Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menyongsong Musim Rontok Terencana

Jumlah bank akan tinggal 60-70 buah. Sulit mengharap setoran modal, merger pun tak gampang.

23 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR Januari ini akan menjadi garis start. Para pengurus bank harus bergegas menyetorkan rencana bisnis mereka kepada Bank Indonesia (BI). Terlebih lagi bagi 27 bank yang hingga kini masih bermodal cekak, di bawah Rp 80 miliar. Lonceng peringatan pertama sudah berdentang.

Kalau sampai 31 Desember tahun depan modal tak juga naik melampaui batas itu, apa boleh buat, mereka harus turun derajat. Tak boleh lagi beroperasi sebagai bank umum dan devisa.

Mereka juga akan dilarang menjalankan cabang di luar provinsi tempat kantor pusat, agar risiko bisnis masih dalam batas kendali. Akibat paling sial, bank itu benar-benar harus tutup.

Inilah proyek BI dalam upaya konsolidasi dan menata industri pemutar uang ini. Setelah bertumbangan selama musim gugur akibat krisis moneter delapan tahun lalu, bank yang tumbuh subur sejak kebijakan yang dikenal sebagai Paket Oktober 1988 itu kini masih tersisa 131 buah.

Sayangnya, tak semuanya sehat. Karena itu, tak akan sesuai dengan program Arsitektur Perbankan Indonesia (API), yang dua tahun lalu dicanangkan. ”Harus ada upaya meningkatkan kualitas maupun kekuatan pelayanan bank-bank kita,” kata Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Muliaman D. Hadad, Jumat pekan lalu.

Untuk itu, BI akan melakukan evaluasi. Ketentuan batas bawah modal Rp 80 miliar pada akhir 2007 itu adalah tahap pertama. Tahap berikut, seperti tertuang dalam peraturan BI yang dikeluarkan 1 Juli lalu, ketentuan batas bawah modal inti itu dinaikkan menjadi Rp 100 miliar pada akhir 2010.

”Semua bank akan dievaluasi,” katanya. ”Tapi, bagi yang 27 bank itu, memang akan lebih fokus dan ada pertanyaan-pertanyaan lain.” Ada banyak kendala dalam industri ini, dan itu membutuhkan para pelaku bisnis tangguh dan perusahaan yang tak mudah goyah. Sulit membayangkan hal itu bisa dilakukan oleh bank yang tak punya cukup modal. Pertanyaannya, penutupan bank-bank miskin itu hanya satu-satunya jalan?

Muliaman tak membantah kemungkinan berkurangnya jumlah bank secara signifikan. Dalam beberapa tahun mendatang, mungkin hanya akan tinggal 60-70 bank. Tapi langkah melikuidasi bank bukanlah soal sepele. Ada uang publik yang pasti harus diganti. Ada pula ribuan karyawan yang harus dipikirkan nasibnya.

Contohnya buntut penutupan Bank Dagang Bali, yang dilikuidasi BI bersama Bank Asiatic, April 2004. Sampai Kamis pekan lalu, 685 mantan karyawan Bank Dagang Bali (BDB) mendatangi bekas kantor mereka di Jalan Gajah Mada, Denpasar. Mereka menuntut BI segera menggenapi uang pesangon sesuai dengan kesepakatan, sebesar lima bulan gaji. ”Kami baru terima tiga kali gaji,” kata wakil eks karyawan, A.A. Sudipta Panji.

Dalam satu pertemuan tahunan dengan kalangan perbankan, dua pekan lalu, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah mengatakan peraturan yang sudah keluar itu mutlak harus terlaksana. ”Ini penting untuk memastikan industri perbankan di masa depan berjalan sesuai dengan arahan,” katanya.

Tapi, ia masih memberi ruang, dan masih akan melihat dulu rencana aksi bank-bank ”gurem” itu, setidaknya sampai akhir kuartal pertama tahun ini. ”Kami akan diskusi dengan bank-bank itu, tapi jadwal sesuai dengan ketentuan tak akan diubah,” Muliaman menambahkan.

Muliaman berharap tak akan ada ”forum lobi” lain yang memungkinkan para pemilik atau pengurus bank mencoba menyiasati ketentuan yang ujungnya akan merugikan program dan industri bank yang lebih luas. ”Kalau peluang itu terlihat, secepatnya harus ditutup,” katanya.

Pengalaman buruk krisis moneter yang makin parah berakibat pada industri dan keuangan negara agaknya cukup memberi pelajaran. Sekali ketentuan dibuat, yang diperlukan selebihnya adalah konsistensi. ”Program ini sudah mengarah pada tujuan yang benar,” kata ekonom kepala Bank Mandiri, Martin Panggabean.

Kasus perburuhan yang berlarut, seperti terjadi di BDB, menurut Martin juga tak bisa dijadikan alasan menghambat penerapan ketentuan pembatasan modal minimal itu. Perbankan adalah industri yang memang menuntut modal besar. ”Semakin banyak modal, makin canggih teknologi, dan makin besar skalanya, akan lebih murah beban overhead-nya,” ujarnya.

Dengan sifat seperti itu, industri ini memang tak mungkin diharapkan menjadi mesin penyerap tenaga kerja yang efektif. Tapi, dengan perbankan yang efisien, ada peluang lebih besar untuk mendorong industri lain berkembang, termasuk yang sifatnya padat karya. ”Jadi lucu kalau logikanya dibalik, dan karena itu inefisiensi harus diteruskan,” ujar Martin.

Tak ada jalan lain, bank yang terancam turun derajat itu harus menambah modal jika ingin tetap beroperasi seperti sekarang. Caranya bisa dengan meminta pemegang saham menyuntikkan dana segar, menggandeng investor strategis, atau bergabung dengan bank lain—alias merger.

Bank Mayora, misalnya, masih optimistis meski modal intinya tercatat cuma Rp 32,2 miliar. Direktur Kepatuhan dan Personalia Bank Mayora, Timotius, mengatakan para pemegang saham sudah berkomitmen untuk menambah modal. ”Jadwal setornya sudah diserahkan ke BI,” katanya kepada Maria Ulfa dari Tempo.

Ia mengatakan, operasional Bank Mayora sampai saat ini dalam kondisi baik. Dengan kredit seret atau NPL sebesar 2 persen dari Rp 120 miliar yang tersalur, ia berharap rencana bisnis banknya bisa mulus. ”Kami fokus ke retail saja,” katanya. Karena itu, sampai sekarang bank ini hanya membuka lima cabang, semuanya di Jakarta.

Optimisme yang sama juga disampaikan Direktur Utama Bank IFI, Bambang Arianto. Bank dengan modal tak sampai Rp 70 miliar ini memang tak terlalu jauh di bawah ketentuan. ”Kami pernah mencapai laba Rp 9 miliar-Rp 12 miliar setahun,” katanya. ”Jadi, masih bisa menambah Rp 15 miliar tanpa melibatkan pemegang saham.” Bank IFI justru berencana menambah karyawan karena tuntutan pengembangan bisnis.

Tapi tak semua bisa tenang. Ada juga perusahaan yang tetap tak kunjung bernapas, seperti Bank Persyarikatan Indonesia. Modal bank ini tercatat masih saja minus Rp 14 miliar lebih, meski baru tahun lalu disuntik penambah darah dengan kucuran Rp 200 miliar dari konsorsium Bank Bukopin.

Tak mudah mencari investor baru di tengah kondisi perusahaan yang tak terlalu menjanjikan. Pengucuran modal oleh Bukopin pun dulu sudah menggerus hampir seluruh kepemilikan para pengurus organisasi Muhammadiyah di bank ini hingga tinggal tersisa 10 persen.

”Sekarang jangan tanya saya,” kata Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, yang tahun lalu mengetuai Tim Asistensi Penyelamatan Bank Persyarikatan. ”Yang punya sudah Bukopin.”

Meski tak terang-terangan menolak, Bambang mengakui pihaknya pun tak akan mengandalkan merger sebagai cara memompa modal. ”Kami sih tinggal ikut, tapi pemegang saham mau enggak?”

Merger memang bukan soal gampang. Hambatan terbesar, menurut Martin, justru egoisme yang kelewat tinggi dari para pemilik bank sendiri dan pengurusnya. ”Mereka umumnya tak mau, karena merger berarti yang tadinya ada dua kursi hanya akan tinggal satu,” ujarnya. ”Tak akan ada yang mau kehilangan kursinya.”

Bila itu terjadi, musim rontok bank yang kedua memang tak akan bisa dicegah. Bedanya, musim gugur pertama dulu terjadi mendadak karena krisis yang membadai. Sedangkan kali ini kerontokan itu bagian dari ”rencana” BI.

Karena itu, kata Martin, mereka yang tahu banknya tak mungkin lolos lebih baik menyiapkan dari sekarang agar kelak tak ribut dengan karyawan, ketika waktunya tutup tiba. Kalau para pemilik itu tak mau mengalah dengan merger demi karyawannya sendiri, ”Buat apa pemerintah dan industrinya yang harus berkorban?”

Y. Tomi Aryanto, Olivia K.S., Rilla Nugraheni (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus