Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Budaya cancel culture ada dan semakin berkembang seiring dengan meluasnya penggunaan sosial media. Budaya ini "membatalkan" atau memboikot seseorang dari platform publik akibat kesalahan yang pernah mereka perbuat. Pada umumnya, cancel culture berarti berhenti memberikan dukungan pada perbuatan maupun karir seseorang tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Publik figur dengan kedudukan penting di mata publik rentan akan skandal dan pemberitaan kontroversial. Ketika publik figur tersebut melakukan kesalahan atau mengucapkan sesuatu yang salah, budaya cancel culture bisa saja muncul di saat-saat seperti ini meskupun si publik figur telah meminta maaf.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari laman Vox, pola munculnya budaya ini hampir selalu sama. Seseorang melakukan kesalahan, publik menyadarinya, publik menyuarakan dan menyebarkan kesalahan orang tersebut, kemudian hal tersebut secara efektif dapat mempengaruhi karir mereka.
Bagi sebagian besar orang, budaya ini dianggap efektif untuk meminta pertanggungjawaban pihak yang bersalah. Tindakan kolektif ini dianggap sebagai alat keadilan sosial yang penting untuk memerangi pihak yang memiliki kekuatan dan posisi tawar yang tinggi.
Dilansir dari laman Time, cancel culture dan call out culture muncul pertama kali saat kasus rasisme yang dilakukan The Colbert Report terhadap masyarakat Asia terjadi di Maret 2014. Tagar #cancelCobert kemudian muncul akibat skandal ini. Budaya ini kemudian semakin dikenal setelah adanya pergerakan #MeToo yang diinisiasi Tarana Burke. Pergerakan ini merupakan seruan terhadap banyaknya kasus pelecehan seksual terutama terhadap perempuan.
Sebenarnya, sulit untuk mengakhiri karir seseorang yang memiliki kekuatan dan posisi penting meskipun telah melalui tindakan kolektif publik. Orang-orang di industri hiburan maupun tokoh masyarakat lainnya mungkin tetap mendapat kritik negatif dan permintaan pertanggungjawaban, meskipun begitu hanya sedikit dari mereka yang terdampak karirnya.
Tindakan mempermalukan seseorang karena kesalahannya memang dianggap dapat memperkecil kesempatan mereka untuk mengulang perbuatannya. Diskriminasi berupa seksisme dan rasisme dapat diperangi dengan adanya suara kolektif masyarakat. Meskipun demikian, cancel culture mirip dengan budaya perundungan secara kolektif.
Dilansir dari laman Vogue, budaya cancel culture dianggap mempolarisasi masyarakat hanya menjadi benar dan salah, sementara area abu-abu tidak diizinkan untuk ada. Budaya ini mendorong orang-orang untuk sulit memaafkan orang lain yang nantinya menciptakan lingkungan yang tidak mengizinkan seseorang untuk berubah dan belajar dari kesalahannya.
DINA OKTAFERIA