Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Di atas garis kenakalan remaja

Gejala kenakalan remaja semakin meningkat, dan cenderung menjadi kejahatan remaja. banyak kasus pencurian dan perampokan yang dilakukan oleh anak-anak. (krim)

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERJADI di Kabanjahe, Sumatera Utara, suatu malam di bulan April lalu. Tujuh pelajar berusia belasan tahun menjebol brankas Apotek Kimia Farma di kota itu, menggondol 350 butir valium, 3 stetoskop, sebuah rekorder dan uang tunai Rp 700 ribu lebih. Pencurian itu dimotori Anto, 17 tahun, yang baru seminggu dikeluarkan dari SMP Negeri II. "Ia penyebar kenakalan dan tiap masuk sekolah mulutnya bau minuman keras," kata seorang guru di sekolah itu. Bersenjata linggis, kawanan Anto mendobrak pintu belakang apotek, mulanya mereka hanya menggasak uang Rp 2 ribu dan beberapa kotak pil penenang valium. Anto rupanya tidak puas. Sejam kemudian ia kembali memimpin kawan-kawannya masuk ke apotek itu lagi. Langsung ke tingkat tiga. Dengan linggis, Anto mendobrak brankas, yang terletak di sudut ruangan. Sabam, 17 tahun, siswa SMP Negeri II membantu dengan palu. Tak sampai setengah jam, brankas buatan lokal itu pun jebol. Berebutlah para penjahat cilik itu meraup uang. Sabam mengantungi Rp 250 ribu dan Drihen kebagian Rp 200 ribu. Lainnya kebagian Rp 50 ribu. Anto sendiri tampaknya tak begitu ambil pusing soal uang. Ia lebih tertarik pada valium, yang lalu ditelannya sampai teler. Peristiwa itu baru terbongkar seminggu kemudian, ketika Sabam mendapat kecelakaan sepeda motor. Dokter, yang mengobatinya di rumah sakit, segera menghubungi polisi, karena Sabam memperlihatkan tanda-tanda seperti kebanyakan menelan pil penenang. Hari itu juga ia ditangkap. Temannya, Johni dan Hendra, juga diambil dari sekolah. Sayang Anto, Drihen, Alex dan Mardi keburu lolos dan sampai pekan lalu masih buron. Kepada polisi, Sabam mengaku bahwa beberapa waktu lalu, bersama Anto ia juga pernah membobol sebuah kios, menyikat 20 potong baju yang langsung dijual. Komandan Kepolisian Kabanjahe, Letkol Pol P. Aruan, hampir-hampir tak percaya pada kasus yang ditanganinya itu. "Kalau mencuri ayam untuk dibikin sate, mungkin masih bisa dimaafkan. Tapi ini . . .?" Aruan membelalakkan mata. "Mencuri ayam untuk bikin sate", seperti yang dimaafkan Aruan, boleh jadi memang dihitung sebagai "kenakalan" remaja meski formalnya, menurut KUHP, kejahatan juga namanya. Tapi belakangan ini, terlihat dari kasus Kebanjahe atau beberapa lainnya, kenakalan tersebut cenderung meningkat serius. Mungkin hal itu hanya kesan yang tergoda oleh pemberitaan yang dibesar-besarkan saja. Namun, "gaya hidup" remaja masa kini yang menyolok terpamerkan di kota besar atau kecil, tidak bisa dinikmati semua anak muda, jelas sangat menggoda (lihat: Gaya Hidup "Wah", Tapi Blkan Kriminal). Tentu banyak yang bisa bertahan. Namun, tidak sedikit pula yang menoleh, berusaha meraih dengan berbagai cara. Misalnya, seperti dilakukan Iwan, pelajar sebuah SMA di Jakarta Timur. Suatu malam, di bulan Februari, ia naik taksi yang dikemudikan Herry. Dari Kramat Sentiong, Iwan minta diantar ke Guntur, lalu kembali ke Jalan Percetakan Negara. Di sebuah kapsalon taksi berhenti. Iwan sempat omong-omong sebentar dengan seorang cewek yang ada di situ. Lalu melanjutkan perjalanan ke Rawamangun dan akhirnya menuju daerah Pondok Kopi di Jakarta Timur. Di tempat gelap, tiba-tiba Iwan menyuruh berhenti, sambil menodongkan pisau ia mengancam agar Herry menyerahkan uang. Herry ternyata bukan lawan empuk. Ia melawan sehingga mendapat beberapa tusukan di punggung. Nyaris ia "tamat", kalau saja tidak ditolong sekelompok pemuda, yang kebetulan lewat, yang kemudian menghajar Iwan. Akibat luka-lukanya, pengagum penyanyi Iwan Fals itu meninggal, sebelum sempat diangkut ke rumah sakit. Latar belakang kejahatan remaja tentu saja bermacam-macam. Frans, 18 tahun, pelajar kelas II SMA Negeri di Jakarta Selatan, mengajak temannya merampok sebagai hiburan gara-gara patah hati. Pemuda bertubuh atletis dan dikenal pintar di sekolah itu, berbekal martil, sebilah pisau dan sebuah sangkur, meminjam jip CJ-7 milik Eko. Lalu melaju menuju Pondok Indah. Begitu Frans dan Reska, temannya, berhenti di depan sebuah rumah mewah, rupanya penghuninya curiga dan langsung angkat telepon, mengortak polisi. CJ-7 kontan putar haluan menuju perumahan mewah Kemang Indah. Namun nasib keduanya tak begitu baik. Mereka memang berhasil memasuki sebuah rumah dan melumpuhkan pembantunya. Sayang, di luar rumah seketika ramai orang berteriak, "rampok!". Frans dan Reska buru-buru naik ke mobil dan tancap gas. Sial, tak tahunya mereka memasuki jalan buntu. Reska, tak ampun lagi, digasak ramai-ramai. Ia terjajar di aspal, luka parah dan akhirnya meninggal di rumah sakit. Frans beruntung, meski akhirnya tertangkap polisi, ia terbebas amukan massa. Belakangan Frans turut 'dipajang' dalam acara Line Up operation di Kodak Metro Jaya, yang mempertontonkan wajah para penjahat kepada masyarakat. Di Yogya terdapat pula contoh kenakalan yang sudah serius. April lalu, polisi menangkap kawanan penjahat cilik, terdiri 4 orang yang sering mencuri sepeda. Yang dua orang ternyata masih duduk di bangku SD, satu orang murid SMP, dan satunya penganggur. "Yang masih di bawah umur terpaksa kami serahkan ke Bispa (Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak)," kata Wakil Komandan Kepolisian Yogya Mayor Pol Soeharto. Pelajar atau anak di bawah umur yang melakukan tindak kejahatan, kata Soeharto, biasanya bergabung dengan gali yang kini terus diburu. Tidak heran, memang, bila di kota pelajar tersebut ada pelajar yang menyeleweng ke dunia kriminal. Mayor Soeharto menyodorkan angka. Sekitar 1982-1983 tercatat 59 pelajar dan 23 mahasiswa melakukan tindak kriminal. Seperti menjambret, mencuri, menipu, bahkan membunuh. Di Bandung dan Surabaya pun banyak yang terlibat kejahatan. Dan seperti rekan di kota besar lain, mereka tampaknya menganggap jenis kenakalan seperti membolos atau berkelahi, sudah kuno. Seorang pejabat di Markas Besar Polri mengakui ada peningkatan kejahatan oleh remaja/pelajar. Kasus kejahatan yang dilakukan anak dan remaja tahun 1981-1982 menurut pejabat tadi, berjumlah 17.250. Yang terbanyak ialah kasus pencurian ringan, kemudian penganiayaan, pencurian dengan kekerasan, pembunuhan, dan penipuan. Adapun kejahatan terhadap kesopanan tercatat paling kecil. (lihat tabel). Pejabat itu juga melihat, paling tidak ada dua motif mengapa pelajar melakukan tindak kejahatan. Kelompok yang pertama, yang berbuat kejahatan "karena gerak hati yang tiba-tiba, tanpa diimbangi kematangan jiwa." Yang kedua, mereka yang memang sudah terbiasa melakukan tindakan antisosial, dan kemudian melangkah ke dunia kejahatan. Kelompok kedua itulah, menurut pejabat tadi, yang patut mendapat perhatian. Sebab, bila tidak cepat diatasi, "mereka cenderung menjadi residivis." Doddy Yudhista, seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang pernah mengamati kehidupan malam pelajar yang menyimpang, berpendapat sama: "Pelajar yang melakukan kejahatan, bermula dari iseng." Namun, karena tidak ada yang menghentikan keisengannya, antara lain kurang perhatian dari orang tua, "jadi keterusan." Menyamar sebagai preman, Doddy, 26 tahun, membuktikan banyak kelompok pelajar yang "keterusan" itu. Di Jakarta Utara, contohnya, ada seorang pelajar yang sering mengorganisasikan perampok. Sasarannya barang elektronik seperti video atau tv berwarna. Yang diincar tidak jauh-jauh: rumah kenalan orang tua atau tetangganya sendiri. Teman-temannya yang memberi informasi -- kapan sebuah rumah ditinggal penghuninya ke luar kota dan hanya ditunggu pembantu -- bisa dirampok. Operasi, menurut pengakuan remaja tadi kepada Doddy, biasa dilakukan menjelang subuh, setelah mereka mabuk-mabukan. Dan hasil merampok, yang dijual sangat murah kepada seorang penadah, memang hanya sekadar pembeli alkohol dan ganja. Perbuatan itu tidak pernah diketahui orang tuanya -- karena ayahnya seorang pelaut dan ibunya hampir setiap malam keluar rumah entah untuk apa. Di Jakarta Selatan, Doddy menjumpai kelompok lain lagi. Seorang pelajar kelas II SMA, mengaku terlibat dalam beberapa pencurian kendaraan bermotor, mobil atau sepeda motor. Kepada Doddy, pelajar anak orang gedongan itu mendemonstrasikan kebolehannya: hanya dengan sepotong kawat runcing yang di bengkokkan, tidak sampai satu menit, ia berhasil membuka pintu mobil. Ia tidak mau mengaku, ilmunya diperoleh dari siapa. Ia, begitu penuturannya kepada Doddy, hanya bertugas membuka pintu mobil yang diincar. Langkah selanjutnya diurus oleh kawanan yang tampaknya sudah profesional. Pelajar tadi tidak banyak menuntut. "Ia berbuat begitu semata untuk bisa disebut hebat," kata Doddy. Tapi, begitu mendapat "perolehan", ia memang jadi royal sekali semua temannya ditraktir minum sampai mabuk. Ada lagi pelajar yang enggan menyebut apa "kegiatan" sampingannya. Hanya bila berhasil, seperti diketahui Doddy, ia langsung menyewa kamar di hotel berbintang tiga untuk beberapa hari. Siang malam ia ditemani cewek cantik. Tidak percaya? "Semula saya juga tidak mengira ada kehidupan remaja model begitu," kata Doddy, setelah membuktikan ceritanya. Doddy, yang berminat mengambil jurusan Sosiologi Kriminologi, merencanakan menulis pengalamannya dalam sebuah buku. Ia rupanya hendak menyalakan semacam lampu kuning bagi kita. Sudah tentu, Doddy bukan satu-satunya orang yang prihatin terhadap krisis di kalangan remaja. Polisi Bogor, bekerja sama dengan guru dan kantor P&K sejak akhir Maret lalu merazia pelajar yang pada jam sekolah berkeliaran di tempat umum seperti bar, stasiun, gedung bioskop atau Kebun Raya. Puluhan pelajar yang sedang minum alkohol, mengisap ganja atau sedang teler karena menelan obat keras seperti pil rohypnol dan mogadon, dijaring. Juga mereka yang kedapatan membaca buku porno dan ngebut di malam hari. Setelah itu Kapten Pol. Sukarno, komandan Samtibmas (Satuan Pembinaan Masyarakat), memanggil orangtua si anak dan memberikan pengarahan. Sampai akhir April lalu, menurut Sukarno, tercatat ada 130 pelajar yang terjaring. Syukur, mereka biasanya lalu jera. Kalau tidak, "terpaksa dikirim ke Pamardi Siwi atau Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara Tangerang," kata Sukarno. Pamardi Siwi, yang berada di bawah naungan kepolisian Jakarta, adalah tempat penitipan anak dan remaja yang bertingkah laku menyimpang. Wisma yang terletak di bilangan Cawang, Jakarta Timur, itu kini dihuni 86 anak asuhan. Mereka dibagi dalam empat kategori. Kelompok anak perempuan yang terlibat narkotika dan kenakalan dalam keluarga, kelompok anak laki-laki yang nakal, kelompok kasus narkotika ringan, dan terakhir kelompok kasus narkotika kelas berat. Kesemuanya, menurut Letkol Pol. Riyanti, kepala dinas Pamardi Siwi, dititipkan oleh keluarganya yang sudah merasa tak sanggup mengurus anaknya. Tempat penggemblengan yang lain ialah Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara (LPAN), yang antara lain terdapat di Tangerang, Kendal dan Kutoarjo (Jawa Tengah) serta Blitar (Jawa Timur). Sebagian besar yang masuk LPAN, karena mencuri, akibat salah asuhan. Yenny, 16 tahun, penghuni LPAN Wanita Tangerang, contohnya. Ia menganggap mencuri bukan pekerjaan aneh. "Sejak kecil ibu menyuruh saya mencuri," pengakuannya pekan lalu kepada TEMPO. Ia terdampar ke Tangerang karena tertangkap basah saat mencuri arloji dan pakaian di Cirebon. Dan karena mencuri bukan pekerjaan tabu, begitu masuk ia melakukan tiga kali pencurian barang dalam LP itu. Ia pun disel, dan setelah diberi "pengertian", tampaknya ia kini sadar. Taufik, 18 tahun, contoh lain, penghuni LPAN Plantungan, Kendal, juga mengaku dipidana karena sering mencuri. "Nakalnya bukan main, seperti setan campur angin," komentar Muhammad, ayahnya. Dan Taufik tampaknya bangga dengan julukan itu. Ia malah mengaku punya 'seribu' nama. Ketika di Jawa Barat, misalnya, ia memakai nama Junaidi. Di Magelang ganti menjadi Ofik. "Ganti nama perlu, sebab saya kan pencuri," kata Taufik tertawa. Yang agak berat ialah perkara Sudarno di LPAN Blitar. Anak Banyuwangi itu sudah 6 tahun menjadi penghuni di situ. "Empat tahun lagi saya baru bebas," katanya dengan nada menyesal. Ia divonis 10 tahun penjara akibat melakukan pembunuhan. Ceritanya, ketika di SMP dulu ia punya pacar. Tak tahunya si gadis main mata dengan pemuda lain. Kontan gadis itu dihabisi dengan sabetan clurit. "Lha saya betul-betul cinta dan uang sudah banyak saya hamburkan, kok dia mau pindah tangan," kenangnya. Kini Sudarno berusia 21 tahun dan sudah pandai membuat meja kursi dari bambu. Keluar dari LP nanti, rencananya, dia mau berwiraswasta dengan kepintarannya itu. Berhasil atau tidak, amat bergantung pada ketangguhan mental Sudarno sendiri. Dan seperti banyak dialami bekas penghuni LPAN, lingkungan masyarakat yang jujur, bisa dipercaya, dan kondisi keluarga juga amat besar peranannya. Sebab, salah-salah, satu-dua keluaran LPAN bisa meningkat menjadi penghuni LP untuk orang dewasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus