MENDADAK saja pabrik tepung terigu PT Prima Indonesia di
pelahuhan Makassar, Ujungpandang, dilanda kesibukan. Puluhan
truk sarat dengan muatan terigu tanpa henti mengalir ke luar
kawasan pabrik itu. Tekanan terhadap beban kerja memang mencapai
puncaknya ketika November tahun lalu, lulog meminta agar Prima
menggiling 10 ribu ton gandum. Padahal sebelumnya, instansi
pemerintah yang mengawasi pengadaan pangan itu, hanya memberi
jatah giling 2.500 ton sebulannya.
Di bulan Januari dan Februari, Bulog kembali memberi jatah
giling 20 ribu ton. Pesanan sebanyak itu hanya dilumat beberapa
hari oleh Prima yang punya kemampuan giling sekitar 1.000 ton
per hari. Di luar dugaan karyawan, tentu saja, kalau jatah
besar-besaran itu justru merupakan kerja terakhir manajemen
Prima. Sebab Kamis pekan lalu, bertempat di BKPM, Jakarta,
Tjeng Chan Ban, Dirut PT Prima Indonesia, secara resmi
menandatangani pengalihan manajemen pabrik itu kepada PT PP
Berdikari Sari Utama Flour Mills. Bertindak sebagai wakil PT
Berdikari adalah Bustanil Arifin yang sehari-hari dikenal
sebagai Kepala Bulo.
Dalam kesepakatan yang dibuat 13 Oktober 1981, Berdikari setuju
membeli seluruh (9.000) saham Prima seharga US$ 31.500.000 (atau
"US$ 3.500 per sahamnya). Sebaliknya dalam perjanjian itu,
Prima Limited Singapore juga setuju membeli sebagian barang eks
Prima Indonesia - seperti seluruh stok bahan gandum (wheat rain
dan wheat flour) dan semua utang piutang dengan nilai US$ 10
juta. "Semua transaksi itu dibicarakan dengan baik-baik. Dan
coba lihat, acaranya juga berlangsung baik," ujar Bustanil
Arifin.
Untuk menunjukkan keterbukaan, Bustanil memang sengaja ingin
merayakan pengambilalihan itu secara besar-besaran. Bagai gayung
bersambut, Ketua BKPM Suhartoyo segera mengundang puluhan
wartawan untuk meliput acara yang oleh Bustanil dianggap cukup
"bersejarah" itu. Sebab bua pertama kalinya memang pihak
Indonesia membeli sebuah perusahaan PMA penuh. "Kita langsung
bayar karena mereka mau kontan," ujar Bustanil.
Tapi, agaknya peristiwa ini cukup mengejutkan mengingat Prima
belum lagi genap 10 tahun berroperasi. Apakah pabrik itu
mengalami kesulitan keuangan dengan agak hati-hati, Tjeng Chan
Ban, Warga Negara Singapura menjawab, kami dapat untung. Kalau
tak untung mana bisa jual " Mengaku sudah 36 tahun, bisnis di
Indonesia, dia bertekad "tetap akan menanamkan capital disini"
sekalipun Primanya sudah diambil orang.
Tjeng pernah mengalami kesulitan memasarkan tepung terigu cap
Kereta keluaran Prima. Mei tahun lalu, Manajer Pemasaran Prima,
Kho Tiang Lio, mengeluh kepada Komisi VI DPR: daerah pemasaran
terigu cap Kereta telah dipersempit hanya di wilayah Sulawesi,
dan Kalimantan Timur.
Jatah produksinya pun dikurangi hingga tinggal 2.500 ton
sebulan. Padahal sebelumnya, dengan tingkat produksi 7 ribu
sebulan, pemasarannya meliputi seluruh Kalimantan (kecuali
Kalimantan Barat), Nusa Tenggara Barat dan Timur, Maluku, Irian
Jaya, dan Sulawesi.
Sisa Stok
PT Bogasari Flour Mills punya Liem Sioe Liong ketika itu
disebut-sebut sebagai dalang penciutan wilayah pemasaran Prima.
Tapi anggapan itu serta-merta ditolak Bogasari. Sebab ternyata
memang Bulog sendirilah yang menganggap Prima tak mampu
menyalurkan terigunya ke kawasan Indonesia Timur karena
kesulitan pengapalan. Instansi pemerintah itu akhinya memutuskan
kebutuhan terigu Indonesia Timur harus disuplai dari Surabaya
(Bogasari Hour Mills 11).
Dalam suasana itulah Bustanil datang mengajukan penawaran untuk
membeli seluruh saham Prima yang sedang kempis-kempis -- hanya
menghasilkan tepung terigu kurang dari separuh kemampuan
produksinya. Dan Prima, yang sudah terpojok, tampaknya tak punya
jalan lain--kecuali menyerah secara baik-baik. Cepat atau lambat
"mereka bakal terkena peraturan pemerintah mengenai keharusan
Indonesianisasi," sambung Bustanil.
Kendati manajemen sudah diambilalih Berdikari, Prima Indonesia
masih diizinkan beroperasi sampai 31 Maret ini untuk menjual
habis sisa stok terigu cap Kereta yang berjumlah sekitar 3 ribu
ton. "Sesudah stok habis, kami akan memberi cap baru. Yang pasti
bukan cap Kereta lagi," Bustanil ketawa cerah.
Di pabrik Prima, Ujungpandang, karyawannya, berjumlah 289 orang
(sekitar 60% merupakan pegawai bulanan) tampak tetap tenang
bekerja. Gaji karyawan (yang tertinggi Rp 200 ribu/bulan,
terendah Rp 25 ribu/bulan, dan harian Rp 1.000) tetap lancar
didrop dari Jakarta. "Barangkali saja di bawah Berdikari kelak,
kesejahteraan kami akan lebih baik lagi," kata seorang pegawai
Prima.
Tapi siapa Berdikari? PT Pilot Project Berdikari pada masa
orde lama dulu merupakan perusahaan yang dimiliki Markam, dulu
raja karet. Sejak 1966 PT Berdikari berada di bawah
koordinasi Bulog. Tugasnya: turut menjaga stabilitas 'narga
pangan. Adalah Brigjen Suhardiman ketika itu diangkat mcnjadi
Dirut PT Berdikari sampai tallnl 1972.
Menurut Bustanil, Berdikari kini punya sembilan anak perusahaan,
di antaranya PT Bank Duta Ekonomi, isuransi Timur Jauh, PT
Wotraco, dan PT Ujung Lima. Dana yang US $ 31,5 juta untuk
membeli Prima itu pun dikumpulkan dari seluruh anak perusahaan,"
kata Bustanil. Dia yakin prospek Berdikari akan lebih baik
sesudah menguasai Prima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini