PEKAN-PEKAN ini, banyak orangtua murid pontang-panting. Apalagi mereka yang anaknya telantar karena tak disalurkan sekolahnya. Bila ditanya, para pendidik cuma menunjuk ke satu alamat: Kanwil Departemen P dan K DKI Jakarta. Kanwillah, menurut mereka, paling menentukan penerimaan murid baru. Kunci penerimaan siswa baru adalah pada Nilai Ebtanas Murni (NEM). Repotnya, di beberapa sekolah negeri yang dianggap favorit, NEM yang tinggi pun belum menjamin. Contohnya, untuk bisa diterima di SMP 236, warisan lab school IKIP, NEM terendah siswa, tak peduli dia lulusan SD sekolah itu, adalah 42,34 untuk lima mata pelajaran. Di Jakarta, domisili siswa alias sistem rayon, juga dijadikan syarat. Seorang anak bisa diterima di sekolah pilihannya, jika mempunyai NEM tinggi dan sesuai dengan rayonnya. "Sistem itu dipakai untuk pemerataan, supaya anak-anak pandai tak ngumpul di sebuah sekolah favorit," kata Soegiyo, Kepala Kanwil P dan K DKI Jakarta. Tapi dalam praktek, beberapa sekolah favorit malah menampung anak-anak yang NEM-nya tinggi sekali. Sistem sekarang juga memungkinkan lulusan SD dan SMP untuk pindah rayon. Asalkan ada bukti tertulis dari pihak kelurahan berdasarkan keterangan orangtua dan sekolah asal masing-masing. Sekalipun pindah tempat tinggal murid bersangkutan, diragukan keabsahannya. Akibatnya, di sana-sini malah menjadi suatu ajang persaingan tak sehat. Kini di Jakarta hanya 52% dari 149.000 lulusan SD mampu tertampung di SMP Negeri. Untuk SMA Negeri hanya 42% dari 133.000 lulusan SMP. Bagi yang tak tertampung, kata Soegiyo, sekolah swasta di Jakarta akan mampu menyerap limpahannya. Maksud Soegiyo, tentu bukanlah sekolah swasta yang keren seperti Kanisius atau Al-Azhar. Rata-rata di SMA Negeri favorit di 16 rayon Jakarta telah menampung siswa dengan NEM di atas 50-an. Artinya, dari enam mata pelajaran SMP yang diujikan lewat Ebtanas rata-ratanya 8,3. Di Jakarta, NEM tertinggi diraih seorang siswa yang masuk SMA 28, dengan NEM 55. Di Bandung, penerimaan siswa baru SMP dan SMA Negeri juga berdasarkan NEM. Sekolah favorit di Bandung, SMA Negeri III, diserbu penggemarnya. Apakah NEM yang tinggi pasti merupakan jaminan mutu muridnya? Itu memang masih debat yang belum selesai. Diakui Waryo Sukanda, Kepala Sekolah SMA III Bandung, NEM tinggi belum menjamin anak itu pintar. Dia punya pengalaman, ketika SMA-nya menerima siswa baru dari luar Jawa yang mempunyai NEM lebih tinggi dari anak Bandung. "Namun, setelah mereka belajar sama-sama di sini, prestasinya jadi sebaliknya," katanya. Menurut Masril Jambak, Kepala SMP Muhammadiyah Lubukpakam, Sumatera Utara, NEM bisa saja diatur. Hatta, anak seorang jaksa di Lubukpakam, minta kepada guru SMP Negeri I untuk menaikkan NEM. Dengan NEM 48, akhirnya anaknya bisa diterima di SMA Negeri I Medan. Cara penyelewengan NEM itu dilakukan dengan minta bantuan panitia atau guru, sebelum NEM itu diumumkan. Seorang guru menerangkan lemahnya sistem NEM. Pertama, dengan mengubah jawaban yang diberikan siswa, sehingga kertas jawaban itu banyak bekas coretan. Kedua, guru membuat kunci jawaban di kertas kecil, kemudian diperbanyak. Sebelumnya, kepada anak-anak diinstruksikan agar tak mengisi yang tak bisa, nanti akan datang jawaban. Ketiga, pada saat koreksi hasil Ebtanas, kepala sekolah dengan mudah bisa mengubah nilai NEM. Untuk menghindari terjadi manipulasi itu, menurut Prof. Moegiadi, Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Akademis Departemen P dan K, pemeriksaan Ebtanas dilakukan dengan sistem silang. Kalau toh masih tetap terjadi penyelewengan, kata Moegiadi, "Itu sudah soal moral." GT, Ida Farida dan Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini