Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga bulan setelah dicopot dari posisinya sebagai Direktur Utama PT Tuban Petrochemicals Industries, Amir Sambodo mengaku berat badannya naik lima kilogram. Makanannya jadi semakin berlemak karena ia kini lebih banyak tinggal di London sebagai direktur independen non-eksekutif di Bumi Plc. ¡±Mungkin juga karena lebih tenang setelah tak lagi dikejar-kejar masalah TPPI (PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama),¡± katanya lewat telepon sambil terkekeh, Rabu pekan lalu.
Ditemui sehari kemudian, anggota staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian ini nyatanya tak benar-benar bisa tenang melihat perkembangan yang terjadi di Tuban Petro. Terhitung sejak Selasa, 26 Maret lalu, pemerintah menyatakan telah sepenuhnya menguasai TPPI milik Honggo Wendratno itu melalui PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) dan PT Pertamina.
Hari itu adalah batas akhir bagi Honggo sebagai penjamin pribadi untuk melunasi pembayaran multi-year bond (MYB) seri VII kepada PPA sebesar Rp 734 miliar. Ini adalah seri dari total utang yang di awal penerbitannya pada 2004 bernilai Rp 3,26 triliun. Setelah dicicil, kini tersisa Rp 2,83 triliun.
Utang itu muncul sebagai bagian dari restrukturisasi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terhadap kredit macet senilai Rp 4,2 triliun di Bank Pelita dan Bank Istimarat. Keduanya berada di bawah payung bisnis Grup Tirtamas Majutama, yang dimiliki bersama Honggo, Hashim Djojohadikusumo, dan Njoo Kok Kiong alias Al Njoo.
Dalam proses restrukturisasi utang, Hashim dan Njoo Kok Kiong hengkang, menyisakan Honggo. Berdirilah Grup Tuban Petro sebagai induk baru setelah aset-aset eks BPPN dilimpahkan ke PPA. Tapi praktis wakil pemerintah ini tak berdaya di Tuban Petro. Honggo masih mendominasi melalui manajemen lama, meskipun di atas kertas ia hanya menyisakan kepemilikan 30 persen saham melalui PT Silakencana Tirtalestari.
Situasi inilah yang secara perlahan berbalik sejak 27 Agustus tahun lalu. Pada hari itu MYB seri VII itu jatuh tempo, sementara duit di kantong Tuban Petro hanya tersisa Rp 66 miliar. Dari jumlah itu, perusahaan hanya mampu memberikan pembayaran Rp 61,14 miliar kepada PPA, bahkan setelah melampaui masa remedy 30 hari. Selama itu pula Honggo tak mau merogoh duit dari kantongnya dan gagal memperoleh pinjaman. "Kami tidak mau terima kalau cuma sebagian, harus semuanya," kata Direktur Utama PPA Boyke Eko Wibowo Mukijat, Rabu pekan lalu. Tawaran pembayaran lewat saham dan penjualan aset juga ditolak.
PPA sebagai wakil Menteri Keuangan kemudian menerbitkan default notice ke Tuban Petro dan penagihan ke Honggo. Dalam surat itu PPA memberi waktu lagi 180 hari, yang berakhir pada 26 Maret lalu. Batas ini pun lewat begitu saja, sehingga 70 persen saham Tuban Petro yang dijaminkan Honggo diambil alih pemerintah secara permanen. "Tak ada lagi kewajiban kami mengembalikannya ke pemilik lama," Boyke menegaskan.
Eksekusi berlanjut terhadap 30 persen saham Tuban Petro milik PT Silakencana Tirtalestari, yang ikut dijaminkan. Juga atas tagihan Tuban Petro kepada PT Tirtamas Majutama (zero coupon bond) dan aset tetap TPPI lapis ketiga. PPA menganggap, dengan efektifnya default notice, semua MYB yang tersisa Rp 2,83 triliun menjadi jatuh tempo seketika.
Boyke yakin langkah pemerintah kali ini akan benar-benar mengakhiri dominasi Honggo, yang selama ini dikenal licin menyiasati para kreditornya, termasuk PPA dan Pertamina. Keyakinannya diperkuat oleh tindakan lain di lapangan, dengan lebih dulu melancarkan penguasaan langsung atas manajemen Tuban Petro dan anak-anak perusahaannya.
Lewat Tuban Petro, PPA secara tidak langsung menguasai anak perusahaan Tirtamas, yakni TPPI (59,5 persen), PT Polytama Propindo (80 persen), dan PT Petro Oxo Nusantara (50 persen). Pabrik aromatik TPPI berada di Tuban, Jawa Timur. Sedangkan pabrik polypropylene Polytama dan produsen alkohol Petro Oxo masing-masing terletak di Balongan, Jawa Barat; dan Gresik, Jawa Timur.
Penguasaan dilakukan dengan merombak manajemen dan menggusur mereka yang dianggap mewakili kepentingan Honggo. Yang pertama dikocok ulang adalah TPPI, aset utama Tuban Petro, yang dikendalikan langsung oleh Honggo. Pada pertengahan Oktober tahun lalu, direksinya dicopoti, lalu diganti oleh wakil Pertamina dan PPA.
Meski hanya mengantongi 15 persen saham di TPPI, Pertamina masuk penuh ke perusahaan itu karena mereka merupakan kreditor terbesar. "Posisi utang ke Pertamina per Februari lalu sekitar US$ 686 juta," kata Ali Mundakir, Wakil Direktur Komunikasi Korporat Pertamina. Perombakan direksi tersebut diharapkan bisa mengembalikan operasional perusahaan, sehingga utang bisa kembali dibayar.
Sampai di situ, Honggo tak melawan. Yang agak mengganjal justru kreditor lain, yang juga mewakili pemerintah, yakni SKK Migas. Lembaga ini menganggap skema penyelesaian utang yang diajukan melalui proposal penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ke pengadilan terlalu bias kepentingan Pertamina. Karena itu, SKK Migas mengajukan permohonan kasasi atas putusan tersebut.
Langkah PPA tak terhenti. Setelah sukses di TPPI, gerilya berlanjut di Polytama dan Petro Oxo, juga di induknya, yakni PT Tuban Petro, pada Januari dan Februari lalu. Dalam gelombang serbuan itu, Amir Sambodo ikut terpental. "Saya bukan pembela Honggo. Posisi saya di sana sebagai wakil pemerintah, sejak jadi komisaris utama pada 2004, lalu ketika diangkat PPA sebagai direktur utama pada 2007," Amir membantah anggapan miring yang kerap diarahkan kepadanya.
Dia mengatakan hanya ingin mendudukkan urusan utang-piutang ini sesuai dengan perjanjian awal. Dan, dalam perjanjian itu, penyelesaian utang lewat asset settlement atau penjualan dimungkinkan. "Tapi saya lihat PPA memang niatnya mau menguasai. Ya, terserah mereka," ujar Amir. "Tapi, kalau nanti ternyata valuasi atas perusahaan itu melebihi total utang, apakah PPA mau membayarkan sisanya ke Honggo?"
Sukriyanto, Direktur Utama Tuban Petro yang baru, mengatakan mereka memang sedang menunggu hasil kerja tim valuasi. Kalau ternyata nilai Tuban Petro lebih tinggi daripada utang Honggo, pilihan bagi pemerintah ada dua: bisa menghitung ulang komposisi penguasaan saham bersama pemilik lama atau menjualnya. "Sisanya dikembalikan ke Honggo," katanya. "Yang penting, selama proses itu, kami harus memastikan Honggo tak punya hak apa pun di perusahaan."
Sayangnya, Honggo tak menanggapi permintaan wawancara Tempo. Ketika nomor telepon seluler yang biasa dipakainya dihubungi, seseorang mengaku sebagai asistennya bernama Rudi mengatakan Honggo sedang di luar negeri dan belum bisa memberi tanggapan. "Nanti saya sampaikan. Tapi belum tahu kapan pulang," ujarnya.
Amir Sambodo justru yakin bahwa pintu tampaknya hampir sepenuhnya tertutup bagi Honggo untuk menguasai kembali Tuban Petro. "Dia sudah habis," katanya. "Terakhir saya kontak sehabis dicopot, Honggo bilang tak akan melawan. Dia pasrah saja."
Y. Tomi Aryanto
Tamat Honggo di Tuban Petro
Bermula dari restrukturisasi Badan Penyehatan Perbankan Nasional terhadap kredit macet senilai Rp 4,2 triliun di Bank Pelita dan Bank Istimarat, Honggo Wendratno kini kehilangan PT Tuban Petro Industries yang ia jaminkan. Sejak tahun lalu, satu demi satu hak Honggo dilucuti. Berikut ini riwayatnya.
27 Agustus
27 September
28 September
11 Oktober
11 Desember
Januari-Februari
26 Maret
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo