Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yopie Hidayat*
*) kontributor Tempo
DI tengah kemeriahan Lebaran, pasar keuangan di Indonesia juga turut berpesta. Antisipasi investor menyambut program pengampunan pajak mendorong masuknya arus dana yang cukup deras ke dalam negeri, sebulan terakhir.
Aliran uang yang masuk membuat cadangan devisa Indonesia bertambah menjadi US$ 109,8 miliar per Juni, dari US$ 103,6 miliar sebulan sebelumnya. Indeks harga saham gabungan naik 3,41 persen dalam satu bulan terakhir. Tak mengherankan pula jika kurs rupiah menguat menjadi 13.150 per dolar Amerika Serikat, Kamis pekan lalu.
Sebetulnya program pengampunan pajak belum benar-benar bergulir. Petunjuk teknis pelaksanaannya hingga Kamis pekan lalu masih belum siap. Jika baru sentimen yang spekulatif saja sudah membuat pasar begitu bergairah, wajar sekiranya investor mengantisipasi arus dana yang lebih besar lagi. Tak mengherankan bila investor kini harap-harap cemas, mengambil posisi menunggu sampai aturan main menjadi lebih jelas.
Perkara yang sudah terang, kapasitas pasar keuangan di dalam negeri untuk menyerap dana yang mendapatkan pengampunan pajak masih sangat terbatas. Agar tidak membingungkan, perlu kita sedikit melongok bagaimana dana dari program pengampunan pajak ini akan berdampak pada kas pemerintah ataupun ke pasar keuangan.
Pertama, dana yang masuk ke anggaran sebagai uang tebusan. Ini langsung menjadi penerimaan negara, pemerintah bisa langsung memanfaatkannya. Targetnya sampai akhir 2016 adalah Rp 165 triliun. Sulit mencapainya. Katakanlah tarif uang tebusannya rata-rata 4 persen, sekadar memudahkan karena tarifnya beragam, harus ada aset senilai Rp 4.150 triliun yang dilaporkan.
Jika target ini tercapai, pemerintah selamat dari krisis anggaran. Jika tak tercapai, pemerintah harus mati-matian memangkas belanja agar tidak melanggar Undang-Undang Sistem Keuangan Negara, yang membatasi defisit bujet tak boleh lebih dari 3 persen terhadap produk domestik bruto.
Kedua, dana yang direpatriasi. Jelas dana ini bukan milik pemerintah, melainkan tetap harta pemilik uang yang melaporkan asetnya untuk mendapat pengampunan pajak. Pertanyaannya, dana ini akan masuk ke instrumen investasi apa?
Ini pilihan yang tidak mudah dan masing-masing ada batasannya. Jika ingin menggunakan dana ini, pemerintah harus meminjamnya dengan cara menerbitkan obligasi baru. Masalahnya, tambahan utang juga bisa menabrak batas defisit anggaran.
Alternatif yang paling mungkin adalah mengarahkan dana ini masuk ke instrumen obligasi terbitan badan usaha milik negara. Cuma, kembali lagi, semua ada kapasitasnya. Tak mungkin BUMN menerbitkan surat utang semaunya, apalagi hingga puluhan triliun rupiah sekaligus, tanpa menimbang nilai asetnya, rasio pendanaan, rencana penggunaan dana, hingga arus kas dan kemampuan pengembaliannya. BUMN bisa tersedak kebanyakan utang. Apabila dipaksakan, langkah itu bisa membuatnya kolaps.
Menimbang berbagai keterbatasan itu, yang lebih mungkin terjadi adalah banyak pemilik aset di luar negeri memilih ikut pengampunan pajak tanpa membawa pulang dananya. Walhasil, dampak pengampunan pajak ke pasar keuangan sepertinya tidak akan berupa tsunami dana raksasa. Tentunya itu semua juga masih bergantung pada rincian aturan yang semestinya segera keluar. Hingga semuanya terbuka tuntas, pasar akan terus terbakar spekulasi panas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo