Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pedagang pasar kesulitan menjual minyak goreng sesuai dengan HET.
Pemerintah menugasi Satuan Tugas Pangan memantau penjualan minyak goreng curah di pasar.
Penyaluran minyak goreng curah juga bakal dilakukan menggunakan aplikasi digital.
JAKARTA - Sengkarut harga minyak goreng curah mulai menggulung usaha sejumlah pedagang di Pasar Ceger, Tangerang Selatan, Banten. Salah seorang pedagang yang terkena dampak adalah Leni, pemilik kios bahan pokok di pasar tersebut.
Kenaikan harga pangan, khususnya minyak goreng, menurut Leni, membuat para pedagang harus keluar modal lebih besar dari sebelumnya. Di sisi lain, jumlah pembelinya—yang rata-rata pedagang kaki lima—terus menyusut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walhasil, Leni harus menutup lima kiosnya dan menyisakan satu kios saja untuk bisa bertahan hidup. "Selama 25 tahun saya jualan di pasar, baru sekarang saya ngerasain nyungsep paling parah," tutur Leni saat ditemui Tempo di kiosnya, Ahad, 5 Juni 2022.
Salah satu persoalan yang ia keluhkan adalah adanya tekanan terhadap pedagang untuk menjual minyak goreng curah sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET), yakni Rp 14 ribu per liter atau Rp 15.500 per kilogram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Leni, HET tersebut mustahil dicapai, lantaran para pedagang di Pasar Ceger rata-rata mendapat minyak goreng curah dari agen seharga Rp 14 ribu sampai Rp 15 ribu per liter. Jadi, bukannya mendapat untung, para pedagang justru buntung kalau menjual minyak goreng curah sesuai dengan HET.
"Kan nimbangin pakai tenaga, kami juga ambil dari agen bukan diantar. Harga plastik pun naik, jadi merembet, bukan cuma harga minyak gorengnya," kata dia.
Dengan kondisi tersebut, harga jual termurah yang bisa ia berikan kepada konsumen, menurut dia, paling tidak Rp 18 ribu per liter. Dengan harga tersebut, para pedagang pun hanya mendapat untung sekitar Rp 2.000 per liter. Sedangkan harga minyak goreng kemasan lebih mahal lagi. Saat ini ia membanderol komoditas itu seharga Rp 55 ribu per dua liter.
Pedagang lainnya di Pasar Ceger, Khairul Musyafak, juga mengaku kesulitan sekaligus waswas kala menjual minyak goreng curah. Musababnya, ia khawatir ada tekanan kepada pedagang untuk menjual minyak curah sesuai dengan HET, meski modal yang dikeluarkan masih di atas batas harga tersebut.
"Saya dapat dari agen Rp 15.600, masak saya harus jual Rp 14 ribu. Ya tekor. Lebih baik saya tidak jual," kata Khairul.
Pedagang Minyak Goreng Merasa Terintimidasi
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi), Abdullah Mansuri, mengatakan kekhawatiran para pedagang beralasan. Ikappi mendapat laporan bahwa di lapangan banyak berseliweran surat edaran yang meminta pedagang pasar menjual minyak goreng curah sesuai dengan HET. Ditambah lagi, pengawasan dari aparat penegak hukum juga semakin ketat. Padahal pedagang biasanya hanya mengambil untung sedikit, di kisaran Rp 1.000-1.500 per liter.
"Jadi, jangan melulu menyalahkan pedagang, karena pedagang sudah dapat (minyak goreng) di harga tinggi. Di sisi lain, kalau menjual tidak sesuai HET, mereka berisiko terkena masalah hukum, sehingga mereka khawatir. Karena itu, banyak juga yang menghentikan penjualan," kata Mansuri. Kendati demikian, ia mengimbau para pedagang agar tetap berdagang minyak goreng curah demi memenuhi permintaan masyarakat.
Bersamaan dengan itu, Ikappi berjanji melakukan advokasi agar para pedagang bisa mendapat minyak goreng curah dengan harga lebih murah, sehingga bisa menjual sesuai dengan harga yang ditentukan.
"Yang penting, kami berdagang tertib dan ambil untung sewajarnya. Menurut kami, tak masalah," ujar Mansuri. Ia justru meminta Satuan Tugas Pangan melakukan pengawasan harga lebih ketat di tingkat pabrik, distributor, hingga agen.
Setali tiga uang, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, Mujiburrohman, membenarkan kabar banyak pedagang mulai ogah berjualan minyak goreng curah. Menurut dia, terkadang para pedagang harus menebus minyak goreng curah dari distributor dengan harga di atas HET.
Para pedagang juga mengaku merasa terintimidasi oleh keberadaan aparat penegak hukum di pasar. "Jadi, pedagang merasa ribet dan terintimidasi dengan adanya aparat militer yang masuk ke pasar dengan seragam lengkap, mereka beberapa kali melakukan sidak," ujar Mujib.
Pedagang mengemas minyak goreng curah di Jakarta, 17 Mei 2022. Tempo/Tony Hartawan
Penjelasan Luhut Soal Aparat Ikut Memantau Minyak Goreng
Dalam konferensi pers pada Ahad kemarin, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memang menyatakan bakal ada tim satuan tugas yang terdiri atas anggota Polri, TNI, kejaksaan, hingga pemerintah daerah untuk mengawasi dan menindak pelanggaran di lapangan.
Pengawasan tersebut didasari pemberlakuan kebijakan pemenuhan harga wajib domestik atau domestic price obligation (DPO). Kebijakan ini akan berlaku di tingkat produsen hingga distributor.
Menjalankan arahan Luhut, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Dudung Abdurachman pun sempat memantau langsung harga minyak goreng di Pasar Kramat Jati pada Rabu pekan lalu. Dudung turun ke pasar dengan alasan ia mendapat informasi bahwa harga minyak goreng curah di sana masih mencapai Rp 18 ribu per liter.
"Alhamdulillah, setelah berkolaborasi dengan semua pihak, ada jalan by pass yang tadinya distributor ke agen, sekarang dari distributor bisa langsung ke pengecer. Dari distributor, harga Rp 13 ribu per liter, lalu pengecer menjual Rp 14 ribu per liter atau Rp 15.500 per kilo (sesuai dengan HET)," kata Dudung, Rabu lalu.
Selain pengawasan oleh aparat, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyampaikan bahwa pemerintah juga menyiapkan program Migor Curah Rakyat untuk menekan harga agar mencapai HET. Program ini diklaim akan menggunakan teknologi digital.
Menurut Lutfi, skema ini akan melibatkan produsen minyak sawit mentah, produsen minyak goreng, eksportir, pelaku usaha jasa logistik, hingga distributor dan pengecer dalam satu sistem informasi minyak goreng curah.
Melalui program ini, pendistribusian minyak goreng akan disalurkan ke titik jual yang telah ditentukan secara proporsional oleh Kementerian Perdagangan. Kemudian, penjualan kepada konsumen akan memanfaatkan aplikasi digital ataupun melalui distributor yg terdaftar dalam aplikasi Simirah. Pembelian di tingkat konsumen dilakukan dengan seleksi menggunakan nomor induk kependudukan.
“Ini yang kami sebut dengan closed loop. Jadi, kami bisa menentukan barangnya ada di mana,” tutur Lutfi.
Saat ini, Kementerian Perdagangan sedang melakukan verifikasi terhadap pelaku usaha jasa logistik eceran yang sudah mendaftar, seperti Warung Pangan ID Food, Gurih Indomarco, dan Bulog.
Adapun titik jual yang ditetapkan mengacu pada data profil pasar rakyat 2020 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik. Titik jual dipilih dengan mempertimbangkan kriteria mewakili seluruh provinsi secara proporsional, mewakili kabupaten dan kota secara proporsional, serta mempertimbangkan jumlah pedagangnya.
Operasi Pasar Jadi Solusi
Kepala Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Rizal Edy Halim, mendorong pemerintah segera menggelar operasi pasar untuk menyalurkan minyak goreng curah dengan harga murah ke pasar-pasar.
Harapannya, kebijakan tersebut bisa mengatasi keengganan pedagang berjualan minyak goreng curah. Terlebih, pemerintah juga sudah menyiapkan kebijakan wajib pasok dalam negeri atau DMO hingga 300 ribu ton minyak goreng setiap bulannya untuk dijual sesuai dengan DPO.
"Mudah-mudahan penanganan distribusi dan penyaluran bisa dilaksanakan dan masyarakat bisa mendapatkan minyak goreng dengan harga murah," ujar Rizal.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai wajar pedagang merasa tertekan. Sebab, pengawasan distribusi minyak goreng lebih banyak dilakukan di tingkat pedagang akhir, misalnya di pasar. Sementara itu, pengawasan di tingkat produsen, distributor pertama, hingga agen pengecer kurang transparan.
“Di sinilah mengapa model penegakan hukum harus proporsional di setiap rantai distribusi. Jangan hanya menekan pedagang paling bawah," kata Bhima.
Bhima juga mengkritisi rencana pemerintah mengandalkan aplikasi digital untuk memverifikasi penyaluran minyak goreng curah. Menurut dia, langkah itu malah akan membuat proses menjadi lebih rumit dan tidak menyelesaikan masalah.
Ketimbang menerapkan skema penyaluran berbasis aplikasi, ia menyarankan agar Perum Bulog, yang telah memiliki pengalaman dalam berbagai distribusi pangan, dilibatkan dari penyerapan hingga distribusi. "Selama rantai distribusi masih diserahkan kepada pasar, penyelesaian masalah minyak goreng curah akan lebih susah."
CAESAR AKBAR | RIANI SANUSI | EKA YUDHA | ANT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo