Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BULIR air bening itu hanya tinggal menunggu jatuh saja dari kelopak mata Aburizal Bakrie. "Di tangan sayalah saham keluarga hampir habis," tuturnya dengan mata berlinang ketika berkunjung ke TEMPO, dua tahun silam. "Saya tidak tahu harus bagaimana menjelaskan hal ini kepada Ibu."
Ical?begitu anak sulung dari empat bersaudara ini akrab dipanggil?adalah ahli waris imperium usaha ayahnya, almarhum Achmad Bakrie. Ketika krisis menerpa negeri ini, PT Bakrie & Brothers pun kelimpungan dililit utang. Untuk membereskan utang itu, Ical harus merelakan saham keluarga di Bakrie & Brothers melorot tinggal 2,5 persen.
Namun, dewi keberuntungan sepertinya masih belum menjauh dari Ical. Ia contoh dari segelintir pengutang kakap yang lolos dari belitan krisis, tanpa diuber tuduhan pidana atau sampai harus "rawat inap" di luar negeri. Malah, dalam waktu relatif singkat, Ical menggeliat kembali. Melalui PT Bumi Resources, ia membeli PT Arutmin Indonesia senilai US$ 103,5 juta.
Setahun kemudian, giliran PT Kaltim Prima Coal (KPC) seharga US$ 500 juta diambilnya dari tangan Rio Tinto dan BP. Lalu sekonyong-konyong kabar itu datang: Ical mundur dari posisi presiden komisaris di Bakrie & Brothers, digantikan Irwan Syarkawi, yang sebelumnya menjabat komisaris independen.
Pengumuman itu meluncur seusai rapat umum pemegang saham tahunan di Hotel Intercontinental, Jakarta, Kamis dua pekan lalu. Ada apa gerangan? "Enggak ada apa-apa. Tugas saya adalah menyelamatkan perusahaan. Sekarang kondisinya jauh membaik, sudah saatnya saya diganti yang lebih muda," kata Ical kepada TEMPO, pekan lalu (lihat, Sudah Saatnya Saya Berhenti).
Menurut Direktur Utama Bakrie & Brothers, Bobby Gafur Umar, Ical sudah membawa perusahaan ini melewati masa krisis. "Bakrie & Brothers merupakan peninggalan konglomerasi masa lalu, tapi tahun ini sudah mempunyai fondasi baru," ujarnya.
Perusahaan akan terfokus pada usaha peningkatan konsumen di bidang telekomunikasi. Selain itu, Bakrie & Brothers akan mencari investor strategis untuk pembiayaan proyek pipa yang selama ini memasok proyek-proyek Pertamina ataupun industri perminyakan di berbagai negara. "Ke depan, kami melihat nilai perusahaan ini akan naik lima kali lipat."
Bandingkan dengan tiga-empat tahun lalu, ketika utang masih mencapai US$ 1,086 miliar. Dalam hitungan Ical, tiap hari ia harus menyediakan satu juta dolar hanya untuk mencicil. "Dari mana saya bisa dapat uang segitu?" Ical mengenang. Tak ada pilihan lain, utang harus direstrukturisasi, meski untuk itu ia harus rela mengamputasi kepemilikan saham keluarga pada perusahaan induk berikut anak-anak perusahaannya.
Melalui negosiasi alot, berkas kesepakatan restrukturisasi dengan pola pengalihan utang menjadi penyertaan dan aset ditandatangani pada 28 November 2001. Maka, saham perusahaan induk serta empat aset Bakrie & Brothers pun beralih ke tangan konsorsium kreditor yang beranggotakan 220 bank dan lembaga keuangan.
Perusahaan-perusahaan itu adalah PT Bakrie Kasei Corporation (sebelumnya Bakrie & Brothers menguasai 25,5 persen), PT Arutmin Indonesia (20 persen), PT Bakrie Sumatera Plantation (52,5 persen), dan PT Bakrie Electronics (70 persen). Pada perusahaan induk, komposisi kepemilikan saham terdiri dari keluarga Bakrie (19,62 persen), publik (28,95 persen), dan Bakrie Investindo (51,43 persen).
Ketika ditimpa utang segudang, Ical bahkan mengaku lebih melarat dari gelandangan pinggir jalan. Seperti jamaknya orang yang sedang ketiban apes, ia pun merasa banyak kawannya perlahan menjauh. "Begitulah kenyataan hidup, setiap orang bisa jatuh kapan saja," katanya.
Hanya dengan selalu berusaha tampil percaya diri dan wajah dicerah-cerahkan pula ia masih sanggup memimpin Kamar Dagang dan Industri Indonesia untuk kedua kalinya selama periode 1999-2004. "Setiap kali saya harus menekan perasaan."
Tapi, benarkah Ical benar-benar jatuh bangkrut? Beberapa kreditor asing kabarnya sempat curiga, Ical masih memiliki simpanan di bank-bank luar negeri. Kecepatan Ical pulih pun tak hanya mencengangkan, tapi justru dianggap semakin membuktikan bahwa duitnya memang masih melimpah. "Memang ada kreditor yang sempat mengumumkan mereka tak mempercayai saya," Ical membenarkan cerita itu.
Pengusaha yang mengakui turut dibesarkan mantan Menteri Pertambangan dan Energi, Ginandjar Kartasasmita, ini lantas mendatangi sang kreditor, Bank Ekspor Impor Amerika. "Saya persilakan mereka mengaudit Bakrie maupun saya pribadi, dengan syarat mereka harus mengumumkan hasilnya." Langkah ini rupanya manjur, mereka berbalik sikap.
Kemunduran Ical agaknya memang tak akan benar-benar total. Meski namanya tak akan terpampang lagi di struktur Bakrie & Brothers, toh ia masih akan cawe-cawe sebagai dewan penasihat. Jika alasan bisnis tak cukup kuat, mungkin benar apa yang dikatakan Tanri Abeng, mantan Chief Executive Officer Bakrie Group. Mundurnya Ical hanyalah satu langkah ke belakang untuk menyiapkan lompatan yang lebih besar. "Saya mengenal dia cukup baik," kata Tanri.
Lompatan itu ada di dunia politik, yang memang sudah dirintis Ical ketika mengikuti konvensi Partai Golkar. "Sekaranglah saatnya fokus, atau Ical akan kehilangan kesempatan untuk pemilihan umum lima tahun mendatang," Tanri menambahkan.
Y. Tomi Aryanto, Yandi M. Rofiandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo