Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
— untuk Abdul Rahman Saleh.
Ini terjadi di kota yang namanya tak perlu disebutkan, di negeri yang bukan Indonesia (tapi tak usah ditulis), pada zaman yang tak begitu jelas.
Seorang perempuan ditangkap. Ia dibawa ke sebuah gedung papak dengan dinding dingin berbau lumut.
Di sana telah duduk empat lelaki berjubah ungu gelap. Songkok merah marun bertengger di kepala mereka. Semuanya berkacamata hitam. Di depan mereka tercantum jabatan masing-masing: ”Jaksa Negara”, ”Pemuka Agama Resmi”, ”Wali Keharmonisan Kultural”, dan ”Pejabat Tinggi Akal Sehat”.
Balai itu hening. Angker? Perempuan itu, duduk berkain songket dan berkerudung biru, seperti tak peduli. Matanya memandang ke kejauhan. Tatapan itu baru berubah ketika salah seorang pengusut bertanya: ”Namamu Aletheia?”
”Betul, Tuan”.
Jaksa Negara: ”Tahukah kamu, kamu dituduh menyebarkan ajaran yang sesat?”
Aletheia: ”Tahu.”
Jaksa Negara: ”Kamu mengakui perbuatanmu itu?”
Aletheia: ”Saya tak tahu, Tuan. Saya tak tahu—sebab siapa yang berhak menentukan, mana yang ’sesat’ dan yang ’tak sesat’? Sayakah? Tuankah?”
Pemuka Agama Resmi: ”Ajaran agamalah yang menentukan itu, hai perempuan!”
Aletheia: ”Itu ketentuan ajaran agama Tuan. Tapi bagaimana nasib orang yang bukan pemeluk agama itu dan tak mengikuti aturannya? Ia ibarat penghuni Kota A, tapi dianggap melanggar aturan lalu lintas Kota B”.
Wali Keharmonisan Kultural: ”Lalu apa agamamu? Islam? Kristen? Hindu? Buddha? Kondomblé? Brik-A-Brak?”
Aletheia: ”Saya berada di luar itu semua.”
Jaksa Negara: ”Kamu penganut Konghucu? Itu di luar daftar agama yang diakui Negara. Itu melanggar hukum”
Aletheia: ”Saya bukan penganut Konghucu, Tuan. Tapi seperti pengikut Konghucu, saya memang berada di luar semua agama yang diakui Negara ini. Salahkah saya? Bagaimana Negara dapat mendaftar apa yang haram dan tidak dalam perkara iman? Bukankah Negara adalah kekuasaan yang lahir dari kemenangan politik manusia, bukan dari ke-maha-tahu-an? Agama yang diakui Negara belum tentu agama yang benar.”
Pemuka Agama Resmi: ”Jadi kamu anggap agama Brik-A-Brak, agama resmi negeri ini, tak benar? Lancang banget!”
Aletheia: ”Maaf, saya hanya mengatakan, ’belum tentu benar’. Soalnya: bagaimana memutuskan sebuah agama benar dan tak sesat? Bukankah di dunia yang terbatas ini, tak ada hakim yang paling diakui benar dalam perkara ini?”
Pemuka Agama Resmi: ”Tapi ada iman, Saudara! Ada iman! Iman itulah yang meyakini sebuah agama tak sesat!”
Aletheia: ”Ah, ada iman Kristen, ada iman Yahudi, ada iman Islam…. Iman Yahudi tak mengakui kebenaran Yesus, iman Kristen tak menganggap serius kenabian Muhammad…. Siapa yang bisa jadi hakim?”
Jaksa Negara: ”Tapi ada hukum positif, yang didukung hampir semua wakil rakyat di parlemen. Dalam hukum itu, ajaran yang kamu sebarkan dianggap sesat. Kamu tak bisa melawan hukum itu, sebab rakyat negeri ini mendukungnya.”
Aletheia: ”Suara rakyat bukanlah suara Tuhan. Suara rakyat bisa khilaf—seperti suara rakyat Amerika yang memilih kembali George W. Bush.”
Pejabat Tinggi Akal Sehat: ”Stop! Di sini bukan untuk bicara tentang keadaan luar negeri!”
Aletheia: ”… dengan undang-undang yang didukung rakyat itu, apa yang hendak dicapai dengan menghukum saya? Agar saya jadi penganut Brik-A-Brak? Agar saya meninggalkan keyakinan saya?”
Perempuan itu berhenti bicara sejurus. Ia minum dan membetulkan kerudungnya. Lalu ia meneruskan: ”Dalam sejarah, banyak orang yang disalibkan, dibakar hidup-hidup, dikucilkan, tapi mereka tak hendak mencabut yang mereka yakini. Tuan tahu kisah Al Hallaj yang diletakkan di api, cerita Spinoza yang diusir dari komunitas Yahudi, dan Sokrates, tentu saja Sokrates, yang disuruh meminum racun. Apa akibat dari kekerasan macam itu? Tak ada paksaan dalam agama, begitu disebut dalam Quran—kitab yang mungkin Tuan tak pernah dengar, sebab Tuan penganut agama Brik-A-Brak. Nah, masjid agung orang Islam di Gujarat dihancurkan kaum fundamentalis Hindu, masjid Ahmadiyah di Jawa Barat dirusak—tapi mampukah semua itu mengubah keyakinan?”
Pejabat Tinggi Akal Sehat: ”Keyakinan yang ngawur pada akhirnya akan diubah oleh akal sehat dan oleh agama yang benar. Ingat, kata Nabi orang Islam, ’agama itu akal’”.
Aletheia: ”Saya kagum Tuan tak sungkan mengutip kata-kata Nabi orang Islam. Tapi kepada Tuan akan saya kutipkan Einstein. Tuan ingat Einstein, penemu teori relativitas? Dia orang yang tahu bagaimana produktifnya bila akal atau nalar dipakai manusia untuk memecahkan problem kehidupan dan alam semesta. Tapi ia tahu, ada sifat dalam nalar yang membatasi pendekatan manusia kepada dunia. ”Bila kita tak berdosa kepada nalar, kita tak akan ke mana-mana.”
Pejabat Tinggi Akal Sehat: ”Hai, kamu mau menyeret manusia jadi irasional. Rupanya dengan itu kamu benarkan takhayul, bahwa kamu pernah bersua dengan malaikat! Bagaimana kamu membuktikan bahwa ada malaikat yang namanya, ah, siapa itu, oh, ya Jibril, yang membisiki kamu dengan ’kebenaran’?”
Aletheia: ”Beranikah pertanyaan yang sama Tuan kemukakan kepada orang Islam, yang mempercayai Nabi mereka diberi wahyu lewat Jibril? Hmmm…. Setidaknya bagi saya, wahyu-melalui-Jibril adalah semacam Eregnis. Maksud saya, ”kejadian” yang melintas ke dalam kalbu saya, yang men-dadak membentangkan apa yang menakjubkan, yang juga suci, menggetarkan, menakutkan, di atas bumi, di bawah langit, di antara yang ilahi dan yang fana. Di momen itu saya tersentuh oleh sesuatu yang tak biasa—latar bagi Yang Maha-Lain, dengan segala ambiguitas dan paradoksnya…”
Jaksa Negara: ”Nona, bicaralah yang ringkas agar kita paham.”
Sebelum semua tahu apa artinya ”paham”, jam berdentang pukul 21. Sejak itu Aletheia diam. Dan cerita khayal ini harus dihentikan, sebab sudah bisa diduga akhirnya, itu-itu juga, membosankan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo