Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pada tahun ini, PLTU yang bergabung dengan bursa karbon hanya yang berkapasitas di atas 100 MW.
Perdagangan karbon juga akan diramaikan oleh sektor selain pembangkit listrik.
OJK menetapkan dua jenis unit karbon yang diperdagangkan di bursa sebagai efek.
JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan sebanyak 99 unit atau 86 persen dari keseluruhan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang beroperasi di Indonesia siap berpartisipasi dalam bursa karbon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK, Hasan Fawzi, mengatakan PLTU yang bergabung dengan bursa karbon pada tahun ini adalah PLTU dengan kapasitas listrik di atas 100 megawatt (MW).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun PLTU berkapasitas di atas 50 MW baru akan bergabung dengan bursa pada 2024, diikuti PLTU lainnya dan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) pada 2025. OJK, kata Hasan, akan mempersiapkan perangkat infrastruktur primer dan sekunder, serta pasar yang dibutuhkan untuk menopang operasi bursa karbon.
"Selain dari subsektor pembangkit listrik, perdagangan karbon akan diramaikan sektor lain yang akan bertransaksi di bursa karbon, seperti kehutanan, perkebunan, migas, dan industri umum," kata dia, kemarin.
Asap hitam keluar dari cerobong di salah satu pabrik di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda, Jakarta Utara, 25 Agustus 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Perdagangan karbon yang akan diterapkan dalam waktu dekat terbatas untuk pelaku usaha, bukan untuk retail. Karena itu, tutur Hasan, hanya pelaku usaha yang memiliki sertifikat yang bisa bertransaksi di bursa karbon. Transaksi perdagangan karbon juga akan difokuskan pada perdagangan domestik untuk kemudian berkembang ke luar negeri.
Secara umum, ada dua jenis unit karbon yang diperdagangkan di bursa sebagai efek. Pertama adalah surplus kuota emisi yang disebut sebagai Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE PU) dan offset karbon dalam bentuk Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE GRK). Keduanya memiliki skema masing-masing. Supaya dapat diperdagangkan, kedua efek itu harus terdaftar pada Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI).
Pendaftarannya dilakukan melalui laman SRN PPI milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang berfungsi mencatat serta mengelola berbagai data ihwal mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. SRN PPI juga berperan sebagai pusat koordinasi dan acuan untuk menghindari perhitungan ganda penurunan emisi.
Saat mendaftar di laman tersebut, peserta harus meregistrasi e-mail untuk mendapatkan nomor pendaftaran, berikutnya mengisi formulir data umum yang akan diverifikasi oleh sistem. Setelah lolos verifikasi, peserta akan mendapat nomor akun dan selanjutnya diminta memasukkan sejumlah data teknis, seperti peta proyek hingga nilai karbonnya.
Jika data teknis sudah lengkap, nomor akun akan berubah menjadi nomor registri atau terdaftar. Terakhir, kalau data teknis penurunan emisi sudah berhasil diverifikasi, peserta akan mendapat nomor verifikasi dan SPE GRK yang bisa diperdagangkan di bursa karbon. Menurut OJK, satu unit SPE setara dengan 1 ton CO2.
Per 8 September 2023, tercatat sudah ada 9.293 aksi iklim yang terdaftar di SRN PPI. Sebanyak 239 di antaranya sudah teregistrasi, tapi baru 183 aksi iklim yang terverifikasi, dan 1.000 unit SPE GRK yang telah diterbitkan.
Cerobong asap pabrik di Sumatera Utara. Dok. TEMPO/I.G.G. Maha S. Adi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan perdagangan karbon bakal dilakukan secara bertahap. Dia juga memastikan telah memperoleh komitmen pemilik pembangkit untuk mengikuti bursa emisi ini.
"Mereka menyadari bahwa mereka menghasilkan energi yang dibutuhkan ekonomi dan masyarakat, tapi di sisi lain mereka menghasilkan emisi yang memperburuk perubahan iklim," ujarnya. Terlebih, mayoritas PLTU batu bara akan mulai mengikuti perdagangan karbon pada tahun ini.
Dia mengimbuhkan, secara bertahap, pemerintah juga akan menerapkan mekanisme pajak karbon yang payung hukumnya telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. "Kami telah mengamanatkan tarif pajak karbon minimal Rp 30 per kilogram CO2 ekuivalen, dan kami akan melakukannya secara hati-hati," kata Sri Mulyani.
Peluang Bisnis Baru bagi Pertamina
Sementara itu, sejumlah korporasi membidik peluang dari bisnis perdagangan karbon. PT Pertamina (Persero), misalnya, mulai aktif memanfaatkan momentum ini dengan inisiatif perusahaan yang menerapkan teknologi penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) ataupun carbon capture, utilization, and storage (CCUS).
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, berujar bahwa implementasi tangkapan karbon tersebut perdana dilakukan di lapangan migas di Indonesia. "Kami memiliki potensi kapasitas penyimpanan karbon dioksida sebesar 400 gigaton yang sudah dimulai sejak tahun lalu," ucapnya.
Pertamina menggunakan teknologi CCUS perdana dengan injeksi CO2 di lapangan Pertamina EP Jatibarang, Indramayu, Jawa Barat, pada Oktober 2022. Subholding upstream Pertamina, yaitu PT Pertamina Hulu Energi (PHE), pun tengah menggarap empat proyek CCS/CCUS guna mendorong produksi migas sembari mengejar target penurunan emisi karbon.
Perekam Jejak Karbon Bank Mandiri
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk juga berupaya mengambil peran dalam bursa karbon dengan menyiapkan digital carbon tracking atau perekam jejak karbon digital. Wakil Direktur Utama Bank Mandiri, Alexandra Askandar, mengatakan perseroan berharap dapat berpartisipasi dalam perdagangan karbon dan telah menargetkan nol emisi karbon secara operasional pada 2030. "Selain menyiapkan digital carbon tracking, selama ini kami telah berhasil mengurangi jejak karbon setiap tahun."
Pada 2020, emisi yang berhasil dikurangi Bank Mandiri sebesar 46.261 ton CO2 ekuivalen (tCO2e), kemudian pada 2021 sebesar 47.328 tCO2e, dan pada 2022 sebesar 59.076 tCO2e. Hasil itu diperoleh setelah menerapkan berbagai upaya komprehensif, dari adopsi ISO 14064-1, 2, 3 dan Greenhouse Gas Protocol Standard hingga perhitungan jejak karbon operasional. Jejak karbon itu terdiri atas tiga cakupan emisi, yaitu bahan bakar minyak, genset solar, dan pendingin; listrik; serta perjalanan dinas.
ANTARA | GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo