GOLONGAN pengusaha kecil, yang selama ini tersia-sia bagaikan anak yatim piatu, kini mulai kebanjiran simpati. Mendadak ada kehendak yang kuat sekali untuk memperbaiki nasib mereka. Simak saja gagasan Golongan Karya mendirikan badan penjamin kredit (guarantee fund). Sungguh, sangat tak terduga. Lembaga penjamin ini memang tidak memberikan pinjaman, tapi hanya sebagai penjamin bagi pengusaha kecil untuk memperoleh kredit dari bank. Gagasan itu dilontarkan Ketua Departemen Koperasi dan Wiraswasta Golkar, Fahmi Idris, pada Rapat Kerja Teknis Departemen Koperasi dan Wiraswasta Golkar, Rabu pekan lalu. Lembaga penjamin itu, menurut Fahmi, akan menyambung mata rantai antara pengusaha kecil dan dunia perbankan, yang selama ini terputus. "Jangankan mendapat KUK (kredit usaha kecil), untuk datang ke bank saja, mereka takut," kata Fahmi. Tapi siapa yang akan mendirikan lembaga penjamin ini? Golkar atau Pemerintah? Tak jelas memang. Hanya disebutkan, modal bagi pendirian lembaga itu antara lain akan berasal dari laba 1-5% yang disisihkan BUMN untuk pengusaha kecil dan koperasi. Selain itu, Golkar juga menawarkan pendataan calon pengusaha kecil dan koperasi yang akan menerima bantuan tersebut. Bukan main! Di luar dugaan, gagasan Golkar itu mendapat sambutan positif, setidaknya dari 11 BUMN di lingkungan Departemen Keuangan. Mereka bersama-sama pengurus Golkar bahkan menandatangani nota kesepakatan bagi pendirian lembaga penjamin tersebut. Inti kesepakatan itu, menurut seorang pejabat Departemen Keuangan, adalah kesanggupan BUMN Departemen Keuangan menyediakan baik dana maupun teknik bagi pendirian lembaga penjamin pinjaman. "Ide pendirian lembaga itu datang dari Menteri Keuangan," kata sumber tadi. Di antara 11 BUMN yang menyanggupi pembiayaan guarantee fund, ada PT Jasindo, PT Jasa Raharja, Astek, dan PT Danareksa. Melihat perkembangan yang begitu cepat, Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Soebiakto Tjakrawerdaja, tampaknya ikut terpana. Namun, ia berpendapat, sebaiknya dana BUMN itu disalurkan lewat PT Askrindo (perusahaan penjamin kredit) dan Perum Pengembangan Keuangan Koperasi (PKK). "Siapa pun tak bisa memonopoli penyaluran dana BUMN kepada pengusaha kecil," Soebiakto menegaskan. Reaksi keras juga datang dari PDI dan PPP. Gagasan itu, menurut Kwik dari PDI, lebih muncul sebagai isu politik ketimbang ekonomi. Katanya lagi, hal itu hanya akan menguntungkan Golkar dalam pemilihan umum 1998 mendatang. "Ini namanya kolusi antara penguasa BUMN dan Golkar," tuduh Kwik. Ketua FPP di DPR, Hamzah Haz, merasa, yang diperlukan adalah memasukkan dana BUMN itu ke dalam APBN. Sedangkan gagasan Golkar itu, "Bisa dicurigai sebagai kampanye atau menghimpun kekuatan," ujar Hamzah. Penimbunan dan pengelolaan laba bersih BUMN selama ini memang menimbulkan tanda tanya. Pada tahun 1990, misalnya, dana yang diambil dari laba BUMN itu mencapai Rp 27,3 miliar. Tapi yang dapat disalurkan kepada 1.618 pengusaha kecil dan koperasi hanya Rp 6 miliar. Berarti, sejumlah Rp 21 miliar lebih masih menganggur alias tak disalurkan. Dana menganggur itu terus membengkak, dan pada tahun 1994 menjadi Rp 140 miliar lebih (lihat tabel). Mengapa bisa begitu? Entahlah. Padahal kebijaksanaan agar BUMN-BUMN menyisihkan 1-5% labanya dicetuskan Pemerintah lima tahun lalu. Dana itu harus digunakan untuk pembinaan pengusaha ekonomi lemah dan koperasi. Tapi ternyata tidak semua dana BUMN dapat disalurkan. Tak jelas di mana kendalanya. Padahal, seperti diungkapkan Golkar, saat ini ada 34,4 juta pengusaha kecil yang menunggu uluran modal. Memang, belakangan ini Pemerintah mengambil kebijaksanaan untuk menyalurkan dana BUMN itu lewat BRI dan BPD (dalam bentuk KUK) serta PT Bahana Pembinaan Usaha (modal ventura). Tapi itu pun tidak jalan. Sementara itu, ketentuan bahwa bank harus menyisihkan 20% kreditnya untuk KUK ternyata juga tidak jalan. Mei lalu, penyaluran KUK ini disempurnakan dalam ketentuan bahwa bank-bank dapat membeli KUK dari bank lain. Cara tersebut justru menimbulkan biaya tinggi. Konon, BRI, BTN, dan Bukopin menjual KUK dengan margin cukup tinggi. Margin yang diambil bervariasi mulai 3% sampai 7%. Dan bukan hanya itu. Banyak pula yang meragukan KUK itu sampai ke tangan peng- usaha kecil. "Kualitias penyaluran kreditnya amat diragukan," kata Sjahrir, pengamat ekonomi. Keraguannya bisa dimaklumi karena dalam kriteria pengusaha kecil, masuk pula mereka yang beraset Rp 600 miliar. Tampaknya, Pemerintah tanggap terhadap hal itu. Menurut Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad, kriteria pengusaha kecil sudah saatnya ditinjau. Diusulkannya memasukkan nilai omzet dalam kriteria pengusaha kecil tersebut. "Memang kita akan terus mengembangkan pengusaha menengah kecil," kata Mar'ie. Kalau dilaksanakan secara konsekuen, gagasan ini tentu akan bermuara pada pemerataan. Namun, tampaknya, jalan ke sana masih terlalu panjang. Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pengusaha Kecil dan Menengah yang kini tengah digodok Departemen Keuangan dan DPR belum tentu dapat dijadikan jaminan. Selain itu, juga diperlukan RUU anti-monopoli, anti-kartel, dan anti-kolusi, barangkali. Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini