Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menguji Ketangguhan Tangguh

Permintaan insentif bagi proyek Tangguh sudah masuk ke meja Menteri Energi. Hati-hati bagian pemerintah.

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAKSASA migas dunia asal Inggris, BP Plc., boleh jadi sedang bungah. Perlahan tapi pasti, proyek pengembangan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) Tangguh di Teluk Berau-Bintuni, Papua, miliknya, mendapat kepastian pasar. Kamis pekan lalu, misalnya, Tangguh mendapat pasar dari Posco 0,55 juta ton per tahun selama 20 tahun, mulai 2005. Untuk sementara, pasar ini akan dipasok LNG Badak di Bontang, Kalimantan Timur, karena Tangguh baru berproduksi pada 2007.

Produsen baja asal Korea Selatan itu akan membayar US$ 2 miliar (kurs sekarang: Rp 18 triliun). September tahun lalu, Tangguh mendapat pasar pertamanya di Fujian, Cina, 2,6 juta ton per tahun. Nilai jual-beli itu mencapai US$ 8,5 miliar (Rp 76 triliun) selama 25 tahun, sejak 2007. Jadi, total pasar Tangguh mencapai 3,15 juta ton per tahun.

Jumlah itu masih kurang. Menurut BP Indonesia selaku kontraktor bagi hasilnya, proyek Tangguh baru menguntungkan jika mendapat pasar 7 juta ton atau setara dengan dua kilang LNG. BP Indonesia sebenarnya tidak terlalu merisaukan pasar Tangguh. Sebab, perusahaan listrik Korea, K Power, sepakat membeli dari Tangguh 0,6 juta ton LNG per tahun. Sempra Energy, perusahaan distribusi gas di Amerika Serikat, juga akan membeli gas Tangguh 3,7 juta ton per tahun.

Menurut Senior Vice President LNG Tangguh, Lukman Mahfoedz, kontrak jual-beli dengan K Power akan diteken akhir bulan ini, dengan Sempra diperkirakan Agustus. Dengan begitu, pasar Tangguh justru melebihi skala ekonominya: 7,45 juta ton per tahun. Soal pasokan, cadangan Tangguh lumayan besar. Yang terbukti saja mencapai 14,4 triliun kaki kubik. Yang masih perlu pembuktian: 24 triliun kaki kubik.

Jadi, proyek Tangguh aman belaka? Sesungguhnya tidak. Proyek yang diresmikan Presiden Megawati dua tahun lalu itu belum setangguh namanya. Rupanya, kegiatan rancang bangunnya, atau engineering, procurement, and construction (EPC), hingga kini tak jelas juntrungannya. BP Indonesia belum melakukan kegiatan EPC, lantaran pemerintah belum menyetujui rencana pengembangan atau plan of development (POD) proyek ini.

Saat ini rencana itu masih "mendekam" di tingkat Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas). Padahal pembangunan Tangguh paling sedikit memakan waktu 38 bulan. Kalau dimulai Agustus, misalnya, proyek baru selesai Agustus 2007. Produksi komersial perdana melalui kilang pertama yang direncanakan selesai pada 2007 untuk memasok LNG ke Fujian, Cina, tak disanggupi.

Akan halnya pembangunan Tangguh yang mundur dari rencana, Lukman Mahfoedz berpendapat istilah yang tepat bukanlah mundur, melainkan semacam penyesuaian jadwal, yang dibuat lebih rinci. Jadwal proyek terbaru sudah menyatukan semua kegiatan, baik komersial, EPC, maupun fisik. Proyek dijadwalkan selesai pada awal 2008. "Kewajiban memasok ke Fujian mulai 2007 tidak ada masalah, karena sudah disesuaikan," katanya.

Sumber TEMPO di lingkungan migas membisikkan, dalam kontrak dengan Fujian ada klausul: kalau Tangguh belum siap, pasokan LNG ke Fujian akan ditalangi oleh LNG Badak di Bontang. Menurut sumber itu, BP Migas lama membahas rencana pengembangan Tangguh karena BP meminta insentif tertentu kepada pemerintah. Insentif itu berupa pembayaran suku bunga pinjaman kontraktor lewat instrumen cost recovery yang ditagihkan kepada pemerintah, biasanya disebut interest cost recovery (ICR).

Insentif itu, kata dia, diberikan pemerintah dengan cara turut membayar suku bunga pinjaman kontraktor dengan dasar tingkat suku bunga bank-bank di London (LIBOR). Ia mencontohkan, LIBOR ditambah sekian persen. "Sekian persen itulah yang dibayari pemerintah lewat cost recovery," katanya.

Deputi Perencanaan BP Migas, Zanial Achmad, mengakui berlarut-larutnya pembahasan rencana pengembangan Tangguh di instansinya. Pangkalnya, BP Indonesia banyak meminta kepada pemerintah Indonesia dengan alasan jaminan investasinya. Salah satunya, permintaan ICR itu tadi. Apalagi Tangguh merupakan proyek LNG pertama di Indonesia yang dilakukan bukan oleh Pertamina.

Investasi proyek pengembangan LNG ketiga di Indonesia setelah Arun, Aceh, dan Bontang, Kalimantan Timur, ini memang besar. Proyek yang memakan lahan 3.500 hektare dan membangun dua kilang selama 25 tahun itu menelan investasi US$ 5 miliar, US$ 3 miliar di antaranya berasal dari pinjaman bank. Saat ini dua bank, yakni Chinese Bank dan sebuah bank asal Jepang, berminat menjadi kreditor. Sisanya menjadi tanggungan kontraktor. BP Indonesia mempunyai kewajiban paling besar karena kepemilikannya di Tangguh tertinggi: 37,16 persen. Sisanya investor dari Cina dan Jepang.

Menurut Zanial, ICR memang biasanya diberikan berdasarkan tingkat suku bunga LIBOR plus sekian persen. Plusnya itu bisa nol persen, satu persen, dan seterusnya. Tambahan sekian persen itulah yang ditanggung pemerintah dengan instrumen cost recovery. Namun, dia tidak mau menyebut konsep ICR yang diminta BP Indonesia. Yang pasti, katanya, kesediaan pemerintah menanggung biaya bunga kontraktor, bukan menambah keuntungan kontraktor.

Bantuan pemerintah itu diambil supaya proyek bisa berjalan. Pertimbangan lainnya, jika tingkat pengembalian investasi atau interest rate of return (IRR) rendah?di proyek gas biasanya IRR kontraktor 20 persen?proyeknya terganggu atau tidak. "Kalau terganggu, kami bantu," katanya. Pemerintah juga mempertimbangkan, proyek Tangguh bisa meningkatkan kegiatan ekonomi di Bintuni, selain menyerap tenaga kerja.

Lukman Mahfoedz menjelaskan, pembahasan rencana pengembangan Tangguh, termasuk permintaan ICR, sudah mencapai 75 persen. Ia berharap pembahasannya dengan pemerintah dapat selesai tepat waktu. "Pekan ini BP Migas sudah menyampaikan rencana pengembangan Tangguh ke Menteri Energi untuk diminta persetujuannya," Zanial Achmad menimpali.

Kini keputusan berada di tangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro. Tampaknya permintaan BP Indonesia itu akan mulus-mulus saja. Menurut Dirjen Migas, Iin Arifin Takhyan, persetujuan ICR sebenarnya menjadi wewenang BP Migas, bukan departemen. Jadi, kalau BP Migas merekomendasikan pemberian insentif itu, pemerintah otomatis menyetujuinya.

Meski begitu, Iin percaya pemberian ICR berdasarkan pertimbangan yang tidak merugikan pendapatan negara. "Pemerintah melihat kelayakan bagian pemerintah," katanya. "Kalau reasonable, kami setuju saja karena pemerintah toh tidak keluar uang. Yang penting, pendapatan kontraktor jangan kegedean." Persoalannya, wajarkah permintaan insentif itu.

Menurut pengamat minyak dan gas Ramses Hutapea, pemberian insentif itu tidak wajar. Sebab, dengan membangun dua kilang, bisa dikatakan proyek Tangguh belum ekonomis. Kesulitan mencapai skala ekonomi ini juga disebabkan BP telanjur menjual murah LNG ke Fujian. Banyak yang mengatakan, harga jual ke Fujian?harga freight on board (FOB) US$ 2,4 per mmbtu?merupakan harga LNG termurah sepanjang sejarah Indonesia sebagai eksportir LNG yang terbesar di dunia. Harga jual itu pun akhirnya dijadikan dasar oleh para pembeli LNG Indonesia.

Alhasil, pendapatan kontraktor pun tidak masuk skala ekonominya. Namun, bisa juga lantaran komponen biaya kontraktor terlalu besar. "BP Migas harus meneliti komponen biaya kontraktor," kata Ramses. Pemerintah memang perlu hati-hati atas komponen biaya yang diajukan kontraktor bagi hasilnya. Sebab, komponen biaya itu nanti harus diganti ke kontraktor lewat cost recovery.

Menurut catatan BP Migas, selama lima tahun terakhir, realisasi cost recovery meningkat dari US$ 3,42 miliar menjadi US$ 5,07 miliar. Jadi, kata Ramses, jika kontraktor masih ngotot minta insentif, proyek Tangguh tidak ekonomis dengan dua kilang. Kalau begitu, jangan pendapatan pemerintah yang diganggu dengan ikut menanggung biaya bunga pinjaman kontraktor. BP harus membangun satu kilang lagi, dan lebih giat mencari pasar baru.

M. Syakur Usman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus