Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menagih Janji Adam Malik

Produksi nelayan naik tiap tahun, kud hanya berfungsi sebagai pengumpul dana belum sebagai pengelola pelelangan. dan masih ada pukat harimau yang beroperasi di sumatera utara.

23 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRODUKSI nasional perikanan darat dan laut naik tiap tahun. Tahun 1976 penghasilan berjumlah 1.482.942 ton tahun berikutnya 1.571.852 ton. Angka ini kemudian meningkat menjadi 1.655.000 ton pada 1978. Tapi kehidupan nelayan sendiri nampaknya masih tetap memprihatinkan. Pendapatan perkapita/tahun nelayan Jawa Timur misalnya hanya Rp 29.000. Berarti masih jauh dari angka kebutuhan fisik minimum Rp 47.000. Padahal daerah itu sekarang menduduki tempat teratas dalam produksi ikan disusul Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Riau dan Jawa Barat. Kenaikan produksi perikanan ini terutama disebabkan oleh motorisasi perahu. Pukat harimau sendiri yang mengalami pembatasan, ternyata tak banyak memberikan pengaruh dalam peningkatan produksi. Ini terutama terlihat di daerah Cilacap. Para nelayan di daerah Jawa Tengah dibebani berbagai pungutan. Setiap penjualan dikenai biaya lelang 8% yang diatur melalui sebuah SK gubernur. Pungutan yang 8% itu terdiri dari tabungan nelayan 2«%, dana sosial 0,7%, dana paceklik 0,5%, biaya administrasi 2%, retribusi lelang 1«%, asuransi nelayan 0,3% dan dana operasional 0,5%. Dari pungutan yang 8% itu, tabungan nelayan, dana sosial dan dana paceklik seharusnya kembali kepada si nelayan. Sampai akhir 1979 pungutan untuk pos tabungan nelayan tercatat Rp 178,7 juta, dana sosial Rp 58,9 juta dan dana paceklik Rp 57,9 juta. Tapi menurut keterangan, nelayan Cilacap tak pernah menikmati dana-dana itu secara maksimal, sebab seluruh dana yang terkumpul disetorkan ke Pemda Provinsi Jawa Tengah. KUD yang berfungsi sebagai pengelola Tempat Pelelangan Ikan sebenarnya juga bertanggungjawab terhadap dana-dana tersebut. Tetapi menurut seorang anggota KUD, Sakimin Damanik: "KUD saat ini hanya berfungsi sebagai pengumpul dan penyalur dana." Melalui TPI dana-dana lelang dikumpulkan oleh KUD yang kemudian menyetorkannya ke Pemda Jawa Tengah. KUD belum berhasil mencairkan dana-dana yang seharusnya dapat dinikmati secara maksimal oleh nelayan, seperti dana sosial, dana paceklik maupun dana tabungan. Kalau pun bisa dinikmati, persentasenya sangat kecil dibandingkan dengan hasil pengumpulan danadana itu setiap tahun," katanya. Selain itu menurut cerita Sakimin Damanik dana-dana tadi disalahgunakan pula. Bayangkanlah dana tadi sampai-sampai digunakan untuk biaya penyambutan gubernur dan membeli tandamata untuk bupati. Juga untuk penghijauan. Tak semua dana itu menjadi gelap atau salah jalan. Ada juga yang tepat penggunaannya yaitu untuk dana sosial seperti pengobatan nelayan, bantuan kemalangan atau kecelakaan di laut. Sekalipun begitu masih juga terjadi kebocoran di sini. Tahun lalu dana sosial yang dicairkan meliputi Rp 14,6 juta, padahal menurut Sakimin, kalau digunakan secara tepat paling banter Rp 5 juta. Pukat Sondong Meskipun Cilacap yang terletak di pantai Samudera Indonesia itu potensial, penghasilan nelayan yang berjumlah 5.800 orang, per hari rata-rata Rp 350. Di musim barat, seperti sekarang ini malahan tinggal Rp 150. Sebagian besar perahu telah dimotorisasi, tapi menurut Sakimin Damanik yang juga merangkap Sekretaris HNSI Cilacap, "modernisasi hanya terbatas pada motorisasi, sedangkan peralatan tetap seperti nelayan tradisional. Yang menikmati modernisasi cuma pemilik pukat harimau yang bermodal kuat." Para nelayan di Muncar, Jawa Timur menganggap dana yang ditarik oleh KUD cukup besar dan mengurangi penghasilan mereka. Lagi pula dana itu nantinya belum tentu kembali ke tangan mereka. Itulah sebabnya mereka ogah masuk KUD, dan mengubah haluan perahu mereka dari TPI yang dikelola KUD. Keadaan ini telah mengancam kelangsungan hidup KUD di daerah yang kaya ikan lemuru itu. Jumlah ikan yang masuk ke TPI semakin melorot saja, tinggal separuh dari biasanya. Berbagai daerah menghadapi macam-macam persoalan yang muncul sebagai akibat dari peningkatan produksi lawan kehidupan nelayan yang tak pernah pasang itu. Di Sumatera Utara pertentangan antara nelayan tradisional dengan trawl (pukat harimau) masih berlanjut, terutama di Asahan. Peraturan daerah yang dikeluarkan 28 November 1977 melarang pukat harimau berukuran 10 ton melakukan penangkapan ikan. Lantas pukat harimau menyingkir ke Tanjung Leidong, Bagansiapi-api dan Simandulang. Setelah "harimau" itu terusir datang pula pukat sondong atau langgei yang ternyata lebih ganas. Siang sebagai pukat sondong malam berubah menjadi pukat harimau. Dan izin mulai tak karuan. Nomor selar dipalsukan. Sebuah izin disalin untuk beberapa pukat. Keadaan ini antara lain mendorong Badan Perjuangan Penertiban Pukat Harimau Asahan menyampaikan pengaduan kepada Gubernur Edward Wilmar Pahala Tambunan tanggal 15 Januari 1980. Nelayan miskin di Asahan semakin resah, begitulah pengaduan tadi. Janji Adam "Kalau produksi ikan saja yang dikejar tetapi pelan-pelan membunuh nelayan kecil dan mereka tak dibantu, adilkah ini?" tanya Hasyran Nasution. Hasyran, 47 tahun, yang menjadi perwakilan BP3H di Medan kepada wartawan TEMPO Zakaria M. Passe bercerita. "Adam Malik waktu kampanye Pemilu 20 Maret 1977 di Tanjungbalai berjanji di depan kaum nelayan, kalau Golkar menang pukat harimau dihapuskan. Ternyata pukat jahanam itu makin gila menguras hasil laut Asahan. Saya mau menjumpai Pak Adam waktu dekat ini. Menagih janji beliau," katanya. Dalam pengaduan kepada Gubernur Sumatera Utara, BP3H tidak hanya mempersoalkan pukat harimau yang masih beroperasi di tempat terlarang, tapi juga memberi saran kredit candakkulak kepada nelayan miskin. Begitu juga usul Proyek Desa Pantai yang berkembang di Bubun, Langkat, supaya dihantarkan juga ke Asahan. Di daerah Riau bantuan terhadap nelayan pribumi nampaknya cukup tersedia. Bank Rakyat Indonesia mempersiapkan sejumlah kredit untuk para nelayan pribumi di sana. Tapi sampai sekarang dari Rp 2 juta kredit yang disediakan belum sesen pun yang dijamah 48 nelayan anggota KUD Kecamatan Bangko yang beribukota Bagansiapi-api. "Kami tak punya barang yang bisa dijaminkan kepada bank," jawab Kalang, seorang nelayan di Bagansiapi-api. Terhambatnya kredit untuk para nelayan itu juga diakibatkan oleh sikap sementara pejabat. Ada anggapan kalau para nelayan itu diberi kredit dengan perlengkapan perahu bermotor mereka akan menyelundup. "Sedangkan pakai layar saja ada yang menyelundup," kata seorang berprasangka. Padahal urusan menyelundup atau tidak bukanlah urusan KUD atau bank. Karena penyelundupan adalah tugas polisi atau Opstar untuk mengatasinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus