Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH 18 tahun memeras keringat dan ikut membesarkan perusahaan, Sujiati tak menyangka hari terakhirnya bekerja di PT Danliris bisa begitu menyakitkan. Mengingatnya saja sudah membuat bibir perempuan 36 tahun itu bergetar. ”Saya syok,” katanya kepada Tempo, dengan mata berlinang, Kamis pekan lalu.
Dari bisik-bisik di antara para pekerja, Sujiati tahu perusahaan tekstil tempatnya mengais rezeki mulai kembang-kempis. Tapi ia tak menyangka kalau namanya sendiri tercantum dalam daftar pemutusan hubungan kerja (PHK), yang oleh manajemen disebut program ”pensiun dini” itu.
Pagi itu ia baru turun dari bus jemputan di halaman pabrik, ketika teman-temannya berteriak ke arahnya, ”Kamu kena PHK.” Tungkai kakinya lunglai, kepalanya mulai berdenyut. Penyakit asam urat yang kerap menyerangnya tiba-tiba kambuh. Ia urung masuk pabrik. ”Saya tambah lemas begitu tahu pesangonnya pun akan dicicil 12 bulan,” ujarnya.
Bersama Sujiati, ada 173 pekerja lain di pabriknya yang masuk daftar PHK gelombang pertama, pada 1 Juli lalu itu. Kisah Sujiati juga menjadi gambaran umum dari ratusan ribu buruh lain yang kelimpungan setelah sandaran hidupnya hilang sepanjang tahun yang baru lewat. Akankah gelombang itu berlanjut pada 2006?
”Sulit untuk mengatakan tidak,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi. Banyak prediksi mengatakan ekonomi kita masih akan suram sampai akhir kuartal kedua. Hampir semua sektor merasakan dampak naiknya harga minyak, Oktober lalu, terutama karena melonjaknya biaya transportasi.
Dari situ pula inflasi yang hingga akhir tahun melambung hingga kisaran 17 persen mendapatkan bahan bakarnya. ”Kemungkinan baru Oktober bisa kembali di bawah 7 persen,” kata Purbaya Yudhi Sadewa dari Danareksa Research Institute. Perkiraan Bank Indonesia pun tak jauh beda.
Dalam hitungan Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Benny Sutrisno, ”Porsi bahan bakar mencapai 30 persen komponen biaya produksi.” Biaya riil dipastikan berlipat, karena komponen lain pun ikut menaikkan harga.
Karena itulah dampak kenaikan bahan bakar minyak itu lebih cepat terlihat di industri tekstil. Karena di sektor ini pula tenaga kerja kita selama ini banyak terserap, industri yang goyang akan langsung berbuntut pada maraknya PHK.
Di perusahaan tempat Sujiati bekerja, tadinya manajemen berencana mengurangi 1.200 orang dari total 12 ribu buruh. Biasanya, dalam setahun dilakukan tiga kali pensiun dini sebagai upaya efisiensi di pabrik yang beroperasi di Sukoharjo, Jawa Tengah ini.
Tapi kondisi ekonomi yang memburuk selama 2005 membuat program itu ditambah menjadi empat kali. Angkanya pun membengkak hingga mendekati 2.000 buruh, karena beban perusahaan makin berat dengan naiknya harga minyak. ”Kami kalah bersaing dengan produk tekstil dari Cina,” kata Djoko Santosa, Direktur Utama PT Danrilis.
Ada kombinasi beberapa faktor yang membuat industri tekstil dan garmen dalam negeri merana. Banjirnya produk tekstil Cina yang lebih murah baru satu hal. Faktor lain adalah penghapusan kuota ekspor tekstil dan produk tekstil yang diberlakukan Amerika Serikat mulai awal 2005.
Persaingan jadi lebih sulit karena produsen di Cina tak perlu impor kapas seperti pabrik-pabrik kita. ”Padahal penghapusan pajak pertambahan nilai kapas impor yang dijanjikan pemerintah belum juga terlaksana,” kata Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ernovian Gazali Ismi.
Di sentra industri garmen Tangerang, Banten, penghapusan kuota tekstil oleh Amerika itu memaksa 16 perusahaan gulung tikar. ”Akibatnya, 7.300 karyawan kehilangan pekerjaan sepanjang 2005,” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang, Apon Suryana.
Dalam catatan Asosiasi Pertekstilan, setidaknya ada 20 ribu buruh dari 77 perusahaan besar di Jawa dan Bali yang terpaksa terkena PHK. Itu tak termasuk mereka yang diberhentikan dari perusahaan kecil dan menengah di sentra tekstil seperti Majalaya dan Bandung di Jawa Barat, atau Pekalongan dan Surakarta di Jawa Tengah.
Memang, tak gampang menghitung angka pasti mereka yang tak lagi bekerja itu. Ada beberapa masalah di sini. Hanya industri besar yang biasanya melaporkan PHK. Itu pun, umumnya, setelah ada masalah dalam prosesnya. ”Yang berhenti baik-baik karena bisa dibujuk dengan golden shake hand biasanya tak dihitung,” kata Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Persepatuan Indonesia, Anton J. Supit.
Industri skala kecil dan rumahan praktis di luar radar, termasuk pantauan Departemen Tenaga Kerja. Ini diakui oleh Direktur Perselisihan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Gandi Sugandi.
Karena itu, ketika pekan lalu departemen ini mengumumkan bahwa hampir 122 ribu orang terkena PHK sepanjang 2005, ia buru-buru menambahkan keterangannya, ”Itu belum termasuk perusahaan yang tak melapor dan PHK yang diselesaikan damai antara buruh dan majikannya.”
Bisa dipastikan angka riil korban PHK itu jauh lebih tinggi. ”Bisa lima kali lipat dari data resmi,” kata Sofjan Wanandi. Benny Sutrisno bahkan berani memperkirakan, secara keseluruhan ada 500 ribu pekerja yang akan terpaksa dirumahkan atau diberhentikan sebagai dampak naiknya harga minyak. ”Sebanyak 300 ribu merupakan karyawan dari industri menengah atas, dan 200 ribu lainnya berasal dari industri kecil dan rumah tangga.”
Jumlah penganggur baru masih akan lebih banyak karena sektor lain yang banyak menampung tenaga kerja, seperti perkayuan dan industri makanan dan minuman, pun menjerit. ”Ada banyak pabrik kayu lapis akan tutup karena pasokan bahan tak ada,” kata Sofjan, sambil menunjuk tumpukan laporan di atas mejanya. ”Mereka minta saya membantu menyelesaikan masalah dengan para pekerja yang harus diberhentikan.”
Bagi industri makanan dan minuman, gelombang lebih besar yang tak dinyana datang dalam sebulan terakhir. Maraknya operasi yang dilakukan Badan Pengawasan Obat dan Makanan terhadap penyalahgunaan formalin dalam produk makanan dengan cepat membuat industri ini megap-megap. ”Omset mereka turun 30-50 persen,” kata Sofjan. ”Beda dengan kami yang besar-besar ini, mereka rata-rata industri rumahan yang tak bisa berteriak di koran-koran.”
Hancurnya industri kecil dan sektor informal inilah, menurut Sofjan, yang akan memperparah dampak tingginya pengangguran sepanjang tahun ini. Apalagi ”sektor gelap” seperti arena hiburan, perjudian, dan prostitusi, yang selama ini jadi tempat pelarian mereka yang kehilangan penghidupan di ”dunia terang”, turut ludes digulung aneka operasi yang dilancarkan polisi. ”Diakui atau tidak, sektor informal itu yang menyelamatkan ekonomi kita selama krisis,” kata Sofjan.
Lagu lama para ekonom, yang mengatakan investasi akan jadi jalan keluar, pun kali ini akan terdengar lebih sumbang. Mengharapkan investor untuk menanam uangnya jelas tak gampang di tengah bunga deposito yang menggiurkan di level 11-12 persen. Sebaliknya, tak banyak yang nekat pinjam uang di bank yang mematok bunga kreditnya 16-18 persen.
Lebih dari sekadar angka-angka perkiraan, kenyataan kehilangan pekerjaan selalu lebih sulit bagi mereka yang mengalaminya langsung. Apalagi bagi buruh seperti Sujiati. Itu pun ”masih untung”, karena tiap bulan masih ada Rp 500 ribu yang diterima Supri, suaminya, yang bekerja sebagai pesuruh di sebuah sekolah swasta di kawasan Pasar Legi, Solo.
Y. Tomi Aryanto, Imron Rosyid (Solo)
Terpaksa, Mempertahankan Hidup
DAFTAR perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap sejumlah karyawan mereka makin panjang dalam tiga bulan terakhir. Beberapa di antaranya sebetulnya sudah melakukannya sebagai efek berbagai faktor, sejak awal 2005. Tapi kenaikan harga bahan bakar minyak, pada awal Oktober lalu, mempercepat proses perampingan itu dan menambah banyak buruh yang diberhentikan.
Presiden Direktur PT Sierad Produce, Eko Sandjojo, mengatakan bahwa PHK itu langkah terpaksa. ”Kalau kondisi membaik, karyawan yang sudah banyak berjasa bagi perusahaan akan kami rekrut kembali,” katanya. ”Kami harus melakukan untuk mempertahankan hidup perusahaan,” kata pengusaha sepatu Anton J. Supit.
Berikut beberapa di antaranya:
Perusahaan | Jumlah PHK |
PT Tunggal YudiSawmil Plywood, Samarinda | 2.426 buruh |
PT Sarana Kidahi Utama (garmen), Tangerang | 300 buruh |
Hotel Harmoni Batam | 50 buruh |
PT Indofood Sukses Makmur Tbk | 4.000 buruh |
PT Sierad Produce | 1.500 buruh |
PT Bank Danamon Tbk | 450 buruh |
PT Danliris Sukoharjo | 2.000 buruh |
PT Tyfountex Sukoharjo | 775 buruh |
PT AD-Tex Boyolali | 15 buruh |
PT Kresmasindo di Sukoharjo | 400 buruh |
16 perusahaan di Tangerang | 7.300 buruh |
*)Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) dan dari berbagai sumber |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo