TERJADI di Kabanjahe, Sumatera Utara, suatu malam di bulan April
lalu. Tujuh pelajar berusia belasan tahun menjebol brankas
Apotek Kimia Farma di kota itu, menggondol 350 butir valium, 3
stetoskop, sebuah rekorder dan uang tunai Rp 700 ribu lebih.
Pencurian itu dimotori Anto, 17 tahun, yang baru seminggu
dikeluarkan dari SMP Negeri II. "Ia penyebar kenakalan dan tiap
masuk sekolah mulutnya bau minuman keras," kata seorang guru di
sekolah itu. Bersenjata linggis, kawanan Anto mendobrak pintu
belakang apotek, mulanya mereka hanya menggasak uang Rp 2 ribu
dan beberapa kotak pil penenang valium.
Anto rupanya tidak puas. Sejam kemudian ia kembali memimpin
kawan-kawannya masuk ke apotek itu lagi. Langsung ke tingkat
tiga. Dengan linggis, Anto mendobrak brankas, yang terletak di
sudut ruangan. Sabam, 17 tahun, siswa SMP Negeri II membantu
dengan palu. Tak sampai setengah jam, brankas buatan lokal itu
pun jebol. Berebutlah para penjahat cilik itu meraup uang.
Sabam mengantungi Rp 250 ribu dan Drihen kebagian Rp 200 ribu.
Lainnya kebagian Rp 50 ribu. Anto sendiri tampaknya tak begitu
ambil pusing soal uang. Ia lebih tertarik pada valium, yang lalu
ditelannya sampai teler.
Peristiwa itu baru terbongkar seminggu kemudian, ketika Sabam
mendapat kecelakaan sepeda motor. Dokter, yang mengobatinya di
rumah sakit, segera menghubungi polisi, karena Sabam
memperlihatkan tanda-tanda seperti kebanyakan menelan pil
penenang. Hari itu juga ia ditangkap. Temannya, Johni dan
Hendra, juga diambil dari sekolah. Sayang Anto, Drihen, Alex dan
Mardi keburu lolos dan sampai pekan lalu masih buron.
Kepada polisi, Sabam mengaku bahwa beberapa waktu lalu, bersama
Anto ia juga pernah membobol sebuah kios, menyikat 20 potong
baju yang langsung dijual. Komandan Kepolisian Kabanjahe, Letkol
Pol P. Aruan, hampir-hampir tak percaya pada kasus yang
ditanganinya itu. "Kalau mencuri ayam untuk dibikin sate,
mungkin masih bisa dimaafkan. Tapi ini . . .?" Aruan
membelalakkan mata.
"Mencuri ayam untuk bikin sate", seperti yang dimaafkan Aruan,
boleh jadi memang dihitung sebagai "kenakalan" remaja meski
formalnya, menurut KUHP, kejahatan juga namanya. Tapi belakangan
ini, terlihat dari kasus Kebanjahe atau beberapa lainnya,
kenakalan tersebut cenderung meningkat serius. Mungkin hal itu
hanya kesan yang tergoda oleh pemberitaan yang dibesar-besarkan
saja.
Namun, "gaya hidup" remaja masa kini yang menyolok terpamerkan
di kota besar atau kecil, tidak bisa dinikmati semua anak muda,
jelas sangat menggoda (lihat: Gaya Hidup "Wah", Tapi Blkan
Kriminal). Tentu banyak yang bisa bertahan. Namun, tidak sedikit
pula yang menoleh, berusaha meraih dengan berbagai cara.
Misalnya, seperti dilakukan Iwan, pelajar sebuah SMA di Jakarta
Timur. Suatu malam, di bulan Februari, ia naik taksi yang
dikemudikan Herry. Dari Kramat Sentiong, Iwan minta diantar ke
Guntur, lalu kembali ke Jalan Percetakan Negara. Di sebuah
kapsalon taksi berhenti. Iwan sempat omong-omong sebentar dengan
seorang cewek yang ada di situ. Lalu melanjutkan perjalanan ke
Rawamangun dan akhirnya menuju daerah Pondok Kopi di Jakarta
Timur.
Di tempat gelap, tiba-tiba Iwan menyuruh berhenti, sambil
menodongkan pisau ia mengancam agar Herry menyerahkan uang.
Herry ternyata bukan lawan empuk. Ia melawan sehingga mendapat
beberapa tusukan di punggung. Nyaris ia "tamat", kalau saja
tidak ditolong sekelompok pemuda, yang kebetulan lewat, yang
kemudian menghajar Iwan. Akibat luka-lukanya, pengagum penyanyi
Iwan Fals itu meninggal, sebelum sempat diangkut ke rumah sakit.
Latar belakang kejahatan remaja tentu saja bermacam-macam.
Frans, 18 tahun, pelajar kelas II SMA Negeri di Jakarta Selatan,
mengajak temannya merampok sebagai hiburan gara-gara patah hati.
Pemuda bertubuh atletis dan dikenal pintar di sekolah itu,
berbekal martil, sebilah pisau dan sebuah sangkur, meminjam jip
CJ-7 milik Eko. Lalu melaju menuju Pondok Indah.
Begitu Frans dan Reska, temannya, berhenti di depan sebuah rumah
mewah, rupanya penghuninya curiga dan langsung angkat telepon,
mengortak polisi. CJ-7 kontan putar haluan menuju perumahan
mewah Kemang Indah. Namun nasib keduanya tak begitu baik. Mereka
memang berhasil memasuki sebuah rumah dan melumpuhkan
pembantunya. Sayang, di luar rumah seketika ramai orang
berteriak, "rampok!".
Frans dan Reska buru-buru naik ke mobil dan tancap gas. Sial,
tak tahunya mereka memasuki jalan buntu. Reska, tak ampun lagi,
digasak ramai-ramai. Ia terjajar di aspal, luka parah dan
akhirnya meninggal di rumah sakit. Frans beruntung, meski
akhirnya tertangkap polisi, ia terbebas amukan massa. Belakangan
Frans turut 'dipajang' dalam acara Line Up operation di Kodak
Metro Jaya, yang mempertontonkan wajah para penjahat kepada
masyarakat.
Di Yogya terdapat pula contoh kenakalan yang sudah serius. April
lalu, polisi menangkap kawanan penjahat cilik, terdiri 4 orang
yang sering mencuri sepeda. Yang dua orang ternyata masih duduk
di bangku SD, satu orang murid SMP, dan satunya penganggur.
"Yang masih di bawah umur terpaksa kami serahkan ke Bispa
(Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak)," kata Wakil
Komandan Kepolisian Yogya Mayor Pol Soeharto.
Pelajar atau anak di bawah umur yang melakukan tindak kejahatan,
kata Soeharto, biasanya bergabung dengan gali yang kini terus
diburu. Tidak heran, memang, bila di kota pelajar tersebut ada
pelajar yang menyeleweng ke dunia kriminal.
Mayor Soeharto menyodorkan angka. Sekitar 1982-1983 tercatat 59
pelajar dan 23 mahasiswa melakukan tindak kriminal. Seperti
menjambret, mencuri, menipu, bahkan membunuh.
Di Bandung dan Surabaya pun banyak yang terlibat kejahatan. Dan
seperti rekan di kota besar lain, mereka tampaknya menganggap
jenis kenakalan seperti membolos atau berkelahi, sudah kuno.
Seorang pejabat di Markas Besar Polri mengakui ada peningkatan
kejahatan oleh remaja/pelajar. Kasus kejahatan yang dilakukan
anak dan remaja tahun 1981-1982 menurut pejabat tadi, berjumlah
17.250. Yang terbanyak ialah kasus pencurian ringan, kemudian
penganiayaan, pencurian dengan kekerasan, pembunuhan, dan
penipuan. Adapun kejahatan terhadap kesopanan tercatat paling
kecil. (lihat tabel).
Pejabat itu juga melihat, paling tidak ada dua motif mengapa
pelajar melakukan tindak kejahatan. Kelompok yang pertama, yang
berbuat kejahatan "karena gerak hati yang tiba-tiba, tanpa
diimbangi kematangan jiwa." Yang kedua, mereka yang memang sudah
terbiasa melakukan tindakan antisosial, dan kemudian melangkah
ke dunia kejahatan. Kelompok kedua itulah, menurut pejabat tadi,
yang patut mendapat perhatian. Sebab, bila tidak cepat diatasi,
"mereka cenderung menjadi residivis."
Doddy Yudhista, seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, yang pernah mengamati kehidupan malam pelajar yang
menyimpang, berpendapat sama: "Pelajar yang melakukan kejahatan,
bermula dari iseng." Namun, karena tidak ada yang menghentikan
keisengannya, antara lain kurang perhatian dari orang tua, "jadi
keterusan."
Menyamar sebagai preman, Doddy, 26 tahun, membuktikan banyak
kelompok pelajar yang "keterusan" itu. Di Jakarta Utara,
contohnya, ada seorang pelajar yang sering mengorganisasikan
perampok. Sasarannya barang elektronik seperti video atau tv
berwarna. Yang diincar tidak jauh-jauh: rumah kenalan orang tua
atau tetangganya sendiri. Teman-temannya yang memberi informasi
-- kapan sebuah rumah ditinggal penghuninya ke luar kota dan
hanya ditunggu pembantu -- bisa dirampok.
Operasi, menurut pengakuan remaja tadi kepada Doddy, biasa
dilakukan menjelang subuh, setelah mereka mabuk-mabukan. Dan
hasil merampok, yang dijual sangat murah kepada seorang penadah,
memang hanya sekadar pembeli alkohol dan ganja. Perbuatan itu
tidak pernah diketahui orang tuanya -- karena ayahnya seorang
pelaut dan ibunya hampir setiap malam keluar rumah entah untuk
apa.
Di Jakarta Selatan, Doddy menjumpai kelompok lain lagi. Seorang
pelajar kelas II SMA, mengaku terlibat dalam beberapa pencurian
kendaraan bermotor, mobil atau sepeda motor. Kepada Doddy,
pelajar anak orang gedongan itu mendemonstrasikan kebolehannya:
hanya dengan sepotong kawat runcing yang di bengkokkan, tidak
sampai satu menit, ia berhasil membuka pintu mobil. Ia tidak mau
mengaku, ilmunya diperoleh dari siapa.
Ia, begitu penuturannya kepada Doddy, hanya bertugas membuka
pintu mobil yang diincar. Langkah selanjutnya diurus oleh
kawanan yang tampaknya sudah profesional. Pelajar tadi tidak
banyak menuntut. "Ia berbuat begitu semata untuk bisa disebut
hebat," kata Doddy. Tapi, begitu mendapat "perolehan", ia memang
jadi royal sekali semua temannya ditraktir minum sampai mabuk.
Ada lagi pelajar yang enggan menyebut apa "kegiatan"
sampingannya. Hanya bila berhasil, seperti diketahui Doddy, ia
langsung menyewa kamar di hotel berbintang tiga untuk beberapa
hari. Siang malam ia ditemani cewek cantik. Tidak percaya?
"Semula saya juga tidak mengira ada kehidupan remaja model
begitu," kata Doddy, setelah membuktikan ceritanya. Doddy, yang
berminat mengambil jurusan Sosiologi Kriminologi, merencanakan
menulis pengalamannya dalam sebuah buku. Ia rupanya hendak
menyalakan semacam lampu kuning bagi kita.
Sudah tentu, Doddy bukan satu-satunya orang yang prihatin
terhadap krisis di kalangan remaja. Polisi Bogor, bekerja sama
dengan guru dan kantor P&K sejak akhir Maret lalu merazia
pelajar yang pada jam sekolah berkeliaran di tempat umum seperti
bar, stasiun, gedung bioskop atau Kebun Raya. Puluhan pelajar
yang sedang minum alkohol, mengisap ganja atau sedang teler
karena menelan obat keras seperti pil rohypnol dan mogadon,
dijaring. Juga mereka yang kedapatan membaca buku porno dan
ngebut di malam hari.
Setelah itu Kapten Pol. Sukarno, komandan Samtibmas (Satuan
Pembinaan Masyarakat), memanggil orangtua si anak dan memberikan
pengarahan. Sampai akhir April lalu, menurut Sukarno, tercatat
ada 130 pelajar yang terjaring. Syukur, mereka biasanya lalu
jera. Kalau tidak, "terpaksa dikirim ke Pamardi Siwi atau
Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara Tangerang," kata Sukarno.
Pamardi Siwi, yang berada di bawah naungan kepolisian Jakarta,
adalah tempat penitipan anak dan remaja yang bertingkah laku
menyimpang. Wisma yang terletak di bilangan Cawang, Jakarta
Timur, itu kini dihuni 86 anak asuhan. Mereka dibagi dalam empat
kategori. Kelompok anak perempuan yang terlibat narkotika dan
kenakalan dalam keluarga, kelompok anak laki-laki yang nakal,
kelompok kasus narkotika ringan, dan terakhir kelompok kasus
narkotika kelas berat. Kesemuanya, menurut Letkol Pol. Riyanti,
kepala dinas Pamardi Siwi, dititipkan oleh keluarganya yang
sudah merasa tak sanggup mengurus anaknya.
Tempat penggemblengan yang lain ialah Lembaga Pemasyarakatan
Anak Negara (LPAN), yang antara lain terdapat di Tangerang,
Kendal dan Kutoarjo (Jawa Tengah) serta Blitar (Jawa Timur).
Sebagian besar yang masuk LPAN, karena mencuri, akibat salah
asuhan.
Yenny, 16 tahun, penghuni LPAN Wanita Tangerang, contohnya. Ia
menganggap mencuri bukan pekerjaan aneh. "Sejak kecil ibu
menyuruh saya mencuri," pengakuannya pekan lalu kepada TEMPO. Ia
terdampar ke Tangerang karena tertangkap basah saat mencuri
arloji dan pakaian di Cirebon. Dan karena mencuri bukan
pekerjaan tabu, begitu masuk ia melakukan tiga kali pencurian
barang dalam LP itu. Ia pun disel, dan setelah diberi
"pengertian", tampaknya ia kini sadar.
Taufik, 18 tahun, contoh lain, penghuni LPAN Plantungan, Kendal,
juga mengaku dipidana karena sering mencuri. "Nakalnya bukan
main, seperti setan campur angin," komentar Muhammad, ayahnya.
Dan Taufik tampaknya bangga dengan julukan itu. Ia malah mengaku
punya 'seribu' nama. Ketika di Jawa Barat, misalnya, ia memakai
nama Junaidi. Di Magelang ganti menjadi Ofik. "Ganti nama perlu,
sebab saya kan pencuri," kata Taufik tertawa.
Yang agak berat ialah perkara Sudarno di LPAN Blitar. Anak
Banyuwangi itu sudah 6 tahun menjadi penghuni di situ. "Empat
tahun lagi saya baru bebas," katanya dengan nada menyesal. Ia
divonis 10 tahun penjara akibat melakukan pembunuhan. Ceritanya,
ketika di SMP dulu ia punya pacar. Tak tahunya si gadis main
mata dengan pemuda lain. Kontan gadis itu dihabisi dengan
sabetan clurit. "Lha saya betul-betul cinta dan uang sudah
banyak saya hamburkan, kok dia mau pindah tangan," kenangnya.
Kini Sudarno berusia 21 tahun dan sudah pandai membuat meja
kursi dari bambu. Keluar dari LP nanti, rencananya, dia mau
berwiraswasta dengan kepintarannya itu.
Berhasil atau tidak, amat bergantung pada ketangguhan mental
Sudarno sendiri. Dan seperti banyak dialami bekas penghuni LPAN,
lingkungan masyarakat yang jujur, bisa dipercaya, dan kondisi
keluarga juga amat besar peranannya. Sebab, salah-salah,
satu-dua keluaran LPAN bisa meningkat menjadi penghuni LP untuk
orang dewasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini