TRANSPARANSI adalah satu keharusan mutlak bagi sebuah perusahaan yang sudah masuk bursa, tidak terkecuali PT Bakrie & Brothers (BB). Grup usaha pribumi yang sudah berkibar sejak setengah abad lalu ini belakangan kerap diterpa isu yang merugikan -- seperti kredit macet misalnya. Namun, ia harus tetap transparan yang berarti kinerjanya tembus pandang. Bukan saja karena sudah masuk bursa, tapi Juni depan, BB justru akan terjun ke Bursa Efek Jakarta untuk ketiga kalinya. Prospektusnya menyebutkan, BB akan menjual lebih dari 210 juta lembar sahamnya untuk meraih dana sekitar 600 juta dolar atau Rp 1,3 triliun. Dana sebesar itu akan digunakan untuk empat tujuan. Yang utama adalah membiayai akuisisi intern atas tiga perusahaannya yang bergerak di bidang industri pipa (PT Seamless Pipe Indonesia Jaya), PT Indocopper Investama Corporation (memegang 10% saham di Freeport Indonesia Corp.), dan untuk mengakuisisi PT Arutmin Indonesia yang bergerak di bidang eksplorasi dan eksploitasi tambang batu bara dan mineral di Kalimantan. Total, untuk membiayai akuisisi intern ketiga perusahaan itu dibutuhkan dana 344 juta dolar. Sisanya sebesar 256 juta dolar, selain untuk membeli Wisma Bakrie seharga 19 juta dolar, juga akan dimanfaatkan untuk membiayai ekspansi di industri pipa dan membayar kewajiban utang jangka pendek maupun jangka panjang yang jatuh tempo. Tapi pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) BB beberapa waktu lalu, tak semua rencana itu berjalan mulus. Paling tidak, RUPS tidak menyetujui akuisisi atas PT Seamless Pipe Indonesia (SPI). Namun, tampaknya, pihak BB akan terus memperjuangkan hal itu pada rapat umum pemegang saham luar biasa, Kamis pekan ini. Tak kalah menarik dari rencana penawaran saham terbatas (right issue) ini adalah munculnya isu yang menyebutkan bahwa kelompok Bakrie sibuk mencari dana karena kesulitan likuiditas. Tak jelas dari mana dari mana datangnya kabar bernada sumbang itu. Kuat dugaan, isu itu muncul lantaran BB terlampau agresif dalam ekspansi maupun diversifikasi usaha. Memang, sejak dipimpin Aburizal Bakrie (1988), grup ini menambah anak perusahaannya dari 22 menjadi 44. Begitupun bidang bisnisnya, terus berkembang. Semula tulang punggung BB adalah industri pipa, tapi kini tidak lagi. Dengan wilayah operasi yang meliputi Indonesia, Hong Kong, Australia, dan Amerika, usahanya merasuk ke berbagai bidang: properti, hiburan, agribisnis, pertambangan, elektronik, dan jasa keuangan. Sementara itu, omzetnya juga melejit. Terakhir dari pendapatan bersih Rp 313 miliar pada tahun 1993, BB berhasil meraih laba bersih sebesar Rp 26 miliar lebih. Tapi benarkah akibat ekspansi yang agresif itu BB terlibat utang yang besar? Wallahualam. Kewajiban lancarnya yang jatuh tempo tercatat Rp 377 miliar. Jumlah ini masih terimbangi dengan aktiva lancar yang Rp 372 miliar. Berarti, current ratio 98,9% yang dimilikinya masih tergolong bagus. Utang jangka panjang BB memang terlihat membengkak. Pada tahun 1992 utang jangka panjangnya hanya Rp 76,4 miliar, tapi pada akhir tahun lalu angka itu melonjak 142% menjadi Rp 185 miliar lebih. Dan barangkali saja, kredit macet itu bersembunyi di dalam angka yang Rp 185 miliar itu. Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini