Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Lonjakan harga avtur mendorong maskapai penerbangan mengusulkan kenaikan tarif batas atas (TBA) tiket penerbangan. Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Association (INACA), Bayu Sutanto, mengatakan penetapan tuslah atau tambahan tarif sebesar 10 persen dari TBA pada musim mudik lalu belum mampu meringankan beban operasional maskapai. “Tuslah tidak mencukupi proporsi kenaikan harga avtur,” ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penghitungan TBA dan tarif batas bawah (TBB) tiket pesawat hingga kini masih didasari Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 20 Tahun 2019. Menurut Bayu, parameter harga avtur yang dipakai pemerintah saat menyusun TBA terakhir itu masih sebesar Rp 10 ribu per liter, dengan kurs rupiah 14.100 per dolar Amerika Serikat. Sedangkan saat ini, tarif bahan bakar pesawat sudah menyundul Rp 17 ribu per liter. Sementara itu, porsi avtur terhadap biaya pokok produksi maskapai mencapai 30-40 persen.
"Kalau harga avtur naik 70 persen, berarti biaya produksinya naik 21 persen," tutur Bayu. Beban itu belum mencakup beban pergerakan kurs, fluktuasi biaya sewa pesawat, harga suku cadang, dan pelatihan kru yang biasanya dibayar dengan dolar Amerika Serikat. Maskapai kian terdesak karena belum adanya alternatif pengganti avtur ataupun mesin pesawat yang irit bahan bakar.
Petugas mengisi bahan bakar jenis avtur untuk pesawat Lion Air di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Dok. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat bertemu dengan anggota Komisi Transportasi Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa lalu, Managing Director Lion Air Group, Daniel Putut Kuncoro Adi, juga mengungkit soal aturan TBA lama yang tak lagi relevan dengan kondisi aviasi pada era pandemi Covid-19. Belum termasuk perubahan kondisi ekonomi dunia. “Banyak sekali tinjauan yang harus dilakukan. Paling tidak biaya operasional bisa kita kurangi karena alat utama bisnis penerbangan adalah pesawat,” ujarnya.
Daniel berkata, Lion Air harus menggelontorkan dana besar untuk perawatan armada. Dia menyebutkan, karena banyak vendor penyedia alat dan suku cadang pesawat yang tutup gara-gara pandemi, vendor yang tersisa menaikkan harga secara drastis. Pelemahan nilai tukar rupiah membuat ongkos tersebut semakin mahal.
Berbagai perubahan pada lalu lintas pesawat domestik turut mendongkrak biaya produksi maskapai. Daniel mencontohkan perubahan kondisi rute Jakarta-Tanjung Karang yang diterbangi Grup Lion. "Dulu bisa ditempuh 20 menit. Sekarang, karena kepadatan trafik, bisa sampai 50 menit bahkan satu jam.”
Bila TBA lama tak kunjung dievaluasi, Daniel khawatir lama-kelamaan maskapai tidak lagi sanggup melayani rute-rute tertentu. Pasalnya, keterisian 100 persen sekalipun belum bisa menghasilkan laba bagi maskapai.
Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, mengatakan terus mencari cara untuk meredam efek kenaikan harga bahan bakar. "Kami terus meninjau secara internal. Tapi memang tidak terlalu banyak yang bisa kami lakukan,” ucapnya, kemarin.
Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, di kantor Garuda Indonesia, Kebon Sirih, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Pemerintah Tetap pada Aturan Tuslah
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Isnin Istiartono, sebelumnya memastikan skema tuslah sebesar 10 persen dari TBA masih menjadi acuan bagi maskapai, sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 68 Tahun 2022. Aturan itu berlaku selama tiga bulan, sejak 18 April hingga 17 Juli mendatang.
Pengamat penerbangan dari CommunicAvia, Gerry Soejatman, mengakui sudah saatnya maskapai mengusulkan kenaikan TBA agar bisa bertahan. Bila aturan harga tak berubah, maskapai bakal kesulitan mengejar pendapatan pada masa padat atau high season. Hal ini diperparah dengan kelangkaan pesawat. “Saat permintaan naik, ketersediaan kursi tidak mencukupi, sementara harga tiket terganjal TBA lama,” katanya.
Meski begitu, dia mengusulkan TBB tidak naik agar moda penerbangan tetap bisa dijangkau masyarakat berdaya beli rendah pada periode-periode tertentu. “Jika sedang sepi, butuh tiket semurah-murahnya agar orang tetap bepergian dan roda ekonomi terus berjalan. Jadi, TBA harus naik, tapi TBB tetap."
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi, meminta TBA dihitung ulang berdasarkan kemampuan keuangan konsumen. Sejauh ini, menurut dia, aturan itu baru mempertimbangkan minat bayar konsumen. Walhasil, kenaikan TBA ibarat menjadi alat seleksi konsumen karena hanya memfasilitasi orang-orang yang sanggup membayar. "Ke depan, perlu ditinjau dari aspek kemampuan konsumen.”
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo