BEGITU gong tanggal 1 Juli 1988 "berbunyi", maka puluhan ribu orang termenung. Sementara itu, beberapa lainnya berbincang tentang tambang emas, yang pernah mereka gali dan nikmati. Tragis, tapi apa mau dikata. Terhitung tanggal itu, semua penambang liar diharuskan pemermtah meninggalkan lokasi. Masih belum jelas benar, berapa luas lahan yang ditinggalkan oleh sekitar 30 ribu menambang liar itu. Tapi yang pasti tidak sedikit. Berdasarkan statistik dari Departemen Perdagangan tahun 1987, total yang digali mereka mencapai 14 ton emas senilai 220 juta dolar AS. Sementara penambangan yang resmi, maksudnya seizin pemerintah, menghasilkan sekitar 3,2 ton saja. Angka ini masuk akal. Di Kalimantan Barat, jumlah penambang liar diduga mencapai dua ribu lebih. Belum yang tersebar di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Bengkulu, Jambi, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Riau, Jawa Barat. Dan sekarang, orang-orang itu mesti angkat kaki dari "tambang emas" mereka. Kalau sudah begini, siapa lagi yang merasa paling diuntungkan, jika bukan para pemodal yang memang sudah mengintip sektor itu. Apalagi pemerintah mengarahkannya ke sana. Seperti yang dikemukakan Ridwan Mahmud, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Pertambangan, "Pemerintah akan memberikan area yang ditinggalkan kepada siapa saja yang mampu mengusahakannya." Artinya, siapa saja yang memiliki modal dan izin akan bisa menggali, baik dengan cara kontrak karya (KK) -- sudah 103 -- maupun dengan sistem pemberian kuasa pertambangan (KP). Lantas, ke mana mereka yang digusur itu harus pergi? Jangan khawtir, pemerintah membuka pintu bagi yang mampu. Aturannya, asal kurang dari 25 hektar, izin bisa diperoleh dari pemda. Tapi kalau lebih, perizinannya harus dari Departemen Pertambangan dan Energi. Ridwan juga mengungkapkan, harus dibedakan antara pertambangan rakyat dan pertambangan liar. Penambangan rakyat adalah yang telah dilakukan secara turun-temurun dan diketahui oleh pemda. Lain dengan penambang liar -- termasuk transmigran -- yang menggali di luar wilayah yang ditetapkan. Di Singkawang (Kal-Bar) misalnya, mobilitas penambang liar cukup tinggi, akibatnya merusakkan lingkungan dan irigasi. Lantas apa kata mereka? Ketika diberi penyuluhan lapangan, seorang penambang tenang saja menjawab, "Salah Tuhan, Pak, mengapa taruh emas di sawah." Sebuah celetukan "tak berdosa". Untunglah, pemda cepat tanggap. "Kami tidak akan mengorbankan rakyat begitu saja, untuk kepentingan perusahaan besar," kata Jimmi Muhamad Ibrahim, Wakil Gubernur KalBar, yang menjadi ketua Tim Penertiban. Caranya, bagi mereka, pemerintah juga akan mengusahakan lokasi yang tidak kalah menarik. Misalnya, perusahaan yang melakukan kontrak karya diharuskan melakukan survei lapangan secepatnya. Sehingga, dengan segera mereka akan mengembalikan lahan yang kandungan emasnya tidak banyak. Ini sesuai dengan peraturan, yang menggariskan agar pemilik KK dan KP hanya menggarap wilayah yang paling ekonomis (25% dari wilayah operasi yang diperoleh dari pemerintah). Nah, menurut Jimmi daerah inilah kelak yang akan diberikan kepada rakyat, atau KUD -- melalui prosedur perizinan yang berlaku. Daya tarik emas, tak dapat disangkal memang kuat. Buktinya, berpuluh juta hektar tanah -- di Kal-Bar saja tiga juta hektar yang digaruk. Begitu pula orang-orang yang mengeriakannya. Konflik juga terjadi, seperti rebutan lahan antara pemegang KP PT Pelangi Harapan dan KUD Usaha Bersama -- di Kabupaten Sambas. Tapi yang paling terpukul tentulah pendulang kecil, seperti Frans, 32 tahun, guru SD asal Flores, Lasmi Yusuf, 23 tahun, guru SMP, atau Lukam, 49 tahun, pegawai kantor statistik. Ketiganya berdiam di Kecamatan Mandor, Kal-Bar, dan mendulang pasir emas yang tidak seberapa hasilnya. "Tapi lumayan, untuk menutupi kekurangan gaji," begitu kata Frans yang "tambangnya" terkena penertiban. B.K., Djunaini K.S., Riza S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini