Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kurikulum baru untuk apa

Menteri P dan K, Nugroho Notosusanto, akan mengubah kurikulum SD (kurikulum '75), karena dianggap ketinggalan zaman dan terlalu berat. (pdk)

16 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA minggu setelah dilantik menjadi menteri P & K, Nugroho Notosusanto segera mengemukakan niatnya untuk mengubah kurikulum SD. Kurikulum yang berlaku sekarang, katanya, terlalu berat. Murid tak diberi kesempatan untuk mengolah lebih lanjut. Bahkan beberapa mata pelajaran yang dirasakan perlu justru tidak diberikan di sekolah. Namun kapan dan bagaimana Kurikulurn 1975 yang menurut Nugroho sudah ketinggalan zaman itu mau diubah, menteri P&K itu belum tahu.persis. "Tapi pasti ada perubahan, kini sedang diolah BP3K," katanya, Sabtu pekan lalu kepada Bambang Bujono dari TEMPO. Ramai-ramai soal perubahan kurikulum itu muncul ketika acara pengajuan disertasi Anwarin, staf ahli menteri P&K, 2 April yang lalu di IKIP Jakarta. Bekas guru SD (1947-1955) yang meraih doktor dengan disertasi tentang perubahan kurikulum SD itu memang melihat Kurikulum 1975 yang berlaku sejak 1976 itu sudah baik. "Masalahnya ialah pelaksanaannya," kata ayah seorang putri yang berumur 51 itu. Anwar Jasin yang ikut terlibat ketika menyusun Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1968 yang berlaku sebelumnya itu mengakui, ketentuan satu jam pelajaran hanya 30 menit itu tidak cukup. Tapi ia tak menunjuk banyaknya materi pelajaran yang harus diberikan dan soal inisiatif guru yang kurang, sebagai penyebabnya. Anwar menunjuk pada kenyataan jumlah murid yang semakin besar dalam satu kelas yang menjadi soalnya. Kesimpulan AnwarJasin tentang Kurikulum 1975 yang berlaku sejak 1976 itu teruji di lapangan. Misalnya di SD Ibu Jenab, satu dari tiga SD yang dijadikan proyek uji coba oleh BP3K (Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan) Departemen P&K. Sejak 1980, di SD yang terletak di Cianjur, Jawa Barat ini proses belajar mengajar benar-benar diberikan sesuai dengan yang dimaui Kurikulum 1975. Misalnya, alat-alat peraga diadakan. Guru-guru benar-benar disiapkan untuk bisa mengajar dengan slstem PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional) - sistem yang menghendaki siswalah yang aktif guru tinggal membimbing. Maka memang terbukti jam pelajaran yang hanya 30 menit itu kurang. Emas Bangun, kepala sebuah SD di Medan misalnya, merasakan benar kekurangan waktu itu. Apalagi SD yang dipimpinnya tidak cukup mempunyai alat peraga, hingga untuk menjelaskan soal matematika misalnya dibutuhkan waktu lebih banyak. Akibatnya, belum lagi semua murid paham satu bahan pelajaran, waktunya sudah harus dilanjutkan dengan mata pelajaran lain. Keluhan lain, bahwa buku pedoman untuk guru belum memadai, misalnya datang dari seorang kepala SD di Wonokromo, Jawa Timur yang tidak bersedia disebutkan namanya. "Pedoman untuk pelajaran IPS hanya sirigkat-singkat," tutur pak kepala lulusan IKIP ini. "Guru memang diwajibkan mengembangkan itu." Soalnya, tak semua guru mampu mengembangkan yang tercantum dalam buku pedoman. Ini pula yang dilihat oleh Suraji, 44 uhun, kepala SD Fransiskus, Jakarta. Para guru kurang persiapan untuk menerapkan Kurikulum 1975. "Memang ada penataran guru dari Departemen P & K," tutur Suraji yang sudah sejak 1961 menjadi guru SD. "Tapi penataran kurang terpadu, simpang-siur, kadangkala pengetahuan penatar malahan kurang dibanding guru yang ditatar." Jadi bagaimana soal jam pelajaran yang hanya 30 menit dan soal guru dipecahkan di SD Ibu Jenab? "Itu memang paling susah," tutur Saripudin kepala SD tersebut. "Lanus kami menggunakan skala prioritas. Ada materi pelajaran yang perlu diperdalam, ada yang kami berikan sebagai informasi saja." Semenura itu Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan BP3K, Prof. Dr. Conny Semiawan, memang sudah memonitor hasil uji coba di SD Ibu Jenab itu dan sejumlah sampel lagi, termasuk sistem pengajaran di Proyek Perintis Sekolah Pembangunan yang ada di delapan IKIP. Tapi bagaimana sih kurikulum baru itu, "tunggu, nanti saja," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus