BANK Tabungan Negara (BTN) ternyata cukup serius membenahi
pengusaha pembangun rumah sederhana (developer). Akhir April
direksi bank itu mengumumkan pencabutan rencana pembangunan
13.100 unit rumah, yang sebelumnya telah mendapat Surat
Persetujuan Proyek (SPP). Tindakan itu terpaksa dilakukan
mengingat pihak pembangun belum juga tampak melakukan kegiatan
fisik membangun rumah sampai saat masa berlaku SPP (maksimum 8
bulan) mereka habis. "Terpaksa rumah-rumah itu dikeluarkan untuk
menjaga agar portofolio SPP tetap real," ujar Prayogo Mirhad,
direktur BTN.
Dengan keputusan itu otomatis SPP (semacam surat yang bisa
digunakan untuk meminta kredit konstruksi) para developer yang
terkena, tidak lagi berlaku. Syafruddin Soemadji, ketua Real
Estate Indonesia (REI) Jawa Tengah dan Yogya, menganggap
tindakan BTN itu "terlalu kaku". Sebab siapa tahu, mereka (17 di
antaranya adalah anggota REI Ja-Teng dan Yogya) mengalami
kesulitan memperoleh kredit kontruksi dan izin prinsip tanah.
Kalau REI diajak berembuk dulu "kami akan melihat kasus per
kasus, baru setelah ketahuan mereka tak mampu silakan dicabut,"
katanya kepada Bandelan Amarudin dari TEMPO.
Tindakan yang terasa pahit buat developer itu memang berkaitan
erat dengan beleid BTN 21 Januari lalu. Untuk evaluasi dan
inventarisasi SPP, yang telah diterbitkan BTN, ketika itu
direksi BTN untuk sementara menghentikan penerimaan usulan
proyek baru dari para developer. Dengan cara itu, BTN juga
berusaha mengetahui besarnya kebutuhan dana Kredit Pemilikan
Rumah (KPR) untuk 1983 dan 1984. Dari hasil evaluasi itu
diperoleh gambaran bahwa 13.100 dari 45 ribu rumah yang akan
dibangun ternyata belum diapa-apakan.
Penertiban lebih jauh kemudian diadakan BTN dengan memperbarui
sejumlah ketentuan bagi badan usaha perusahaan pembangunan
perumahan (developer). Untuk menciptakan profesionalisme, BTN
mengharuskan pengusaha secara jelas menyebut bahwa bidang
usahanya adalah pembangunan perumahan, dalam anggaran dasar
perusahaan. Dalam edaran 16 April itu, BTN juga mengharuskan
developer benar-benar telah menguasai tanah yang akan
dipergunakan (mendapat izin lokasi dan pembebasan) dari
pemerintah daerah setempat.
Pembaruan ketentuan itu jelas dilakukan untuk mencegah munculnya
pengusaha aktentas, yang hanya bermodalkan SPP saja. Bahkan
banyak di antaranya "yang cuma punya modal mulut kosong," ujar
Bonar Simatupang, dirut PT Parna Putra, Jakarta. Pengusaha macam
begini, sesudah mengantungi SPP (paling tinggi butuh Rp 5 juta)
"biasanya segera mencari dana dari masyarakat untuk membebaskan
tanah." Di luar dugaan, Simatupang mengaku Parna Putra termasuk
di antaranya. "Tapi proyek saya berhasil baik," katanya kepada
Rini PWI Asmara dari TEMPO.
Syafruddin, ketua REI Ja-Teng dan Yogya itu, menganggap beleid
baru BTN itu terasa berat bagi pengusaha. Jika ketentuan itu
harus dipatuhi, katanya, pengusaha sedikitnya membutuhkan dana
Rp 200 juta untuk memulainya mengingat pembayaran oleh BTN baru
dilakukan sesudah rumah selesai dibangun, dan ada pembelinya.
Jadi peraturan baru itu hakikatnya "membikin sesak napas
pengusaha", kata Syafruddin, yang juga direktur PT Niti Buana.
Apalagi "bank yang biasanya memberikan kredit konstruksi kini
melakukan pengetatan pemberian pinjaman."
Apa boleh buat. BTN pun juga harus menertibkan para calon
pembeli, debitur yang akan menikmati fasilitas KPR. Debitur dari
golongan pegawai negeri dan ABRI, misalnya, kini diwajibkan
punya Tabanas di BTN atau Kantor Pos dan Giro, dengan saldo
minimum Rp 300 ribu, dan sekurang-kurangnya telah mengendap
sebulan. Mengingat gaji pegawai negeri dan ABRI tahun ini tidak
naik, demikian Syafruddin, ketentuan yang sebelumnya tak ada
itu, diahggapnya juga akan memberatkan calon pembeli. Karena
itulah dia ragu, apakah angka penjualan 500 rumah Niti Buana
seperti yang pernah dicapai tahun lalu akan tercapai pula tahun
ini.
Tapi Prayogo berpendapat ketentuan saldo Tabanas yang Rp 300
ribu itu justru akan menguntungkan semua pihak. Bagi calon
debitur akan meringankan uang muka, yang tahun ini harus
disediakan sekitar Rp 600 ribu, dan bagi developer tidak perlu
lagi mengejar uang muka. "Sekarang tabungan itu baru merupakan
sebagian uang muka, tapi nanti uang muka harus merupakan saldo
simpanan minimum Tabanas," kata Prayogo, direktur BTN.
Apakah harga rumah akan naik? "Ya pasti," jawab Prayogo. Soal
berapa besar, dan kapan akan dilakukan, BTN menunggu kabar dari
Ditjen Cipta Karya, Dep. PU. Sebab instansi itulah "yang berhak
menentukan harga bangunan per meter perseginya," tambah Prayogo.
Karena harga pelbagai bahan bangunan belakangan naik menyusul
devaluasi, Syafruddin mengimbau agar pemerintah menaikkan plafon
biaya pembangunan rumah sebesar 15-20% dari yang kini Rp 60 ribu
m2. "Kenaikan sebesar itu, baru bisa mendatangkan keuntungan,"
katanya.
Dalam kaitan usaha itu, Prayogo mengimbau agar developer
benar-benar melakukan upaya pemasaran dengan baik. Untuk
fasilitas KPR itu dana yang tersedia tahun ini Rp 130 miliyar.
"BTN jelas akan membantu developer yang masih punya niat baik,
dan dapat menunjukkan kesungguhan untuk membangun perumahan
sederhana," kata Prayogo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini