NAWAWI al-Bantani penting. Otaknya memang cemerlang. Ia hanya lemah memulai diskusi jika tak dipancing. "Istimewanya ulama ini terlebih di penanya, ketimbang di lidahnya," ujar Prof. : Dr. Snouck Hurgronje. Snouck, penasihat politik dan keagamaan pada pemerintah Hindia Belanda, di Aceh memakai samaran nama Abdul al-Gafar. Dalam usaha mencari "resep" menaklukkan Aceh, enam bulan (1884-85) ia menyelidik ke Mekah, dan sempat mengenal Nawawi. "Badannya bongkok. Jika ia berjalan, seolah semesta dunia itu satu kitab besar yang asyik dia baca," katanya. Di serambi rumahnya di Kampung Syi'ib Ali, Mekah, l~awawi memberi kuliah mulai pukul 7.30 sam~pai 12.00. Murid-muridn~ya yang kemudian ~terkenal di Indonesia, antara lain, K.H. Ha~syim Asyari (pendiri Pesantren Tebu Ir~eng di Jombang), K.H. Khalil dari Bangkalan Madura, K.H. Asma~wi, Banten, dan K.H Asnawi dari Kudus. Na~wawi sep~erti enggan mengajar di Masjidil Haram. ~Hanya, karena pakaiannya jelek, dan mengaku kepribadiannya kurang mulia dibanding ~profesor asli Arab. "Dia terlalu merendah~ begitu kesan Snouck. Menuru~t ~orientalis, bahasa Arab Nawa~wi, nge~jawi. Pengetahuan~ da~sar tentang Islam ditimba Nawawi ~dari ~ayahnya~ sendiri. Ketika 15 tahun ia nai~k haji. Dan selama di Mekah, ia belajar di Maslidil Haram. Di antara gurun~ya adalah Syeikh ~Sa~yyid Ahmad Dimyathi, Syeikh Sayyid Nakhrawi. Di Madinah ia belajar pada Syeikh Khotib Khanbali. Sebentar pulang ke Banten. Karena penjajahan mengurangi geraknya, Nawawi kembali ke Mekah. "Apalagi waktu itu suasan~a kehidupan intelektual di sana sudah sangat memikatnya," tambah K.H. Mar'ruf Amin Ketua Yayasan Syeikh Nawawi, di Tanara. Istrinya pandai berdagan~g. Walau karena itu duit ada, Nawawi lebih suka sederhana Di luar mengajar dia menulis, dan itulah bakatnya yang mencolok. Bila malam ia mengarang di bawah kerlip lampu mesraya yang mungil, tapi la~in dipakai jika keluar rumah. Sekitar 115 judul buku ditulisnya mengupas masalah fikih, tafsir, hadis, tasawuf, tauhid, nahwu dan s~yaraf. Kitab-kitabnya yan~g dicetak di Kairo dan Beirut itu selain beredar di Mesir, Syria, Saudi, Indonesia, juga ~merebak di Malaysia Muangthai, dan Filipina Selatan. Nawawi terbilang "penulis kilat". Dalam tempo dua minggu ia mampu menyiapkan Nurudz Dzalam, ~cahaya Kegelapan. Monograf itu 40 halaman. Adaptasinya juga, berwarna. Misalnya, Safinatun Na~jah (Biduk Penyelamat) karangan Abdullah bin Sumayr. Tulisan "kering" itu, setelah diolah Nawawi, jadi bertenaga dengan bahasa mengalir. Sejumlah kitab tipis karyanya juga terkenal. Misalnya, Nashaih a[~lbad (Nasihat bagi Hamba), atau 'Uqud al-Lujayn (Pengikat Kekang) berisi pendidikan seks (tapi tak mirip Kamasutra) bagi santri. Kendati acuh politik, Nawawi benci bukan main pada Belanda. Ia tak menyenangi ayahnya, Umar bin Arabi, dan saudaranya, Haji Ahmad, menjadi pegawai pemerintah Belanda. Ia memilih menetap di Mekah bersama istrinya, Tamim (adiknya), dan Marzuki (keponakannya). Menurut Snouck, Nawawi paling berbahaya, karena menanam pengaruhnya di kalangan jemaah haji Indonesia menentang kolonial Belanda. Syeikh Nawawi meninggal di Mekah dalam usia 8~ tahun. Ia baru saja menyusun uraian mengenai Minhaj at-Thalibin ~Jalan bagi Perintis) karangan Imam Yahya bin Syarif bin Mura bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jama'ah bin Hujaman Nawawi. Ini Nawawi dari Damsyik (ibu kota Syria), hidup di abad ke-13, yang karyanya dikagumi Nawawi al-Bantani. Jena~zah Nawawi dari Banten dikebumikan di Makla. Ini kompleks kuburan tertua seumur Kota Mekah, dan Khadijah (istri pertama Nabi) juga dimakamkan di sini. Ayah empat anak yang lahir pada 1230 Hijri atau 1813 Masehi ini menyebut dirinya, "Saya debu yang lekat pada orang yang mencari ilmu." Z.M.P., A.T., R.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini