulu "kami akan melihat kasus per kasus, baru setelah ketahuan mereka tak mampu silakan dicabut," katanya kepada Bandelan Amarudin dari TEMPO. Tindakan yang terasa pahit buat developer itu memang berkaitan erat dengan beleid BTN 21 Januari lalu. Untuk evaluasi dan inventarisasi SPP, yang telah diterbitkan BTN, ketika itu direksi BTN untuk sementara menghentikan penerimaan usulan proyek baru dari para developer. Dengan cara itu, BTN juga berusaha mengetahui besarnya kebutuhan dana Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk 1983 dan 1984. Dari hasil evaluasi itu diperoleh gambaran bahwa 13.100 dari 45 ribu rumah yang akan dibangun ternyata belum diapa-apakan. Penertiban lebih jauh kemudian diadakan BTN dengan memperbarui sejumlah ketentuan bagi badan usaha perusahaan pembangunan perumahan (developer). Untuk menciptakan profesionalisme, BTN mengharuskan pengusaha secara jelas menyebut bahwa bidang usahanya adalah pembangunan perumahan, dalam anggaran dasar perusahaan. Dalam edaran 16 April itu, BTN juga mengharuskan developer benar-benar telah menguasai tanah yang akan dipergunakan (mendapat izin lokasi dan pembebasan) dari pemerintah daerah setempat. Pembaruan ketentuan itu jelas dilakukan untuk mencegah munculnya pengusaha aktentas, yang hanya bermodalkan SPP saja. Bahkan banyak di antaranya "yang cuma punya modal mulut kosong," ujar Bonar Simatupang, dirut PT Parna Putra, Jakarta. Pengusaha macam begini, sesudah mengantungi SPP (paling tinggi butuh Rp 5 juta) "biasanya segera mencari dana dari masyarakat untuk membebaskan tanah." Di luar dugaan, Simatupang mengaku Parna Putra termasuk di antaranya. "Tapi proyek saya berhasil baik," katanya kepada Rini PWI Asmara dari TEMPO. Syafruddin, ketua REI Ja-Teng dan Yogya itu, menganggap beleid baru BTN itu terasa berat bagi pengusaha. Jika ketentuan itu harus dipatuhi, katanya, pengusaha sedikitnya membutuhkan dana Rp 200 juta untuk memulainya mengingat pembayaran oleh BTN baru dilakukan sesudah rumah selesai dibangun, dan ada pembelinya. Jadi peraturan baru itu hakikatnya "membikin sesak napas pengusaha", kata Syafruddin, yang juga direktur PT Niti Buana. Apalagi "bank yang biasanya memberikan kredit konstruksi kini melakukan pengetatan pemberian pinjaman." Apa boleh buat. BTN pun juga harus menertibkan para calon pembeli, debitur yang akan menikmati fasilitas KPR. Debitur dari golongan pegawai negeri dan ABRI, misalnya, kini diwajibkan punya Tabanas di BTN atau Kantor Pos dan Giro, dengan saldo minimum Rp 300 ribu, dan sekurang-kurangnya telah mengendap sebulan. Mengingat gaji pegawai negeri dan ABRI tahun ini tidak naik, demikian Syafruddin, ketentuan yang sebelumnya tak ada itu, diahggapnya juga akan memberatkan calon pembeli. Karena itulah dia ragu, apakah angka penjualan 500 rumah Niti Buana seperti yang pernah dicapai tahun lalu akan tercapai pula tahun ini. Tapi Prayogo berpendapat ketentuan saldo Tabanas yang Rp 300 ribu itu justru akan menguntungkan semua pihak. Bagi calon debitur akan meringankan uang muka, yang tahun ini harus disediakan sekitar Rp 600 ribu, dan bagi developer tidak perlu lagi mengejar uang muka. "Sekarang tabungan itu baru merupakan sebagian uang muka, tapi nanti uang muka harus merupakan saldo simpanan minimum Tabanas," kata Prayogo, direktur BTN. Apakah harga rumah akan naik? "Ya pasti," jawab Prayogo. Soal berapa besar, dan kapan akan dilakukan, BTN menunggu kabar dari Ditjen Cipta Karya, Dep. PU. Sebab instansi itulah "yang berhak menentukan harga bangunan per meter perseginya," tambah Prayogo. Karena harga pelbagai bahan bangunan belakangan naik menyusul devaluasi, Syafruddin mengimbau agar pemerintah menaikkan plafon biaya pembangunan rumah sebesar 15-20% dari yang kini Rp 60 ribu m2. "Kenaikan sebesar itu, baru bisa mendatangkan keuntungan," katanya. Dalam kaitan usaha itu, Prayogo mengimbau agar developer benar-benar melakukan upaya pemasaran dengan baik. Untuk fasilitas KPR itu dana yang tersedia tahun ini Rp 130 miliyar. "BTN jelas akan membantu developer yang masih punya niat baik, dan dapat menunjukkan kesungguhan untuk membangun perumahan sederhana," kata Prayogo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus