Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menunggu kabar dari Wina

Sidang opec di Wina, mengesahkan konsensus doha, menurunkan produksi minyak dan mempertahankan harga patokan. produksi minyak indonesia sudah menurun sebelum menteri subroto bertolak ke wina. (eb)

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OPEC, organisasi para eksportir minyak yang lagi gundah itu, hari-hari ini berkumpul di markas besar mereka di Wina, ibukota Austria, melanjutkan konsensus yang mereka capai di Doha, 6 Maret lalu. Di ibukota Emirat Qatar itu, sembilan dari tigabelas anggota OPEC, termasuk Arab Saudi, bersepakat untuk tetap mempertahankan harga patokan minyak OPEC (Saudi Arabian Light Crude), seharga US$ 34 per barrel sampai akhir tahun 1982. Suatu keputusan yang membuyarkan anggapan para pengamat Barat, yang memperkirakan OPEC akan terpaksa menurunkan harga patokannya, setelah perusahaan minyak nasional Inggris (BNOC) secara drastis menurunkan harga North Sea Crude mereka dengan US$ 4 per barrel, dari US$ 35 menjadi US$ 31 per barrel. Dalam sidang darurat di Wina itu, ke-13 anggota OPEC juga secara resmi mengesahkan konsensus Doha, untuk menurunkan produksi total mereka dari sekitar 20 juu barrel sehari menjadi 18, 5 juta barrel sehari. Dan Arab Saudi sejak di Doha sudah menjanjikan untuk memotong produksi minyaknya dari sekitar 8,5 juta barrel menjadi sekitar 7,5 juta barrel sehari. Sisanya yang 500 ribu barrel sehari akan ditanggung bersama oleh para anggota yang lain. Berapa andil Indonesia dalam pemotongan produksi itu, Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Subroto tak segera menjawab. Tapi kepada pers barubaru ini, Subroto merasa optimistis penurunan produksi 1,5 juta barrel itu akan mampu mempertahankan harga patokan minyak OPEC sampai akhir tahun ini. Indonesia sendiri, yang sedikit mengalami kesulitan dalam menjual minyaknya, terutama jenis Duri dari ladang-ladang minyak Caltex di Sumatera Timur, diduga akan terpaksa mengecilkan kraan produksi minyaknya. Berapa banyak? "Itu sebaiknya anda tunggu sampai Menteri Subroto kembali dari Wina," kata seorang pejabat minyak di sini. Tapi diam-diam maskapai minyak asing paling besar di Indonesia, Caltex Pacific Indonesia (CPI), sejak awal Maret lalu sudah menekan produksi minyak jenis Duri. Produksi total Caltex selama beberapa bulan lalu juga cenderung semakin turun. Menurut catatan yang dikumpulkan TEMPO, produksi rata-rata sehari Caltex selama bulan Desember tahun lalu masih mencapai sekitar 729 ribu barrel. Bulan berikutnya menurun menjadi rata-rata 692 ribu barrel sehari. Lalu menurun lagi selama Februari lalu menjadi rata-rata 609 ribu barrel sehari. Yang 10%. Penurunan selama dua bulan berturut-turut itu juga terjadi dengan perusahaan minyak asing seperti Arco, IIAPCO, dan Conoco. Sedang Union dan Mobil, dua perusahaan minyak bagi-hasil yang termasuk besar, masih bisa mengangkat produksinya selama Februari, sete!ah turun di bulan Januari. Tapi keduanya belum bisa menyamai tingkat produksi yang mereka capai selama bulan Desember lalu. Yang pasti, selama dua bulan itu, produksi total yang dicapai segenap perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia, termasuk Pertamina dan Lemigas, menurun kurang lebih dengan 8,5% (lihat grafik). Beberapa kalangan minyak asing berpendapat produksi masih akan menurun lagi. Sebuah sumber minyak asing yang mengetahui, mengatakan salah satu kesulitan yang kini dihadapi Indonesia, adalah Imtuk menjual bagian minyak yang diterima Pertamina dari perusahaan -perusahaan asing, biasa dikenal sebagai in kind. Seperti diketahui sebanyak 10% dari produksi minyak asing itu harus diserahkan kepada pemerintah melalui Pertamina. Dan bagian tersebut sejak beberapa waktu lalu dijual kepada para konsumennya, terutama Jepang dan Amerika (West Coast) dengan harga yang berlaku di pasaran spot (tunai). Penjualan di pasaran tunai yang terbatas itu, dan hanya terarah pada konsumen tertentu seperti Jepang dan AS, memang tak mengalami kesulitan ketika harga minyak masih di atas angin. Tapi sejak harga di pasaran tunai kembali berada di bawah harga minyak kontrak, "sebagian dari produksi yang in kind itu terpaksa disimpan di dalam tangki atau dibiarkan di dalam tanah," kata sumber asing itu. Kalau pemotongan produksi oleh OPEC akan berhasil menahan turunnya harga minyak, terutama di pasaran tunai yang merupakan indikator harga minyak, kekurangan dana yang diterima Indonesia mungkin tidak banyak menyimpang dari sasaran yang tertera dalam APBN. Tapi kalau siasat OPIC itu nanti ternyata tak banyak menolong, "Indonesia terpaksa harus ikat pinggang lebih kencang," kata seorang pejabat ekonomi. Dengan kata lain, "pos pos pengeluaran yang tak -terlalu, mendesak, harus ditangguhkan." Dalam APBN 1981/1982, pemerintah mencanangkan devisa yang masuk dari pajak perseroan minyak sebanyak Rp 6,4 triliun, berdasarkan harga ratarata ekspor minyak setinggi USS 34 per barrel dan produksi rata-rata sehari 1,6 juta barrel. Sedang pada APBN 1982/ 1983 yang dua pekan lalu disahkan DER, sasaran pajak perseroan minyak diperkirakan bisa naik dengan 33,4%, menjadi Rp 8,5 triliun. Itu pun dengan royeksi harga rata-rata ekspor minyak setinggi USS.35 per barrel dan produksi sediht dl bawah sasaran tahun anggaran sebelumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus