BISIK-BISIK itu akhirnya diluruskan oleh Menteri Pertambangan dan Energi I.B. Sudjana, pekan lalu. Sesaat usai menutup rapat kerja Departemen Pertambangan dan Energi, Sudjana menjelaskan bahwa tarif listrik yang berlaku sekarang harus dinaikkan secara bertahap. "Ini karena Perusahaan Listrik Negara harus mandiri dalam pendanaannya," kata Menteri. Malah, Keputusan Presiden Soeharto yang mengatur tarif ini sudah disiapkan. Resminya, kenaikan tarif itu bersifat periodik dan disebut mekanisme tarif listrik otomatis. Mengapa? Karena kelak, harga jual listrik dihitung secara periodik. Menurut rencana, setiap tiga bulan "disesuaikan" dengan perubahan beberapa variabel yang dianggap punya pengaruh penting terhadap biaya produksi listrik. Faktor yang diperhitungkan meliputi harga bahan bakar, pembelian tenaga listrik, tingkat inflasi, dan nilai tukar dolar terhadap rupiah. Empat faktor itu dihitung dengan rumus tertentu, dan masing-masing diberi bobot sesuai dengan perannya dalam biaya produksi listrik. Bagaimana persisnya rumus baru itu, hingga kini belum jelas benar. Direktur Utama PLN, Zuhal, yang biasanya gampang disapa wartawan, kali ini menolak untuk bicara. "Soal tarif kan urusan Pemerintah, bukan PLN. Apa pun keputusan Pemerintah, PLN siap menjalankan," jawabnya mengelak, ketika ditanya TEMPO sesaat sebelum naik haji pekan lalu. Dirjen Listrik dan Pengembangan Energi, Artono Arismunandar, cuma berdalih, "Ah, itu kan masih lama." Sedangkan anggota Komisi VI, Tadjudin Noer Said, seperti ketinggalan kereta. "Terus terang saya hanya tahu dari koran. Saya tidak masuk menjadi anggota tim perubahan tarif listrik itu," katanya. Tampaknya, Pemerintah bergerak diam-diam. Tapi, menurut informasi dari sumber yang banyak mengetahui, terungkap bahwa faktor yang bobotnya paling gede dalam menentukan tarif listrik adalah bahan bakar. Komponen ini bobotnya lebih dari 50%. Adapun harga pembelian listrik diberi bobot kecil, kurang dari 5%. Memang, untuk memudahkan perhitungan, selama ini PLN dianggap membeli listrik dari pembangkit miliknya. Sisanya ditentukan oleh inflasi dan perubahan nilai dolar. Tapi, mengapa bobot bahan bakar paling tinggi? Jawabnya, ia merupakan komponen paling dominan dalam biaya operasi PLN. Dari hampir Rp 4 triliun biaya operasi PLN pada tahun 1992-1993, Rp 2,1 triliun habis untuk bahan bakar. Jumlah itu jauh lebih besar ketimbang biaya pembelian listrik yang selama 1992-1993 menelan Rp 20 miliar. Tarif otomatis ini kelak tak lagi ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Tepatnya, kenaikan harga hanya dibuat berdasar keputusan Direksi PLN, setelah disahkan oleh Dirjen Listrik dan Pengembangan Energi. Tapi, sebelumnya PLN harus berkonsultasi dengan dewan pengawasnya, dan menteri yang menjadi bosnya. Yang akan menuai untung dari mekanisme tarif listrik ini tentu saja, ya, PLN. BUMN yang sejak 1 April 1994 menjadi persero itu tak akan lagi menanggung beban kurs valuta asing atau tingkat inflasi yang terjadi. Bila dihitung, selama ini harga jual listrik PLN memang ketinggalan dibandingkan perubahan harga-harga. Selama lima tahun terakhir, misalnya, tarif listrik baru naik dua kali. Kenaikan terakhir pada Juli 1991, bersamaan dengan kenaikan harga BBM. Sejak itu, harga listrik terus digerogoti oleh inflasi dan apresiasi nilai valuta asing. Padahal, bagi PLN, perubahan nilai valuta asing itu punya pengaruh yang besar. Soalnya, banyak dana PLN yang didapat dari pinjaman internasional. Selama lima tahun lalu (1988-1993), porsi pinjaman asing besarnya 58%-70% dari total pembiayan investasi PLN. Dan kebutuhan dana dari luar itu, dalam Pelita VI, akan tetap besar. Menurut proyeksi PLN, selama Pelita VI, setiap tahun dibutuhkan Rp 12 triliun, untuk memenuhi permintaan listrik yang tiap tahun tumbuh 17%. Yang tersedia Rp 9 triliun, itu pun yang Rp 1,6 triliun berasal dari pinjaman luar negeri. "Kekurangan dana investasi itu harus didapat dari intern PLN sendiri, yaitu dari konsumen," kata Sudjana. Caranya bisa diduga: menaikkan tarif. Dari sisi PLN, alasan ini tampaknya logis. Tapi, banyak yang mempertanyakan, dengan kenaikan tarif periodik itu, PLN tak ada bedanya dengan badan usaha swasta. Maksudnya, PLN semata-mata cari untung. Kalau fungsi sosial PLN akan dihapuskan dengan cara ini, maka hak monopoli pengadaan listrik yang ada pada PLN seharusnya dihapuskan saja. Dengan demikian, pengusaha lain juga bisa menjadi pemasok listrik. Dan tarif listrik pasti lebih kompetitif. Singkatnya, lebih fair buat konsumen. Wajarlah bila Tadjudin Noer Said mengatakan, "Sistem yang baru itu hanya mengamankan pendapatan PLN, tapi tidak memperhatikan konsumen," katanya. "Ini membuat pelanggan terpukul dua kali," ujarnya tegas. Maksudnya, konsumen PLN, selain terimbas inflasi dan kenaikan harga barang, dihantam juga oleh kenaikan tarif listrik. Anggota DPR yang lain, Erie Soekardja, mengusulkan, kalau sistem tarif yang baru ini jadi dilaksanakan, hendaknya subsidi silang tetap dipertahankan. Maksudnya, konsumen berpendapatan rendah dikenai harga yang lebih murah ketimbang golongan mampu. Ide yang bagus, memang. Tapi, yang pasti, tarif listrik akan naik dan terus naik. Iwan Qodar Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini