A nyeng hi simni ka? sapa seorang pengusaha yang bertanya 'apa
kabar' pada rekannya di gedung baru bertingkat enam, Jalan Gatot
Subroto, Jakarta. Gedung Korea Trade Center itu berdampingan
dengan bangunan Kedutaanbesar Republik Korea yang juga masih
baru. Jawaban 'kabar baik' selalu terdengar di situ. Apalagi 30
pengusaha Indonesia dari Kadin akan pergi ke sana awal Nopember,
melihat Pameran Dagang Musim Gugur di Seoul, kemudian menjajagi
kemungkinan hubungan bisnis.
Walaupun sudah banyak pengunjung lainnya dari Indonesia,
demikian kesan orang di Korea Trade Center, rombongan Kadin
sekali ini benar-benar membawa harapan untuk serius berdagang.
Indonesia-Korsel sejak 1972 mempunyai hubungan perdagangan yang
meningkat terus. Volumenya pada tahun lalu mencapai US$ 302,5
juta, naik dari US$ 199,5 juta pada tahun 1976, lebih menyolok
lagi meningkatnya dari cuma US$ 43,1 juta pada 1972. Berdasar
data Biro Pusat Statistik itu, Indonesia selalu mengalami
surplus dalam berdagang dengan Korsel. Surplus Indonesia tahun
lalu setinggi US$ 189,3 juta.
Tapi hampir seluruh (95%) ekspor Indonesia ke sana berupa kayu
bulat. Jika terpusat pada satu komoditi saja, komentar Letjen
Sarwo Edhie Wibowo, bekas dubes Rl di Korsel yang kini menjabat
Inspektur Jenderal Deplu, "ini sangat berbahaya bagi kita maupun
Korea." Kedua pihak, katanya, perlu memikirkan 'diversifikasi'
pemasaran. Jagung, biji wijen, kacang tanah, tapioka, pisang dan
nenas -- semua itu dianggapnya akan bisa dijual ke Korsel.
Karena pemerintah kini mencoba mendorong industri pengolahan
kayu, delegasi Kadin tampaknya punya missi lain: Berusaha agar
Korsel tidak melulu menampung kayu bulat, tapi juga kayu yang
sudah diolah dari Indonesia, seperti kosen (kerangka pintu) dan
alat rumahtangga. Hal ini, kata Tony Agus Ardie yang akan
memimpin rombongan Kadin itu, akan ditawarkan pada
perusahaan-perusahaan di sana yang menjual produk kayu.
Ambisi Mengejar Jepang
Tapi pihak Korsel jelas kelihatan lebih gesit dalam promosi
ekspor. Bukan mustahil delegasi Kadin malah yang digiring mereka
untuk berbelanja di sana. Kebetulan Korsel kini berusaha
meningkatkan ekspornya dari US$ 10 milyar tahun lalu ke US$ 20
milyar tiga tahun lagi. Ambisinya besar sekali untuk mengejar
Jepang. Dengan tingginya nilai Yen, daya saing Korsel di bidang
ekspor memang bertambah. "Produk industri Korea, dibandingkan
Jepang, jauh lebih murah," komentar direktur Handi Buntara dari
PT Kenari Djaya, yang berdagang alat-alat kunci pintu. "Mutunya
juga lumayan." Buntara ini akan ikut dalam rombongan Kadin.
"Saya ingin coba-coba bisnis dengan Korea," katanya lagi pada
Bachrun Suwardi dari TEMPO.
Besar kemungkinan Indonesia nanti akan lebih banyak mengimpor
dari Korsel. Dengan pertumbuhan industrinya yang begitu cepat
negeri itu juga akan bisa menjadi pasaran baik bagi hasil
pertanian Indonesia. Kebutuhan impornya pasti akan mengikuti
kenaikan ekspornya.
Salah satu kemungkinan baru yang sedang dijajagi ialah minat
Korsel untuk mengimpor minyak bumi Indonesia. Untuk ini,missi
dagang Korsel akan ke Jakarta tahun depan. Masalahnya ialah
kilang-kilang minyak yang ada di Korsel sekarang khusus untuk
mengolah minyak dari Timur Tengah. Dengan jarak pengapalan yang
lebih dekat, minyak Indonesia diperkirakan bisa lebih murah bagi
Korsel. Tapi Korsel perlu membangun kilang baru yang khusus
untuk minyak Indonesia. Suatu tambahan investasi yang masih akan
dirundingkan kedua pihak.
Missi dagang Korsel itu juga diduga akan melihat kemungkinan
investasi di Indonesia. "Dari 18 proyek investasi Korsel yang
diusulkan, 5 batal. Ada 30 perusahaan Korsel yang berminat
menanam modal di Indonesia," kata Park Hong Shik, atase
perdagangan Korsel di Jakarta. "Tapi saya tidak tahu kenapa
semua itu memakan waktu. Saya pikir pemerintah Indonesia agak
konservatif dalam masalah ini."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini