Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Serius, Katanya

Delegasi Kadin melihat pameran dagang musim dingin di seoul untuk menjajagi kemungkinan hubungan bisnis dengan Korea Selatan. Perdagangan Indonesia ke Korea selalu surplus melalui ekspor kayu bulat. (eb)

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

A nyeng hi simni ka? sapa seorang pengusaha yang bertanya 'apa kabar' pada rekannya di gedung baru bertingkat enam, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Gedung Korea Trade Center itu berdampingan dengan bangunan Kedutaanbesar Republik Korea yang juga masih baru. Jawaban 'kabar baik' selalu terdengar di situ. Apalagi 30 pengusaha Indonesia dari Kadin akan pergi ke sana awal Nopember, melihat Pameran Dagang Musim Gugur di Seoul, kemudian menjajagi kemungkinan hubungan bisnis. Walaupun sudah banyak pengunjung lainnya dari Indonesia, demikian kesan orang di Korea Trade Center, rombongan Kadin sekali ini benar-benar membawa harapan untuk serius berdagang. Indonesia-Korsel sejak 1972 mempunyai hubungan perdagangan yang meningkat terus. Volumenya pada tahun lalu mencapai US$ 302,5 juta, naik dari US$ 199,5 juta pada tahun 1976, lebih menyolok lagi meningkatnya dari cuma US$ 43,1 juta pada 1972. Berdasar data Biro Pusat Statistik itu, Indonesia selalu mengalami surplus dalam berdagang dengan Korsel. Surplus Indonesia tahun lalu setinggi US$ 189,3 juta. Tapi hampir seluruh (95%) ekspor Indonesia ke sana berupa kayu bulat. Jika terpusat pada satu komoditi saja, komentar Letjen Sarwo Edhie Wibowo, bekas dubes Rl di Korsel yang kini menjabat Inspektur Jenderal Deplu, "ini sangat berbahaya bagi kita maupun Korea." Kedua pihak, katanya, perlu memikirkan 'diversifikasi' pemasaran. Jagung, biji wijen, kacang tanah, tapioka, pisang dan nenas -- semua itu dianggapnya akan bisa dijual ke Korsel. Karena pemerintah kini mencoba mendorong industri pengolahan kayu, delegasi Kadin tampaknya punya missi lain: Berusaha agar Korsel tidak melulu menampung kayu bulat, tapi juga kayu yang sudah diolah dari Indonesia, seperti kosen (kerangka pintu) dan alat rumahtangga. Hal ini, kata Tony Agus Ardie yang akan memimpin rombongan Kadin itu, akan ditawarkan pada perusahaan-perusahaan di sana yang menjual produk kayu. Ambisi Mengejar Jepang Tapi pihak Korsel jelas kelihatan lebih gesit dalam promosi ekspor. Bukan mustahil delegasi Kadin malah yang digiring mereka untuk berbelanja di sana. Kebetulan Korsel kini berusaha meningkatkan ekspornya dari US$ 10 milyar tahun lalu ke US$ 20 milyar tiga tahun lagi. Ambisinya besar sekali untuk mengejar Jepang. Dengan tingginya nilai Yen, daya saing Korsel di bidang ekspor memang bertambah. "Produk industri Korea, dibandingkan Jepang, jauh lebih murah," komentar direktur Handi Buntara dari PT Kenari Djaya, yang berdagang alat-alat kunci pintu. "Mutunya juga lumayan." Buntara ini akan ikut dalam rombongan Kadin. "Saya ingin coba-coba bisnis dengan Korea," katanya lagi pada Bachrun Suwardi dari TEMPO. Besar kemungkinan Indonesia nanti akan lebih banyak mengimpor dari Korsel. Dengan pertumbuhan industrinya yang begitu cepat negeri itu juga akan bisa menjadi pasaran baik bagi hasil pertanian Indonesia. Kebutuhan impornya pasti akan mengikuti kenaikan ekspornya. Salah satu kemungkinan baru yang sedang dijajagi ialah minat Korsel untuk mengimpor minyak bumi Indonesia. Untuk ini,missi dagang Korsel akan ke Jakarta tahun depan. Masalahnya ialah kilang-kilang minyak yang ada di Korsel sekarang khusus untuk mengolah minyak dari Timur Tengah. Dengan jarak pengapalan yang lebih dekat, minyak Indonesia diperkirakan bisa lebih murah bagi Korsel. Tapi Korsel perlu membangun kilang baru yang khusus untuk minyak Indonesia. Suatu tambahan investasi yang masih akan dirundingkan kedua pihak. Missi dagang Korsel itu juga diduga akan melihat kemungkinan investasi di Indonesia. "Dari 18 proyek investasi Korsel yang diusulkan, 5 batal. Ada 30 perusahaan Korsel yang berminat menanam modal di Indonesia," kata Park Hong Shik, atase perdagangan Korsel di Jakarta. "Tapi saya tidak tahu kenapa semua itu memakan waktu. Saya pikir pemerintah Indonesia agak konservatif dalam masalah ini."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus