Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inspeksi itu dilakukan Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak, Kamis pekan lalu. Dia menengok calon rute jalan atau trase Jembatan Selat Sunda. Trase pertama yang dihampiri adalah pilihan konsorsium PT Graha Banten Lampung Sejahtera, pelaksana studi kelayakan proyek jembatan sepanjang hampir 29 kilometer itu. Lokasinya di belakang pabrik kimia Asahimas di Anyer, Banten.
Hermanto lalu membandingkan dengan trase kedua yang dipilih oleh Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum. Jarak trase ini sekitar 3 kilometer dari pabrik. Bina Marga menentukan satu bentang utama dengan panjang 2,6 kilometer, sedangkan konsorsium menggunakan dua bentang utama yang masing-masing panjangnya 2,2 kilometer.
Sebagai pembanding, bentang jalan utama terpanjang di kolong langit saat ini hanya 1,991 kilometer, yaitu Jembatan Akashi Kaikyo di Jepang. Tak mengherankan bila Hermanto mewanti-wanti, "Ini butuh ketelitian dan teknologi baru. Apalagi di tengahnya akan dibangun juga rel kereta api."
Ketelitian tak hanya diperlukan dalam teknologi membangun jembatan senilai Rp 150 triliun itu. Pembiayaannya pun harus dihitung cermat. Dalam soal fulus inilah Menteri Keuangan Agus Martowardojo melotot melihat biaya proyek usulan swasta. "Proyek strategis di dunia yang datang dari prakarsa swasta cenderung bermasalah," katanya kepada Tempo, Mei lalu. Agus berpendapat, agar pengerjaan proyek berjalan mulus, studi kelayakan harus dikerjakan oleh pemerintah, bukan konsorsium.
Agus tahu bakal "berkeringat" untuk mengegolkan keinginannya. Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda telah menetapkan PT Graha sebagai pelaksana studi. Sebesar 95 persen saham konsorsium ini dikuasai PT Bangungraha Sejahtera Mulia, grup usaha Artha Graha milik Tomy Winata. Sisanya dimiliki badan usaha milik daerah PT Lampung Jasa Utama dan PT Banten Global Development, masing-masing 2,5 persen.
Seorang petinggi di Kementerian Keuangan khawatir terhadap pelaksanaan Perpres 86, terutama Pasal 25 dan 30, yang menyatakan pemerintah menjamin biaya studi dari konsorsium jika proyek batal. "(Perpres) yang baru sangat rawan," ujarnya. Perpres 86 juga tak sejalan dengan Perpres 78 Tahun 2010 dan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2005, yang menjamin keuangan negara atas proyek usulan swasta.
Hasil studi oleh konsorsium berpotensi tidak netral alias menguntungkan pelaku studi. Akibatnya, investor lain ogah mengikuti lelang. "Investor luar negeri tidak mau bersaing untuk menawar," kata sang petinggi tadi. Jika tak ada investor yang datang lalu proyek batal, pemerintah yang harus membayar ongkos studi kepada konsorsium.
Perhitungan itu yang mendasari penolakan Agus atas permintaan jaminan Rp 3 triliun yang diajukan konsorsium. Apalagi, menurut aturan lama, bila proyek batal, biaya studi ditanggung oleh swasta sendiri. Sebaliknya, jika proyek berjalan, ongkos studi dibebankan kepada pemenang lelang proyek.
Agus tidak ingin mengulang kesalahan tatkala pemerintah membayar ganti rugi tanker Pertamina pada 1974 dan proyek pipa gas senilai US$ 400 juta di Dieng Patuha pada 1997. "Saya harus menjaga keuangan negara," katanya. Pengambilalihan studi kelayakan ke tangan pemerintah diyakininya akan mengundang kepercayaan investor asing, mengingat sulit mengharapkan dana, baik dari pemerintah maupun swasta domestik. "Dari mana uangnya?" ujarnya.
Seraya mengusulkan revisi Perpres 86, Agus meminta Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menjadi penanggung jawab proyek dan pelaksana studi kelayakan. Permintaan disampaikan lewat surat bernomor S-396 tertanggal 8 Juni lalu. Mantan Direktur Utama Bank Mandiri ini berjanji menyiapkan anggaran negara untuk membiayai studi kelayakan hingga pelelangan proyek.
Penolakan Agus memancing tanggapan dari kantor Menteri Koordinator Perekonomian. "Kesannya pemerintah tidak hati-hati," ucap Deputi Bidang Infrastruktur Kementerian Koordinator Perekonomian Lucky Eko Wuriyanto.
Kehati-hatian Agus, menurut Eko, bisa diakomodasi dengan membagi item pekerjaan studi kelayakan, mana bagian pemerintah dan mana urusan konsorsium. Adapun Direktur Utama Konsorsium Agung R. Prabowo berkukuh jalan terus. "Kami bekerja saja berdasarkan perpres yang berlaku," katanya.
Akbar Tri Kurniawan, Angga Sukma Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo