Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Luka Menganga di Serambi Mekah

Aceh membara dari minggu ke minggu. Pengungsi membengkak sampai 80 ribu orang. Jakarta seperti kehilangan arah.

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NURMASYITAH mengadukan nasib buruk yang dialaminya. Perempuan Aceh ini datang ke Hotel Acacia, Jakarta, untuk menghadiri seminar Eskalasi Kekerasan di Aceh, Kamis pekan lalu. Persis di ruang sebelahnya terdapat Ketua Pengurus Besar NU, Abdurrahman Wahid, yang tengah menghadiri seminar lainnya. Selepas siang, Masyitah bersama beberapa perempuan Aceh lainnya menemui Gus Dur. Mereka meminta si Gus agar mau memperhatikan penderitaan rakyat Aceh lebih serius. Tapi bukan ayoman yang diterimanya, Gus Dur malah meradang. "Saya sudah jemu dengan Aceh. Aceh begini, Aceh begitu. Memangnya Aceh doang yang kita urusin," tutur kiai Ciganjur itu dengan suara meninggi. Peristiwa yang memprihatinkan itu disaksikan sejumlah wartawan dan direkam kamera televisi. Calon Presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa itu semula berencana berangkat ke Aceh, tapi batal. "Karena semua masih serba emosional," katanya kepada pers. Nurmasyitah mungkin mewakili kemalangan rakyat Aceh. Di kampungnya nun di ujung Pulau Sumatra sana, ratusan ribu warga Aceh dikejar-kejar aparat. Mereka terpaksa mengungsi karena tak tahan terhadap perlakuan tentara yang mencari anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tempat-tempat penampungan pengungsi penuh sesak. Di Jakarta, tempat keadilan mungkin didapat, mereka justru dihardik. Penderitaan rakyat Aceh saat ini memang sudah sampai ubun-ubun. Hingga pekan lalu, menurut catatan Yayasan Anak Bangsa (YAB), lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi pengungsi Aceh, paling tidak sudah 80 ribu warga Aceh yang meninggalkan rumah karena ketakutan. Di tempat-tempat penampungan sementara itulah mereka telantar. Pengungsi berdesak-desakan di masjid, sekolah, dan tanah lapang dengan alas tidur yang hanya berupa kardus bekas. Sampah menumpuk di mana-mana. Lalat beterbangan. WC dan kamar mandi hanyalah bilik sederhana bertabir plastik hitam. "Biarlah kami mati bersama di sini daripada di kampung disepak tentara," ujar Maliyah, ibu berusia 50 tahun, sendu. Disepak tentara, itulah pengalaman yang dirasakan penduduk dalam beberapa bulan terakhir. Aparat yang melakukan sweeping ke kampung-kampung yang diduga menjadi tempat bersarangnya GAM hampir tak pilih bulu. Seorang sumber TEMPO di kalangan aktivis hak asasi manusia Aceh menyebut bagaimana pasukan baju hijau itu kerap menciduk penduduk hanya karena, "Mereka memandang dengan sorot mata yang 'lain'." Tanpa klarifikasi, tanpa ba-bi-bu, warga dengan sorot mata berbeda itu bisa hilang atau kembali dengan tubuh berdarah atau tangan dan kakinya patah. Kota Lhokseumawe dan beberapa kota lain di Aceh sendiri pekan-pekan terakhir ini seperti kota mati. Pada siang yang panas terik tak ada kendaraan yang hilir-mudik. Di terminal bus Seutui, Banda Aceh, kendaraan umum hanya mangkal sampai pukul 10 pagi. Setelah itu, senyap. Akibatnya, banyak pedagang yang menjerit karena barang dagangan tak terangkut. Aroma perang juga tercium di segenap penjuru kota. Di Lhokseumawe, pasukan TNI dan PPRM (Pasukan Penindak Rusuh Massa) mondar-mandir dengan truk-truk yang sekujur tubuhnya dililit balok kayu atau karung pasir untuk menghindari serangan massa. Pos-pos polisi juga telah dikurung oleh karung pasir. Aparat keamanan bersenjata senapan laras panjang tampak hilir-mudik di setiap sudut kota. Bentrok aparat dengan GAM memang meningkat akhir-akhir ini. Jumat pekan lalu, dua prajurit dari Batalyon Infantri 113 Aceh Utara roboh dihantam peluru seorang penembak tak dikenal di pasar Alue Pute, Desa Blangpante, Aceh Utara. Sebelumnya, tiga warga Aceh Barat juga tewas setelah rumah mereka disatroni tamu tak dikenal. Bentrok terbuka juga terjadi antara tentara dan kelompok yang diduga anggota GAM di Desa Blangpante. Dalam pertempuran selama lebih dari satu jam itu, paling tidak enam prajurit tewas dan sepuluh lainnya luka parah. Adapun pihak GAM kehilangan dua tentaranya. Karena serangan sporadis dan tak tertebak itulah, aura kecurigaan meruap di mana-mana. Pasukan PPRM berkeliling dengan menggunakan penutup muka warna merah atau hitam. Mereka menghindari identitasnya dikenali agar tidak menjadi sasaran balas dendam. Penduduk mengaku bergidik jika melihat tentara. Setiap kali PPRM masuk ke satu kampung, apalagi mendirikan pos, bisa dipastikan akan ada saja penduduk yang hilang. Karena itulah mereka langsung mengungsi. Dan untuk menghindari operasi yang sia-sia karena sebuah desa kosong melompong, tentara mengubah taktik. Sweeping sering dilakukan setelah parak pagi dan berakhir sebelum matahari terbenam. Terjadilah pembersihan temporer dan tidak menetap. Tapi mengapa Aceh jadi begitu mencekam? Kisah sedih Aceh sebagai provinsi yang terlupakan dimulai ketika tentara secara besar-besaran masuk ke Serambi Mekah itu pada bulan Mei sembilan tahun lalu. Ketika itu pemerintah Orde Baru menilai aktivitas GAM semakin giat setelah Kantor Kepolisian Sektor Syamtalira dibakar. Gubernur Aceh waktu itu, Ibrahim Hasan, meminta tambahan pasukan ke Presiden untuk mengatasi keadaan. Maka, dibentanglah operasi Jaring Merah, yang kemudian dikenal dengan istilah daerah operasi militer (DOM). Setelah Soeharto jatuh, tepatnya 7 Agustus tahun lalu, DOM dicabut. Tapi penarikan pertama pasukan TNI Agustus tahun lalu justru berbuah rusuh. Bertepatan dengan ditariknya 659 personel pasukan nonorganik Kodam I Bukit Barisan, masa mengamuk. Pasukan dikejar massa dan toko-toko remuk dilempari batu. Akibatnya, penarikan pasukan lainnya malah ditunda. Setelah itu, bentrok senjata seolah menjadi makanan sehari-hari masyarakat Aceh. Peluru berdesing, bau mesiu bergemirincing. Ketakutan menjadi kelaziman. Bentrok besar terjadi lagi Mei lalu, setelah militer bertempur dengan masyarakat karena Bintara Edi Setiarwan dari Denrudal 001 Pulo Rungkom hilang. Masyarakat menuduh militer ingkar janji karena sebelumnya bersepakat tidak akan ada sweeping. Dalam insiden ini 42 orang tewas bersimbah darah diterjang peluru, sementara lebih dari 100 orang lainnya luka parah. Pemerintah sendiri seperti kehilang wisdom menangani kemelut di provinsi yang pada era prakemerdekaan paling belakangan ditaklukkan Belanda ini. Setelah gagal menarik pasukan, militer lalu mendirikan PPRM. Idenya, pasukan ini terdiri dari polisi yang akan bertindak sebagai pengaman dan bukan penyerang. Tapi kenyataannya tentaralah yang maju. Saat ini komposisi tentara dan polisi di PPRM adalah tiga banding satu. Menurut Hasballah M. Saad, Sekretaris Jenderal Komite Solidaris HAM untuk Aceh, TNI saat ini menyimpan paling tidak 4.000 personel di Aceh. Belakangan ini jumlah itu ditambah dengan 2 batalyon sehingga menjadi 6.000 personel. Tapi data Hasaballah itu dibantah Wakil Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigjen Sudrajat. "Hanya dua batalyon dari Kodam Bukit Barisan ditambah dua batalyon," katanya kepada wartawan TEMPO Darmawan Sepriyossa. Keempat batalyon pasukan itu dipersenjatai dengan senapan M16 dan Styer. Persoalannya, banyak yang curiga tentara memainkan pasukan di luar garis komando. Sumber TEMPO yang aktif mengurus pengungsi Aceh menyebutkan banyak aparat intelijen yang saat ini menyusup di tengah rakyat. Tujuannya untuk menyisir kemungkinan adanya aktivis GAM masuk ke tengah pengungsi. Mereka terang-terangan menanyakan identitas pengungsi, semisal KTP. Tertangkapnya seorang yang mengaku berpangkat prajurit dua dari Kopassus oleh sebuah kesatuan lain Mei lalu di Lhokseumawe membuktikan kuatnya dugaan adanya "pasukan liar", di luar komando resmi. Tapi markas Kopassus di Cijantung membantah keabsahan prajurit itu. Hasballah menduga bukan tidak mungkin ada oknum Kopassus yang kembali ke Aceh meski jelas-jelas sudah ditarik. "Mungkin mereka sudah punya jaringan sehingga lebih mudah cari makan di sana," kata pria Aceh yang juga pengurus Partai Amanat Nasional ini. Jika kabar ini benar, yang terjadi di Aceh adalah oportunisme. Sebuah kisah sedih kalau kita mengingat betapa banyak darah sudah tumpah di Bumi Tjut Nyak Dien itu. Dan yang lebih menyakitkan, warga Aceh seperti tidak punya tempat lagi untuk mengadu. Tidak kepada Presiden Habibie, yang pernah berjanji tak akan membiarkan TNI melakukan kekerasan lagi. Tidak pula kepada calon presiden mendatang seperti Gus Dur, yang gusar karena dimintai perhatian lebih banyak. Aceh adalah anak-anak hilang yang tak punya tempat kembali.... Arif Zulkifli, Mustafa Ismail (Jakarta), Zainal Bakri, Hendriko L. Wiremmer (Lhokseumawe)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus