OPEC, organisasi para eksportir minyak yang lagi gundah itu,
hari-hari ini berkumpul di markas besar mereka di Wina, ibukota
Austria, melanjutkan konsensus yang mereka capai di Doha, 6
Maret lalu. Di ibukota Emirat Qatar itu, sembilan dari tigabelas
anggota OPEC, termasuk Arab Saudi, bersepakat untuk tetap
mempertahankan harga patokan minyak OPEC (Saudi Arabian Light
Crude), seharga US$ 34 per barrel sampai akhir tahun 1982. Suatu
keputusan yang membuyarkan anggapan para pengamat Barat, yang
memperkirakan OPEC akan terpaksa menurunkan harga patokannya,
setelah perusahaan minyak nasional Inggris (BNOC) secara
drastis menurunkan harga North Sea Crude mereka dengan US$ 4 per
barrel, dari US$ 35 menjadi US$ 31 per barrel.
Dalam sidang darurat di Wina itu, ke-13 anggota OPEC juga secara
resmi mengesahkan konsensus Doha, untuk menurunkan produksi
total mereka dari sekitar 20 juu barrel sehari menjadi 18, 5
juta barrel sehari. Dan Arab Saudi sejak di Doha sudah
menjanjikan untuk memotong produksi minyaknya dari sekitar 8,5
juta barrel menjadi sekitar 7,5 juta barrel sehari. Sisanya yang
500 ribu barrel sehari akan ditanggung bersama oleh para anggota
yang lain.
Berapa andil Indonesia dalam pemotongan produksi itu, Menteri
Pertambangan dan Energi Prof. Subroto tak segera menjawab. Tapi
kepada pers barubaru ini, Subroto merasa optimistis penurunan
produksi 1,5 juta barrel itu akan mampu mempertahankan harga
patokan minyak OPEC sampai akhir tahun ini. Indonesia sendiri,
yang sedikit mengalami kesulitan dalam menjual minyaknya,
terutama jenis Duri dari ladang-ladang minyak Caltex di Sumatera
Timur, diduga akan terpaksa mengecilkan kraan produksi
minyaknya.
Berapa banyak? "Itu sebaiknya anda tunggu sampai Menteri Subroto
kembali dari Wina," kata seorang pejabat minyak di sini. Tapi
diam-diam maskapai minyak asing paling besar di Indonesia,
Caltex Pacific Indonesia (CPI), sejak awal Maret lalu sudah
menekan produksi minyak jenis Duri. Produksi total Caltex selama
beberapa bulan lalu juga cenderung semakin turun. Menurut
catatan yang dikumpulkan TEMPO, produksi rata-rata sehari Caltex
selama bulan Desember tahun lalu masih mencapai sekitar 729 ribu
barrel. Bulan berikutnya menurun menjadi rata-rata 692 ribu
barrel sehari. Lalu menurun lagi selama Februari lalu menjadi
rata-rata 609 ribu barrel sehari.
Yang 10%.
Penurunan selama dua bulan berturut-turut itu juga terjadi
dengan perusahaan minyak asing seperti Arco, IIAPCO, dan Conoco.
Sedang Union dan Mobil, dua perusahaan minyak bagi-hasil yang
termasuk besar, masih bisa mengangkat produksinya selama
Februari, sete!ah turun di bulan Januari. Tapi keduanya belum
bisa menyamai tingkat produksi yang mereka capai selama bulan
Desember lalu. Yang pasti, selama dua bulan itu, produksi total
yang dicapai segenap perusahaan minyak yang beroperasi di
Indonesia, termasuk Pertamina dan Lemigas, menurun kurang lebih
dengan 8,5% (lihat grafik).
Beberapa kalangan minyak asing berpendapat produksi masih akan
menurun lagi. Sebuah sumber minyak asing yang mengetahui,
mengatakan salah satu kesulitan yang kini dihadapi Indonesia,
adalah Imtuk menjual bagian minyak yang diterima Pertamina dari
perusahaan -perusahaan asing, biasa dikenal sebagai in kind.
Seperti diketahui sebanyak 10% dari produksi minyak asing itu
harus diserahkan kepada pemerintah melalui Pertamina. Dan bagian
tersebut sejak beberapa waktu lalu dijual kepada para
konsumennya, terutama Jepang dan Amerika (West Coast) dengan
harga yang berlaku di pasaran spot (tunai).
Penjualan di pasaran tunai yang terbatas itu, dan hanya terarah
pada konsumen tertentu seperti Jepang dan AS, memang tak
mengalami kesulitan ketika harga minyak masih di atas angin.
Tapi sejak harga di pasaran tunai kembali berada di bawah harga
minyak kontrak, "sebagian dari produksi yang in kind itu
terpaksa disimpan di dalam tangki atau dibiarkan di dalam
tanah," kata sumber asing itu.
Kalau pemotongan produksi oleh OPEC akan berhasil menahan
turunnya harga minyak, terutama di pasaran tunai yang merupakan
indikator harga minyak, kekurangan dana yang diterima Indonesia
mungkin tidak banyak menyimpang dari sasaran yang tertera dalam
APBN. Tapi kalau siasat OPIC itu nanti ternyata tak banyak
menolong, "Indonesia terpaksa harus ikat pinggang lebih
kencang," kata seorang pejabat ekonomi. Dengan kata lain, "pos
pos pengeluaran yang tak -terlalu, mendesak, harus
ditangguhkan."
Dalam APBN 1981/1982, pemerintah mencanangkan devisa yang masuk
dari pajak perseroan minyak sebanyak Rp 6,4 triliun, berdasarkan
harga ratarata ekspor minyak setinggi USS 34 per barrel dan
produksi rata-rata sehari 1,6 juta barrel. Sedang pada APBN
1982/ 1983 yang dua pekan lalu disahkan DER, sasaran pajak
perseroan minyak diperkirakan bisa naik dengan 33,4%, menjadi Rp
8,5 triliun. Itu pun dengan royeksi harga rata-rata ekspor
minyak setinggi USS.35 per barrel dan produksi sediht dl bawah
sasaran tahun anggaran sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini