INALUM, proyek kerja sama pemerintah Indonesia dan Jepang yang berlokasi di Kualatanjung, Sumatera Utara, kini kembali memancing polemik baru. Jumat lalu, koran ekonomi terkemuka di Jepang, Nihon Keizai (Nikkei), memberitakan bahwa Inalum perlu tambahan modal sekitar 15 miliar yen. Anehnya, hari itu juga berita tersebut dibantah Menteri MITI, Eijiro Hata. Seorang pejabat Nippon Asahan Aluminium (NAA) yang dikontak wartawan TEMPO di Tokyo juga membantah berita tersebut. "Entah siapa sumber berita Nikkei itu. Sama sekali tidak ada permintaan demikian dari Indonesia," kata pejabat NAA tadi. Berita itu perlu dipertanyakan karena permintaan tambahan modal 15 miliar yen tidak sesuai dengan posisi pemegang saham di PT Inalum. Saham pemerintah RI di situ 49%, sedangkan saham Jepang 51%. Jika perlu suntikan modal 15 miliar yen, Jepang mestinya menyuntik 7,65 miliar yen, bukan 10 miliar yen seperti diberitakan Nikkei. Inalum adalah perusahaan patungan pertama pemerintah Indonesia dengan konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA). Konsorsium NAA dipegang 50% oleh lembaga milik pemerintah Jepang, OECF (The Overseas Economic Cooperation Fund), dan separuhnya lagi dipegang 12 perusahaan swasta yang dipimpin Sumitomo. Sewaktu Inalum baru berdiri, pemerintah Indonesia memegang saham 25%, sedangkan NAA memegang 75%. Tapi, sejak tahun 1987, perusahaan ini mengalami kesulitan likuiditas, padahal ada utang yang harus dibayar karena sudah jatuh tempo. Lalu timbul pertikaian antara pemegang saham. Jalan keluarnya: pinjaman lunak dari OECF, baik untuk Indonesia maupun Jepang. Modal perusahaan lalu naik dari 91,1 miliar yen menjadi 147,1 miliar yen. Komposisi saham berubah: 49% untuk pemerintah Indonesia dan 51% di tangan NAA. Namun, setahun kemudian timbul perdebatan sengit mengenai jatah pemasaran aluminium. Setelah perundingan cukup lama, akhirnya Inalum diberi jatah 33% untuk pemasaran dalam negeri (oleh Otorita Asahan), 41% diekspor oleh PT Aluminium Asahan Aluminium Alloys. PT Inalum sendiri hanya memasarkan 26% ke Jepang. Bandingkan dengan kontrak minyak (Pertamina 85%, asing 15%). Dengan berbagai upaya, ternyata kondisi keuangan Inalum tetap rawan. "Tanpa suntikan modal baru, Inalum tetap terancam bangkrut," kata seorang pejabat MITI (kementerian perdagangan internasional dan industri Jepang). Apa kata pemerintah RI? Menurut seorang menteri, ada usul dari kalangan kabinet agar Inalum dibubarkan saja. "Tapi Presiden agaknya tidak ingin hal itu terjadi. Sebab, Inalum dianggap proyek pertama rintisan Indonesia-Jepang," katanya kepada Linda Djalil dari TEMPO. Pejabat yang lain mengatakan, Inalum rugi terus karena tidak bisa kompetitif. Celakanya, harga aluminium di pasar dunia juga terus anjlok. Dari US$ 2.000 menjadi US$ 1.000-1.300 per ton. Sampai Maret 1993, kerugian Inalum sudah US$ 220 juta atau sekitar 22,5 miliar yen, sedangkan kerugian tahun terakhir (sampai Maret 1994) diperkirakan 9,2 miliar yen. Maka, kerugian seluruhnya 31,7 miliar yen, sedangkan utangnya 190 miliar yen. Menurut seorang pejabat MITI di Tokyo, jika kondisi Inalum tak membaik, kerugiannya pada tahun 1996 diperkirakan akan menelan lebih dari 75% modal. Ini berarti, Inalum harus dinyatakan pailit. Max Wangkar dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini