MATAHARI bulan Maret ikut menyongsong sidang pertama Kabinet Pembangunan V, yang berlangsung pagi hingga Senin siang di Bina Graha, Jakarta. Sampai sidang usai, tampaknya tidak ada hal-hal yang istimewa. Hanya kemudian, dalam waktu kurang dari satu jam, satu per satu para menteri bidang Ekuin terlihat bermunculan di kantor Menko Ekuin Radius Prawiro, di Jalan Lapangan Banteng Timur. Gedung tua bercat krem itu ibarat markas besar bagi pakar ekonomi kita. Ada Menteri Keuanan T.B. Sumarlin. Gubernur Bank Sentral Adrianus Mooy, serta Mensesneg Moerdiono. Bekas Menko Ekuin Kabinet Pembangunan I--III Widjojo Nitisastro, dan bekas Menko Ekuin Kabinet Pembangunan IV Ali Wardhana juga ada di tengahtengah mereka. Dan berlangsunglah sebuah pertemuan serius tampaknya - dari pukul 15.00 hingga pukul 17.00. Ada apa? Ternyata, ada "pekerjaan rumah" yang harus mereka selesaikan. Menurut Sumarlin, yang pulang paling akhir, mereka baru saja merumuskan draft Keputusan Presiden pengganti Keppres Nomor 10/ 1980. "Isinya tunggu saja di umumkan pekan ini," kata Sumarlin kepada Budiono Darsono dari TEMPO Senin malam itu. Seperti diketahui, awal pekan lalu Mensesneg Moerdiono memang telah mengungkapkan kepada TEMPO bahwa Keppres 10, yang mengatur pengendalian proyek-proyek pemerintah bernilai di atas Rp 500 juta itu, sudah akan dihapuskan (TEMPO, 26 Maret 1988). Apa yang dikatakan Moerdiono sebenarnya sudah tercermin dari susunan Kabinet Pembangunan V 1988-1993. Dalam kabinet baru itu tidak ada lagi pos Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (Menmud UP3DN) yang dulu dijabat Ginandjar Kartasasmita. Di posnya yang dulu itu, Ginandjar menjadi Ketua Pelaksana Harian dari tim Keppres 10 sejak 1983. Sejauh yang menyangkut UP3DN, Ginandjar sudah membenarkan pernyataan Moerdiono (lihat Kita Lebih Irit ...). Adapun Keppres 10 (Keputusan Presiden Nomor 10) dibuat delapan tahun silam, tepatnya 23 Januari 1980. Keppres yang kabarnya banyak dibahas ini menetapkan pembentukan tim pengendali pengadaan barang/peralatan pemerintah (TPPBPP). Tugasnya: mengendalikan dan mengkoordinasikan pembelian dan pengadaan barang/ peralatan yang diperlukan departemen atau lembaga pemerintah non-departemen, sesuai dengan anggaran dan prioritas yang disediakan. Semula, tim itu terdiri dari Menteri/ Sekretaris Negara (Ketua), Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara/Wakil Ketua Bappenas (Wakil Ketua). Lalu tim diperkuat oleh: Gubernur Bank Indonesia, Dirjen Anggaran, Dirjen Industri Logam Dasar, Asisten Menteri/Sekretaris Negara Urusan Administrasi Pemerintahan dan Administrasi Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Deputi Ketua Bappenas bidang ekonomi. Mereka semua menjadi anggota tim. Sedangkan Sekretaris Menteri/ Sekretaris Negara menjadi sekretaris tim. Pada tanggal 19 Juli 1980 - enam bulan sesudah Keppres 10 diberlakukan - tim tersebut ditugasi mengendalikan proyek-proyek BUMN dan Pertamina. Dalam perkembangan kemudian, tim juga ditugasi mengendalikan proyek-proyek pemerintah daerah yang bernilai di atas Rp 500 juta. Hal itu terjadi sejak 1983, ketika program pemerataan mulai dilaksanakan Kabinet Pembangunan IV ke daerah-daerah. Dalam kabinet ini muncul pula pos Menmud UP3DN, yang mempromosikan pemakaian produksi dalam negeri. Program itu begitu penting, sehingga Menmud UP3DN Ginandjar Kartasasmita kemudian masuk dalam tim pengendali tersebut, merangkap Wakil Ketua TPPBPP dan Ketua Pelaksana Harian. Dua hal terakhir tadi menyebabkan Keppres 10 tahun 1980 itu disempurnakan oleh Keputusan Presiden No. 29 tanggal 26 Maret tahun 1983. WaktU itU juga Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Ketua BKPM, Asisten Menko Ekuin, dan Sekretaris Menmud UP3DN ditugasi memperkuat tim. Maka, ketangguhan tim ini tak perlu diragukan. Riwayat Keppres 10 itu sendiri justru menunjang segalanya. Keppres 10 konon lahir dari buah pikiran Widjojo Nitisastro, sewaktu beliau menjabat Menko Ekuin. Widjojo mengkhawatirkan kemungkinarl tak terkontrolnya pengadaan barang di departemen-departemen. "Kala itu ada gejala tumbuhnya warlordisme," kata seorang pejabat tinggi Ekuin. Maklum saja, penerimaan pemerintah waktu itu berlimpah, berkat boom minyak. Lagi pula, Menko Ekuin rupanya tak berdaya melakukan post-adit terhadap pengeluaran departemen-departemen dan BUMN seperti Pertamina. Harga-harga yang dibayar departemen dan Pertamina tak sesuai dengan harga yang dianggap standar. Wakil Ketua DPR Mashuri waktu itu memperkirakan, kebocoran dana APBN mencapai 30% dari anggaran. Dalam keadaan seperti itu, TPPBPP diharapkan berhasil menghemat anggaran negara. Tim pengendali itu, dalam data yang diperlihatkan Ginandjar Kartasasmita, sejak Februari 1980 hingga Februari 1988, telah mengendalikan dan mengkoordinasikan pembelian barang dan peralatan pemerintah yang bernilai Rp 53.167,6 milyar. Dan seperti tercantum di situ, tim berhasil menghemat anggaran sampai Rp 1.974 milyar. Selain itu, tim juga berhasil menekan pemakaian barang-barang impor dan mampu meningkatkan produk lokal. Pada tahun 1980-1983 proyek-proyek besar dari berbagai departemen dan BUMN hanya menyerap 34%, sejak 1984 lebih dari 50% anggaran departemen dan BUMN telah dipakai untuk menyerap produk lokal. Tapi beberapa sumber TEMPO menyatakan, tim itu hanya berhasil menambal kebocoran pada masa awal. Kemudian mereka melihat TPPBPP berkembang menjadi semacam superwarlord, dan kabarnya menganakemaskan beberapa pengusaha. Seorang pejabat dari tim Keppres 10 mengakui bahwa tim kadang-kadang mentoleransi tawaran tender pengusaha lemah sampai 15% di atas tawaran pengusaha kuat. "Toh masih ada pengusaha yang mengeluh. Maunya mereka sampai 30%," kata pejabat itu sambil tertawa. Pejabat dari tim Keppres 10 yang tak mau dikutip namanya tadi juga mengakui bahwa kadang-kadang pemakaian produksi dalam negeri terlalu dipaksakan, hingga para konsumen seperti departemen dan BUMN, merasa dirugikan. Ini sudah lama disinyalir tim Ekuin. Ada contoh kecil: sebuah dcpartemen minta mesin ketik merk impor. Tapi tim memutuskan mesin ketik buatan lokal, padahal mutunya jelas kalah. "Jeleknya ada pula pengusaha nakal dan tak mau memperbaiki mutu produksinya karena merasa terlindung Keppres 10 itu," kata pejabat tadi, masih merasa kesal. Toh dalam delapan tahun terakhir ini Keppres 10 terbukti sudah melahirkan beberapa pengusaha baru. Dan mereka tidak cuma mandiri, tapi juga bisa bersaing dengan produk impor. Da lam kelompok pengusaha canggih ini, Ginandjar menyebutkan nama Fadel Mohammad dan Arifin Panigoro. Agar bisa diperoleh gambaran lebih jelas tentang sepak terjang tim TPPBPP, pengalaman Soebronto Laras dari perusahaan grup Indo Utama tentu tak boleh dilewatkan. Perusahaannya telah beberapa kali mendapatkan proyek pembelian sepeda motor dan mobil pemerintah. Terakhir, Soebronto boleh bergembira, karena berhasil memasok 60 unit Volvo 740 untuk keperluan Kabinet Pembangunan V, dengan nilai tak kurang dari Rp 4 milyar. Tapi apa kata menantu Ibu Yani ini? "Saya kadang-kadang kalang kabut menghadapi tim Keppres 10 itu," ujar Soebronto. "Mereka meminta perincian biaya. Berapa biaya bahan baku impor, berapa bea masuk dan pajak, bunga bank, dan ongkos pembuatan di pabrik. Setelah tahu semua itu, mereka menawar luar biasa rendahnya," tuturnya. W.L.U. Pondaag, direktur eksekutif dari PT Gruno National di kawasan industri Rungkut, Surabaya, juga mengalami hal serupa. "Keppres 10 itu telah melindungi perusahaan lokal, tetapi belum tentu menguntungkan. Keppres itu telah berperan mengatur pengendalian tata niaga dan sangat menekan harga," ucapnya pasti Gruno adalah salah satu perusahaan rekanan pabrik-pabrik gula pemerintah. Perusahaan itu antara lain harus menerima bahan baku produksi PT Krakatau Steel. "Harga lebih mahal, tapi apa boleh buat. Krakatau perlu dilindungi juga," katanya ikhlas. Sedangkan pemerintah bersedia membeli produk Gruno, dengan memberikan margin keuntungan sekitar 20%. Pondaag memberi contoh bahan baku baja dibeli Rp 1.000,00 dari Krakatau. Setelah diolah menjadi ketel pabrik gula, hanya dihargai Rp 1.200,00. Untung Rp 200,00 itu sudah termasuk gaji karyawan, biaya produksi, bunga bank, dan lain-lain. "Terpaksa kami melakukan efisiensi biaya, dengan menciutkan jumlah karyawan," kata Pondaag blak-blakan. Patut dipuji dalam situasi kepepet seperti itu banyak perusahaan tidak menekan biaya dengan cara menurunkan mutu. Malah cukup banyak bukti bahwa kampanye pemakaian produk lokal yang dibarengi kampanye ekspor nonmigas ternyata telah diimbangi berbagai perusahaan, dengan jurus meningkatkan mutu. Bahan baku industri mobil, misalnya. "Semua produksi lokal yang kami pakai sekarang sudah cukup baik," kata Ang Kang Ho dari Honda. Ia memberi contoh produk ban. "Dulu tak sampai 20.000 kilometer sudah bunting, sekarang dipakai sampai 30.000 kilometer masih bagus," katanya lega. Tak heran bila Moerdiono dan Ginandjar Kartasasmita bisa mengatakan bahwa kepercayaan masyarakat pada produksi dalam negeri sudah cukup tinggi. Departemen juga sudah punya standar harga pembelian barang, hingga pantas-pantas saja kalau UP3DN dihapus dan Keppres 10 dirombak. Beberapa pejabat seperti Menteri Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas Saleh Afiff dan Ketua BPKP Drs. Gandhi, berpendapat bahwa mekanisme kontrol sudah saatnya dikembalikan kepada sistem postasdt seperti dulu. Dengan kata lain, perlu semacam deregulasi - Tim Keppres 10, oleh kalangan tertentu dianggap satu bentuk birokratisasi. "Soalnya, tim ini memperpanjang waktu proses," kata Rosita Sofyan Noer, 40 tahun. Pemilik beberapa perusahaan konsultan ini melihat, tim Keppres 10 memperlambat proses, tak terkecuali kalau teknologi harus diperiksa BPPT-nya Menristek B.J. Habibie. Direktur Utama PT Pembangunan Jaya, Ir. Ciputra, termasuk pengusaha yang menyambut baik rencana pengembalian sistem kendali itu kepada departemen. "Pengambalian keputusan oleh departemen akan lebih cepat, departemen pun akan lebih mengambil inisiatif dan tanggung jawab," kata Ciputra. Kontraktor di daerah, seperti PT Toba Jaya Hutama di Medan, berharap, agar kebijaksanaan baru itu nanti memberikan peluang lebih banyak bagi mereka. Soalnya, menurut Dirut T.M. Sihombing, kontraktor kuat dan bermodal besar dari pusat sering melahap proyek Keppres 10 di daerah. Tampaknya, kelak hanya BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) yang akan melakukan audit terhadap setiap proyek yang telah selesai. "Tentu akan menambah beban pekerjaan kami," kata Ketua BPKP, Gandhi. Tapi ia gembira. Lalu, seandainya terbukti masih ada permainan? "O, misalnya harga bata dilaporkan Rp 15,00 sedangkan di pasar ternyata hanya Rp 10,00, tentu akan ada penalti," kata Menteri PPN dan Ketua Bappenas Saleh Afiff. Max Wangkar (Laporab biro-biro)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini