MELALUI sebuah upacara khidmat di studio Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), yang terletak di daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat Kamis pekan silam, Presiden Soeharto meresmikan mulai mengudaranya siaran produksi lokal pada stasiun televisi swasta pertama di Indonesia itu. Sorenya, acara dilanjutkan dengan peresmian gedung studio dan perkantoran RCTI oleh Menteri Penerangan Harmoko. Upacara peresmian yang dilakukan di hari ulang tahun TVRI itu seperti hendak menyatakan RCTI "saudara" TVRI. Siaran RCTI (minus siaran iklan) memang lebih merupakan pelengkap bagi pemirsa TVRI domisili Jakarta yang butuh acara hiburan. Karena pada jam-jam penyiaran berita (17.00, 19.00, 21.00, dan 23.00) RCTI mengudarakan siaran yang dipancarkan TVRI. Hasil angket TEMPO memperkuat kenyataan itu. Dari 55 responden (9,5% dari total responden) yang berlangganan RCTI, 90% menyatakan setuju RCTI sebagai media penghibur. Hanya 5% dari responden pelanggan RCTI yang menyebutkan stasiun televisi partikelir itu memberikan informasi. Ketika kepada seluruh responden ditanyakan apakah perlu ada stasiun televisi swasta lain, sebagian besar (41% dari 582 responden yang mengembalikan angket) menyatakan setuju. Mereka yang menghendaki perluasan jaringan televisi swasta itu berasal dari kota-kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara. Hanya 7% responden yang menolak gagasan tersebut. Sebanyak 16% lagi, terutama mereka yang tinggal di Jakarta, Bogor, dan Bekasi, menjawab "terserah pemerintah." Menteri Harmoko, dalam wawancara dengan TEMPO menjelang kelahiran RCTI, dua tahun silam, memang menyebutkan adanya kemungkinan pendirian stasiun televisi swasta di kota-kota lain. Tentu saja dengan mempertimbangkan sejumlah persyaratan, seperti kesiapan investor menyediakan perangkat teknologi yang dibutuhkan, dan kondisi masyarakat di daerah bersangkutan. Pekan lalu, Menteri Harmoko, dalam pidato peresmian penggunaan studio dan kantor RCTI, menegaskan lagi bahwa Pemerintah tengah menghimpun data bagi pengembangan siaran televisi swasta di Indonesia. Itu berarti mendirikan stasiun televisi swasta tidak sekadar melakukan kerja sama dengan Yayasan TVRI, seperti dilakukan RCTI. Kekuatan modal investor juga diperhatikan agar usaha ini tidak putus di tengah jalan karena menyelenggarakan penyiaran televisi adalah investasi jangka panjang. RCTI, yang telah menyedot investasi sekitar US$ 90 juta (sekitar Rp 150 milyar), sampai saat ini kabarnya masih belum untung. Bagaimana tidak. Biaya untuk sebuah produksi saja per jam berkisar antara Rp 17 juta dan Rp 20 juta. Sementara itu, pemasukan dari iklan belum pula memadai baru sekitar 40% dari biaya produksi. Untuk menutupi kekurangan itu, Direktur Utama RCTI, Peter Gontha, menargetkan 140.000 pelanggan tahun ini. Caranya? "Memperbaiki mutu acara, mendengarkan kritik, dan melakukan koreksi," katanya. Paket acara yang dirancang RCTI untuk menarik pemirsa baru, antara lain, menyelenggarakan ulasan pers -- dengan menundan sejumlah wartawan untuk bicara. Kemudian memunculkan acara potret Ibu Kota: menyangkut kehidupan anak jalanan, masalah perparkiran, dan lalu lintas. Lalu, ulasan ekonomi, yang dikaitkan dengan kegiatan bursa saham. Karena itu, Peter Gontha akan mengadakan kerja sama dengan pihak lain. RCTI tak perlu memproduksi sendiri paket-paket tersebut, cukup memesan pada kontraktornya sesuai dengan outline dan skenario yang dikehendaki . Tak dipungkiri RCTI masih banyak kelemahannya. Penyebabnya, antara lain, kesulitan mencari tenaga kerja terampil. Dari 180 karyawan RCTI hanya tiga orang yang berpengalaman di bidangnya. "Mestinya mereka menyesuaikan diri dengan kemampuan, tidak memaksakan mulai siarandari jam 12.00," komentar seorang pengamat acara televisi, Arswendo Atmowiloto. Ia menambahkan, kalau nanti tenaga terampil makin banyak, jumlah siaran yang selama ini 12-16 jam per hari boleh saja. Makin banyak jam siaran, kesempatan bertambah lebar bagi pemasang iklan mempromosikan produk mereka. Apalagi pelanggan RCTI juga cukup banyak: menurut pengakuan Peter Gontha 93.000 orang, dan setiap hari bertambah sekitar 150 orang. Kendati tantangan yang dihadapi televisi swasta berat dan bermacam-macam, itu tak mengurangi tekad Pengusaha Sudwikatmono mendirikan stasiun sejenis. "Kalau diizinkan, saya mau juga membukanya di Surabaya," ujar Sudwikatmono. Kemungkinan itu tidak tertutup, memang.Laporan Suhardjo Hs, Tri Budiono Soekarno, dan Rustam FM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini