Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari Kongres Para Rimbawan

"hutan untuk rakyat" tema kongres kehutanan sedunia ke-8 di jakarta. perhatian kongres ditujukan pada segi jangkauan sosial & pembinaan sumber daya alam a.l soal pengolahan hutan untuk masyarakat pedesaan.(eb)

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"HUTAN untuk Rakyat." Bertolak dari tema tersebut, lebih kurang 2000 'rimbawan' resmi dan swasta mewakili 68 negara dan enam badan internasional, minggu ini memulai Kongres Kehutanan Sedunia yang ke-VIII di Balai Sidang Senayan, Jakarta. Kalau begitu, untuk siapakah hutan selama ini? Untuk manusia juga, antara lain. Tapi belakangan ini makin disadari bahwa, sayangnya, manusia dalam gairahnya mengejar untung sering tak pandai memelihara sumber-sumber yang memberinya hidup. Maka, kata Panitia Pelaksana, kalau kongres-kongres yang lampau lebih berat pada segi ekonomi industri pengusahaan hutan saja, kini atas saran Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan dengan kesepakatan berbagai pemerintah yang tergabung, kongres memberikan perhatian lebih banyak kepada segi jangkauan sosial dan pembinaan sumber daya alamnya. Misalnya, dari lima sub-tema yang disepakati, hanya satu saja yang khusus menyangkut aspek ekonomi industri pengolahan kayu. Pokok pembahasan ini berjudul: Pengolahan hutan untuk pembangunan industri dan bercabangkan dua permasalahan, yakni: Basis sumber hutan dan Industri hasil hutan. Ada empat sub-tema lainnya yang menyangkut segi-segi sosial. Dari kelima tersebut, delegasi Indonesia dengan.45 anggota resminya membahas soal pengolahan hutan untuk masyarakat pedesaan. Apakah Indonesia sudah merasa unggul dalam soal ini? "Kalau mau dibilang keunggulan, ya memang begitu," kata Sukiman, Dir-Ut Perhutani. "Tapi kita unggul dalam persoalan yang harus dihadapi. Artinya, problim kita lebih besar dari yang dihadapi negara lain." Biarkan Saja Lalu apa kiranya yang bisa diketengahkan oleh delegasi Indonesia untuk menjadi contoh bagi negara lain? Tanpa mau mendahului penyajian kertas kerja, Sukiman menjawab "Rakyat tidak dibiarkan lagi berada di luar hutan sebagai penonton, tapi malahan diajak masuk untuk ikut menikmati hasil hutan." Dia menunjuk pada soal adat beberapa suku, yang sudah di dalam hutan, untuk berladang secara berpindah-pindah (shifting cultivation) dan masalah pemukiman kembali orang-orang tersebut. Tentu termasuk juga masalah menjaga kelestarian sumber daya alam. Soal adat itu konon pernah menimbulkan konflik di beberapa daerah, Kalimantan misalnya, antara penduduk asli dengan orang-orang pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang pendatang. DPRD Kalimantan Tengah bahkan pernah mengusulkan ke pusat agar penduduk pedesaan yang kebetulan berada di wilayah HPH tertentu dibiarkan saja bebas memungut hasil hutan sampai radius tertentu. Sebegitu jauh masalah ini belum mendapat tanggapan dari Pemerintah Pusat. Dan bagi rakyat asli agaknya memang sukar dipahami bagaimana penebangan mereka yang hanya cukup untuk berladang satu dua petak itu bisa merusak kelestarian dibandingkan dengan penebangan besar-besaran para pemegang HPH. (lihat Linkungan). Lepas dari berbagai permasalahan yang masih ditunggu-tunggu para pengusaha hutan, seperti penyempurnaan pengelolaan -- bisnis perkayuan yang menyangkut soal harga patokan, perpajakan dan lain-lain, Pemerintah sendiri rupanya mengharapkan manfaat yang cukup sepadan dari kongres sedunia. Apalagi Indonesia memperoleh "sekali kesempatan dalam 60 atau 70 tahun" untuk menyelenggarakannya. Diharapkan nanti bisa digunakan untuk pemantapan melalui tukar pikiran dan saran-sarannya, penyusunan Repelita III di bidang kehutanan akan lebih mantap. Dalam Repelita III nanti hendak diusahakan bukan saja peningkatan produksi kayu yang sudah tradisionil, tapi juga penambahan jenisnya yang kini jumlahnya cuma sekitar 10 sampai 20. Juga penggunaan tanah kehutanan secara lebih efisien akan diusahakan. Ekspor kayu sudah menjadi penghasil devisa yang nomor dua (sesudah minyak bumi) di dalam jangka waktu delapan tahun ini. Dan Indonesia memang mempunyai kedudukan yang cukup menguntungkan, sesudah Brazil, dalam potensi produksi kayu tropis. Pada tahun lampau, Indonesia mensuplai 48% kebutuhan kayu tropis dunia, jauh di atas Malaysia dan Pilipina. Dalam Repelita III, produksi kayu diharapkan naik antara 30 - 41 juta m3 di tahun 1983 seraya ekspor terutama hendak dialihkan ke kayu olahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus