PRODUKSI nasional perikanan darat dan laut naik tiap tahun.
Tahun 1976 penghasilan berjumlah 1.482.942 ton tahun berikutnya
1.571.852 ton. Angka ini kemudian meningkat menjadi 1.655.000
ton pada 1978. Tapi kehidupan nelayan sendiri nampaknya masih
tetap memprihatinkan.
Pendapatan perkapita/tahun nelayan Jawa Timur misalnya hanya Rp
29.000. Berarti masih jauh dari angka kebutuhan fisik minimum Rp
47.000. Padahal daerah itu sekarang menduduki tempat teratas
dalam produksi ikan disusul Sumatera Utara, Sulawesi Selatan,
Riau dan Jawa Barat.
Kenaikan produksi perikanan ini terutama disebabkan oleh
motorisasi perahu. Pukat harimau sendiri yang mengalami
pembatasan, ternyata tak banyak memberikan pengaruh dalam
peningkatan produksi. Ini terutama terlihat di daerah Cilacap.
Para nelayan di daerah Jawa Tengah dibebani berbagai pungutan.
Setiap penjualan dikenai biaya lelang 8% yang diatur melalui
sebuah SK gubernur. Pungutan yang 8% itu terdiri dari tabungan
nelayan 2«%, dana sosial 0,7%, dana paceklik 0,5%, biaya
administrasi 2%, retribusi lelang 1«%, asuransi nelayan 0,3% dan
dana operasional 0,5%.
Dari pungutan yang 8% itu, tabungan nelayan, dana sosial dan
dana paceklik seharusnya kembali kepada si nelayan. Sampai akhir
1979 pungutan untuk pos tabungan nelayan tercatat Rp 178,7 juta,
dana sosial Rp 58,9 juta dan dana paceklik Rp 57,9 juta. Tapi
menurut keterangan, nelayan Cilacap tak pernah menikmati
dana-dana itu secara maksimal, sebab seluruh dana yang terkumpul
disetorkan ke Pemda Provinsi Jawa Tengah.
KUD yang berfungsi sebagai pengelola Tempat Pelelangan Ikan
sebenarnya juga bertanggungjawab terhadap dana-dana tersebut.
Tetapi menurut seorang anggota KUD, Sakimin Damanik: "KUD saat
ini hanya berfungsi sebagai pengumpul dan penyalur dana."
Melalui TPI dana-dana lelang dikumpulkan oleh KUD yang kemudian
menyetorkannya ke Pemda Jawa Tengah. KUD belum berhasil
mencairkan dana-dana yang seharusnya dapat dinikmati secara
maksimal oleh nelayan, seperti dana sosial, dana paceklik maupun
dana tabungan. Kalau pun bisa dinikmati, persentasenya sangat
kecil dibandingkan dengan hasil pengumpulan danadana itu setiap
tahun," katanya.
Selain itu menurut cerita Sakimin Damanik dana-dana tadi
disalahgunakan pula. Bayangkanlah dana tadi sampai-sampai
digunakan untuk biaya penyambutan gubernur dan membeli tandamata
untuk bupati. Juga untuk penghijauan.
Tak semua dana itu menjadi gelap atau salah jalan. Ada juga yang
tepat penggunaannya yaitu untuk dana sosial seperti pengobatan
nelayan, bantuan kemalangan atau kecelakaan di laut. Sekalipun
begitu masih juga terjadi kebocoran di sini. Tahun lalu dana
sosial yang dicairkan meliputi Rp 14,6 juta, padahal menurut
Sakimin, kalau digunakan secara tepat paling banter Rp 5 juta.
Pukat Sondong
Meskipun Cilacap yang terletak di pantai Samudera Indonesia itu
potensial, penghasilan nelayan yang berjumlah 5.800 orang, per
hari rata-rata Rp 350. Di musim barat, seperti sekarang ini
malahan tinggal Rp 150.
Sebagian besar perahu telah dimotorisasi, tapi menurut Sakimin
Damanik yang juga merangkap Sekretaris HNSI Cilacap,
"modernisasi hanya terbatas pada motorisasi, sedangkan peralatan
tetap seperti nelayan tradisional. Yang menikmati modernisasi
cuma pemilik pukat harimau yang bermodal kuat."
Para nelayan di Muncar, Jawa Timur menganggap dana yang ditarik
oleh KUD cukup besar dan mengurangi penghasilan mereka. Lagi
pula dana itu nantinya belum tentu kembali ke tangan mereka.
Itulah sebabnya mereka ogah masuk KUD, dan mengubah haluan
perahu mereka dari TPI yang dikelola KUD. Keadaan ini telah
mengancam kelangsungan hidup KUD di daerah yang kaya ikan lemuru
itu. Jumlah ikan yang masuk ke TPI semakin melorot saja, tinggal
separuh dari biasanya.
Berbagai daerah menghadapi macam-macam persoalan yang muncul
sebagai akibat dari peningkatan produksi lawan kehidupan nelayan
yang tak pernah pasang itu. Di Sumatera Utara pertentangan
antara nelayan tradisional dengan trawl (pukat harimau) masih
berlanjut, terutama di Asahan.
Peraturan daerah yang dikeluarkan 28 November 1977 melarang
pukat harimau berukuran 10 ton melakukan penangkapan ikan.
Lantas pukat harimau menyingkir ke Tanjung Leidong,
Bagansiapi-api dan Simandulang.
Setelah "harimau" itu terusir datang pula pukat sondong atau
langgei yang ternyata lebih ganas. Siang sebagai pukat sondong
malam berubah menjadi pukat harimau. Dan izin mulai tak karuan.
Nomor selar dipalsukan. Sebuah izin disalin untuk beberapa
pukat.
Keadaan ini antara lain mendorong Badan Perjuangan Penertiban
Pukat Harimau Asahan menyampaikan pengaduan kepada Gubernur
Edward Wilmar Pahala Tambunan tanggal 15 Januari 1980. Nelayan
miskin di Asahan semakin resah, begitulah pengaduan tadi.
Janji Adam
"Kalau produksi ikan saja yang dikejar tetapi pelan-pelan
membunuh nelayan kecil dan mereka tak dibantu, adilkah ini?"
tanya Hasyran Nasution. Hasyran, 47 tahun, yang menjadi
perwakilan BP3H di Medan kepada wartawan TEMPO Zakaria M. Passe
bercerita. "Adam Malik waktu kampanye Pemilu 20 Maret 1977 di
Tanjungbalai berjanji di depan kaum nelayan, kalau Golkar menang
pukat harimau dihapuskan. Ternyata pukat jahanam itu makin gila
menguras hasil laut Asahan. Saya mau menjumpai Pak Adam waktu
dekat ini. Menagih janji beliau," katanya.
Dalam pengaduan kepada Gubernur Sumatera Utara, BP3H tidak hanya
mempersoalkan pukat harimau yang masih beroperasi di tempat
terlarang, tapi juga memberi saran kredit candakkulak kepada
nelayan miskin. Begitu juga usul Proyek Desa Pantai yang
berkembang di Bubun, Langkat, supaya dihantarkan juga ke Asahan.
Di daerah Riau bantuan terhadap nelayan pribumi nampaknya cukup
tersedia. Bank Rakyat Indonesia mempersiapkan sejumlah kredit
untuk para nelayan pribumi di sana. Tapi sampai sekarang dari Rp
2 juta kredit yang disediakan belum sesen pun yang dijamah 48
nelayan anggota KUD Kecamatan Bangko yang beribukota
Bagansiapi-api. "Kami tak punya barang yang bisa dijaminkan
kepada bank," jawab Kalang, seorang nelayan di Bagansiapi-api.
Terhambatnya kredit untuk para nelayan itu juga diakibatkan oleh
sikap sementara pejabat. Ada anggapan kalau para nelayan itu
diberi kredit dengan perlengkapan perahu bermotor mereka akan
menyelundup. "Sedangkan pakai layar saja ada yang menyelundup,"
kata seorang berprasangka. Padahal urusan menyelundup atau tidak
bukanlah urusan KUD atau bank. Karena penyelundupan adalah tugas
polisi atau Opstar untuk mengatasinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini