PAGI itu, Rabu pekan lalu, Presiden OPEC Sadek Bousenna kelihatan bergegas di lobi Hotel Hilton, Jakarta. Didampingi duta besarnya di Indonesia, dan beberapa pejabat Departemen Pertambangan dan Energi RI, Bousenna, yang sehari-hari adalah Menteri Pertambangan dan Industri Aljazair, memasuki restoran Taman Sari. Mereka berunding sebentar, entah soal apa. Tapi koran-koran di Jakarta pagi itu ramai menempatkan pidato Paul Vlaanderen, pejabat senior dari International Energy Agency (IEA), yang menolak ajakan OPEC agar negara-negara industri mau mengendurkan sedikit keran persediaan minyaknya untuk mengerem naiknya harga minyak. Hari itu, di tengah pertemuan The First Jakarta International Energy Conference -- yang diselenggarakan oleh Departemen Pertambangan dan Energi RI serta Pertamina -- harga rata-rata minyak sudah meraih 37 dolar sebarel. Mengapa OPEC nampak begitu khawatir akan rezeki uang minyak yang datang melimpah? Bukankah rezeki itu patut disyukuri oleh segenap penghasil minyak? Sadek Bousenna yang baru delapan bulan duduk sebagai Presiden OPEC, dan nampak masih muda, tersenyum lebar. Lalu ia menjawab pertanyaan Fikri Jufri dan Yopie Hidayat dari TEMPO di kamar suite-nya di Hilton Tower. Beberapa petikan: Kami memang mensyukuri adanya rezeki uang minyak. Siapa yang tidak senang bila OPEC tiba-tiba memiliki windfall profit (laba yang berlebih -- Red.) dari harga patokan yang 21 dolar merembet menjadi 37 dolar sebarel. Tapi kalau harga minyak melaju terus karena suplainya berkurang, ini bisa berbahaya. Maksud Anda harga minyak bisa anjlok lagi kalau sang harga tak bisa direm? Benar. Lihat saja, ketika harga minyak mencapai 40 dolar sebarel sekitar sembilan tahun silam, tiba-tiba terbanting menjadi cuma sekitar 11 dolar sebarel. Bahkan pernah turun menjadi sembilan dolar sebarel, ingat? Nah, agar suasana yang runyam seperti itu tak terjadi, perlu ada kerja sama antara OPEC dan para pembeli yang antara lain diwakili oleh IEA. Apakah menurut Anda harga minyak perlu kembali menjadi 21 dolar, begitu? Sekarang ya mestinya harus lebih tinggi dari itu. Apa yang kami sebut sebagai harga keseimbangan dalam OPEC- nampaknya tak lagi 21 dolar. Berapa kira-kira harga keseimbangan yang menurut OPEC masuk akal. Antinya, tak akan sampai melecut laju inflasi dunia. Itu yang sebenarnya akan kami rundingkan dengan IEA. Menurut seorang ahli minyak di Boston, AS, yang saya lupa namanya, harga antara 25 dan 30 dolar per barel tak akan banyak mengganggu tingkat inflasi. Paling-paling hanya bertambah nol koma sekian persen dari tingkat inflasi di AS sekarang. Kalau dihitung dari harga rata-rata minyak yang berlaku sejak awal Januari lalu hingga kenaikan yang sekarang, berapa sih windfall yang sudah masuk ke kantung OPEC? Sebenarnya, baru pas-pasan. Rata-rata masih sekitar 20 dolar per barel. Jadi, sebenarnya kita tak perlu mendramatisir keadaan harga minyak sekarang. Kalau demikian, kenapa timbul kekhawatiran akan terjadi resesi dunia, yang akan memukul balik harga minyak yang sudah baik? Kekhawatiran kami bukanlah untuk saat sekarang. Tapi untuk musim dingin yang sebentar lagi akan datang. Di musim dingin permintaan biasanya akan meningkat. Nah, kalau negara-negara konsumen tetap bersikeras ingin terus menumpuk persediaan minyaknya, bukan mustahil harga bisa membubung hingga 40 dolar ke atas. Berapa besar cadangan minyak yang- mereka tumpuk saat ini? Kami tak tahu pasti angkanya. Tapi secara global bisa dikatakan cadangan mereka cukup untuk konsumsi selama sekitar 100 hari. Bisa jadi akan bertambah terus kalau krisis Timur Tengah masih belum mereda. Ya, boleh jadi begitu. Yang pasti, di musim dingin nanti, akan terjadi kekurangan minyak 1 juta sampai 1,5 juta barel sehari. Sementara mereka saat ini memiliki cadangan minyak sebanyak tiga milyar barel. Masuk akal kan jika kami mengimbau mereka untuk sedikit mengendurkan stok minyaknya. Adakah jalan lain yang bisa ditempuh OPEC, kalau misalnya IEA tetap membangkang? Jelas ada. IEA bukan satu-satunya organisasi yang mewakili semua konsumen. Mereka cuma mewakili 23 negara. Yang penting bagi OPEC adalah untuk berdialog dengan para konsumen secara umum. Bukan hanya dengan satu organisasi seperti IEA. Siapa saja selain IEA yang bisa diajak berunding? Banyak. Ada pemerintahan berbagai negara, perusahaan, organisasi internasional seperti OECD, Masyarakat Eropa, dan, tentu saja, dengan negeri berkembang yang tak memiliki minyak. Namun, opini umum yang antara lain terbaca di koran asing, sepertinya menonjolkan peran IEA sebagai kartel konsumen minyak yang terbilang ampuh. Opini seperti itu yang perlu Anda koreksi. IEA, yang berdiri tahun 1974, punya misi terbatas dan menyangkut hal-hal yang sangat teknis. Mereka juga tak bisa mendikte pemerintahan dan perusahaan-perusahaan pemakai minyak. Itu pula sebabnya kami, OPEC, tak ingin mendesak mereka dalam pertemuan di Jakarta. Apa sebenarnya misi yang ingin dilontarkan OPEC dalam konperensi di Jakarta. Semangat solidaritas untuk menolong negeri berkembang yang tak memiliki minyak, terutama yang keadaannya masih miskin. Di bulan Desember nanti OPEC akan bertemu lagi. Apakah Anda sebagai Presiden OPEC sudah memikirkan pengaturan kursi bagi delegasi Kuwait yang biasanya duduk bersebelahan dengan delegasi dari Irak? Kami memang mengatur tempat duduk menurut abjad. Sampai sekarang belum kami pikirkan untuk mengubahnya. Tapi saya yakin hal-hal yang tak diinginkan selama sidang akan bisa dihindari di antara sesama anggota OPEC. Kami kan organisasi yang mengurusi minyak, bukan politik. Adakah Anda melihat krisis besar yang kini mengancam dunia akan mereda di awal tahun depan? Wah, tentang itu hanya Allah yang tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini